Akhir bulan Februari 2016 lalu saya diminta menjadi sekretaris panitia pemilihan kepala desa di mana saya menetap, yaitu desa Lebo, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Satu hal yang saya coba perjuangkan adalah merancang sistem pilkades yang bermartabat dan bebas money politic. Bukan pilkades yang bersifat transaksional yang melahirkan demokrasi palsu, partisipasi semu.
Jadi sukses Pilkades tidak sekadar aman dan damai, tapi prosesnya menjadi sarana untuk belajar dan bertumbuh bersama. Panitia tidak sekadar menjadi pekerja teknis layaknya event organizer, tapi harus memiliki konsep dan value(nilai) yang diperjuangkan.
Maka menjadi penting, penyelenggaraan Pilkades ini disentuh pula dengan pendekatan-pendekatan ilmu sosial. Misalnya berupa survey pemilih tentang evaluasi kondisi desa dan tingkat partisipasi warga sebagai bahan/input mengonsep sistem Pilkades. Sehingga penyelenggaraan Pilkades tidak melulu terkait dengan hal-hal yang pragmatis tapi juga konseptual.
Satu lagi, melalui pelaksanaan Pilkades yang tanpa money politic, saya tempatkan sebagai upaya untuk mengangkat harkat, dan marwah (harga diri) Desa Lebo di hadapan desa-desa lain. Dengan demikian, visi dan cara berfikir yang saya kembangkan ke dalam internal panitia pilkades melampaui batas sekat-sekat kepentingan jangka pendek, dan sempit. Saya berikhtiar sepenuh tenaga, bagaimana caranya agar mulai dari proses Pilkadesnya saja, Desa Lebo ini sudah bisa memberikan inspirasi dan contoh yang baik bagi desa-desa lain.
Pakta integritas
Untuk mewujudkan visi tersebut, calon kepala desa juga harus memiliki kesadaran yang sama untuk melaksanakan Pilkades yang bermartabat. Bentuk nyata “garansi” terhadap kesadaran tersebut, kami minta para calon kades untuk menandatangani pakta integritas yang secara eksplisit menyatakan tidak akan melakukan politik uang.
Selain itu, ditambahkan pula dengan penandatanganan surat pernyataan sanksi moral seperti yang tertulis di bawah ini.
Yang menjawab sudah berhasil (Ya) ada 108 orang atau hanya 17,01 persen. Sedangkan yang menjawab belum (Tidak) ada 505 orang atau 79,53 persen.
Pertanyaan kedua survei: Dalam Pilkades Desa Lebo yang akan dilaksanakan bulan April 2016 nanti, calon kades tidak membagikan amplop /uang atau kepyur, apakah Bapak/Ibu/Sdr akan tetap mencoblos?
Yang menjawab akan tetap akan mencoblos sebanyak 417 responden atau 65,67 persen dari total responden. Sedangkan yang menjawab tidak akan mencoblos sebanyak 176 orang atau 27,72 persen dari total responden. Hasil survey ini memberikan kesimpulan awal kepada kami bahwa sesungguhnya masyarakat bisa diajak untuk berubah. Dari money oriented ke program oriented.
Pemilih Pemula
Dalam perjalanan sosialisasi Pilkades, kami menemukan fakta betapa tingginya jumlah pemilih pemula di satu sisi, dan munculnya apatisme dari mereka—kecenderungan untuk tidak mencoblos—di sisi lain. Hal tersebut menginspirasi kami untuk mengadakan Pelatihan Pendidikan Politik untuk pemilih pemula. Karena gejala apatisme tersebut sangat berbahaya bagi masa depan desa ini. Hal itu dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpedulian para anak-anak muda terhadap desanya. Tidak ada rasa memiliki, alih-alih bangga.
Kami memberikan kesadaran kepada para pemilih pemula bahwa dalam Pilkades suara mereka sangat berharga dan bisa turut menentukan hitam putih wajah Desa Lebo enam tahun mendatang. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, bekerjasama dengan Karang Taruna, kami mengadakan lomba pembuatan gravity bertema Pilkades Tanpa Money Politic yang pesertanya berasal dari sembilan dusun.
Kami tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Desa ini 20-30 tahun yang akan datang jika anak-anak mudanya sudah memiliki pemahaman yang salah tentang Pilkades. Yaitu money politic disimpulkan sebagai praktik yang wajar bahkan harus jika ingin mendapatkan suara atau dipilih. Padahal Pilkades adalah proses memilih pemimpin yang akan menjalankan mandat/perintah masyarakat.
