Yang menjawab akan tetap akan mencoblos sebanyak 417 responden atau 65,67 persen dari total responden. Sedangkan yang menjawab tidak akan mencoblos sebanyak 176 orang atau 27,72 persen dari total responden. Hasil survey ini memberikan kesimpulan awal kepada kami bahwa sesungguhnya masyarakat bisa diajak untuk berubah. Dari money oriented ke program oriented.
Pemilih Pemula
Dalam perjalanan sosialisasi Pilkades, kami menemukan fakta betapa tingginya jumlah pemilih pemula di satu sisi, dan munculnya apatisme dari mereka—kecenderungan untuk tidak mencoblos—di sisi lain. Hal tersebut menginspirasi kami untuk mengadakan Pelatihan Pendidikan Politik untuk pemilih pemula. Karena gejala apatisme tersebut sangat berbahaya bagi masa depan desa ini. Hal itu dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpedulian para anak-anak muda terhadap desanya. Tidak ada rasa memiliki, alih-alih bangga.
Kami memberikan kesadaran kepada para pemilih pemula bahwa dalam Pilkades suara mereka sangat berharga dan bisa turut menentukan hitam putih wajah Desa Lebo enam tahun mendatang. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, bekerjasama dengan Karang Taruna, kami mengadakan lomba pembuatan gravity bertema Pilkades Tanpa Money Politic yang pesertanya berasal dari sembilan dusun.
Kami tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Desa ini 20-30 tahun yang akan datang jika anak-anak mudanya sudah memiliki pemahaman yang salah tentang Pilkades. Yaitu money politic disimpulkan sebagai praktik yang wajar bahkan harus jika ingin mendapatkan suara atau dipilih. Padahal Pilkades adalah proses memilih pemimpin yang akan menjalankan mandat/perintah masyarakat.
Munculnya pragmatisme di masyarakat yaitu menjadikan seberapa besar uang yang diterima sebagai pertimbangan memilih, kami melihatnya lebih merupakan sebab ketimbang akibat. Disebabkan oleh ketiadaan referensi tentang kandidat. Karena memang sebelumnya sistem atau mekanisme Pilkades yang ada tidak memberikan alternatif ruang dan waktu agar masyarakat bisa “mengetes” langsung pantas tidaknya seorang kandidat untuk dipilih. Sama sekali tidak ada ruang dialog dan informasi yang representatif atau lengkap tentang kandidat-kandidat yang ada. Sehingga masyarakat betul-betul layaknya sedang memilih kucing dalam karung. Akhirnya ketimbang tidak mendapat apa-apa, besar kecilnya kepyur (amplop/uang) yang dijadikan ukuran pilihan atau preferensi.
Ada pemahaman di sebagian besar warga bahwa Pilkades sekadar untuk memenuhi kepentingan orang-orang tertentu yang memang ingin berkuasa (prestise) bukan menjadi bagian dari rangkaian proses membangun Desa (prestasi). Warga merasa eksistensi dirinya hanya sekadar biting atau suara. Bukan manusia seutuhnya yang harus didengar dan diperjuangakan tiap-tiap harapan dan impiannya.