Munculnya pragmatisme di masyarakat yaitu menjadikan seberapa besar uang yang diterima sebagai pertimbangan memilih, kami melihatnya lebih merupakan sebab ketimbang akibat. Disebabkan oleh ketiadaan referensi tentang kandidat. Karena memang sebelumnya sistem atau mekanisme Pilkades yang ada tidak memberikan alternatif ruang dan waktu agar masyarakat bisa “mengetes” langsung pantas tidaknya seorang kandidat untuk dipilih. Sama sekali tidak ada ruang dialog dan informasi yang representatif atau lengkap tentang kandidat-kandidat yang ada. Sehingga masyarakat betul-betul layaknya sedang memilih kucing dalam karung. Akhirnya ketimbang tidak mendapat apa-apa, besar kecilnya kepyur (amplop/uang) yang dijadikan ukuran pilihan atau preferensi.
Ada pemahaman di sebagian besar warga bahwa Pilkades sekadar untuk memenuhi kepentingan orang-orang tertentu yang memang ingin berkuasa (prestise) bukan menjadi bagian dari rangkaian proses membangun Desa (prestasi). Warga merasa eksistensi dirinya hanya sekadar biting atau suara. Bukan manusia seutuhnya yang harus didengar dan diperjuangakan tiap-tiap harapan dan impiannya.
Atas dasar pemikiran di atas, kami menggelar roadshow atau anjangsana seluruh calon kades ke 9 Dusun ditambah lagi pertemuan dengan pemilih pemula dan Karang Taruna serta Muslimat, Fatayat, Kader PKK, Posyandu, dan Komunitas Ibu-Ibu. Jadi total ada 11 kali pertemuan. Ada tiga menu di tiap roadshow. Yaitu menonton film pendek Pilkades Tanpa Money Politic yang dibuat oleh anak-anak Karang Taruna, perkenalan calon dan dialog.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan besarnya respon warga ketika roadshow. Banyak sekali kritik, tuntutan pertanyaan, dan harapan dari masyarakat kepada calon yang nantinya terpilih menjadi kades. Akhirnya tiap calon “dipaksa” untuk selalu punya ide atau gagasan, cerdas dan taktis dalam menanggapi tiap-tiap pertanyaan dari warga. Sebuah pembelajaran tersendiri untuk para calon.
Hikmah dari kegiatan ini membuat para calon semakin bagus kemampuan komunikasinya. Harapan kami, dialog-dialog seperti ini akan diteruskan dan menjadi tradisi baik yang dijalankan oleh calon terpilih pada saat ia menghimpun masukan dan meminta kritikan dari masyarakat.
Dialog terbuka
Hari terakhir kampanye, kami ambil alih dengan menggelar dialog terbuka. Ini bagian dari bentuk kampanye terbuka bersama. Dialog terbuka calon kades merupakan sebuah terobosan baru dalam rangka mencoba menggairahkan proses demokrasi di tingkat pemerintahan palih bawah. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai salah satu media untuk menyebarluaskan profil , visi dan misi calon kepala desa kepada masyarakat yang pada akhirnya dapat dijadikan pertimbangan bagi calon pemilih—terutama yang tidak bisa hadir saat roadshow— dalam menentukan pilihannya. Dialog terbuka ini menjadi ajang kampanye terbuka bersama dalam bentuk pemaparan visi, misi dan program kerja para calon sehingga dapat di dengar oleh seluruh elemen masyarakat yang hadir.
Sistem yang kami terapkan tersebut sekitar dua pekan sebelum—atas permintaan Pemerintah Kabupaten Batang—kami presentasikan di hadapan 47 peserta diklat PIM IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Selain itu, Bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo, atas inisiatif sendiri, datang ke desa Lebo, untuk memberikan penguatan moral kepada masyarakat dan menanyakan kembali komitmen para calon untuk melaksanakan Pilkades tanpa uang.
Meskipun masih ada pelanggaran komitmen, dari 5 calon, ada 2 calon yang tetap pada komitmennya tidak menggunakan politik uang. Dan rupa-rupanya warga juga belum sepenuhnya bisa merelakan diri untuk tidak menerima amplop atau uangkepyur. Perubahan memang tidak bisa terjadi seketika. Perlu proses panjang, dan proses itu harus dimulai. Siap atau tidak siap. Karena Lahirnya kesadaran, dari money oriented ke program oriented memang serupa munculnya hidayah keimanan. Hanya Tuhan yang bisa melakukannya. Meskipun begitu, hidayah tidak jatuh dari langit begitu saja, ada sebab akibat yang mendahuluinya. Sebab akibatnya melalui jalan ilmu dan pengetahuan. Dalam konteks itu sejatinya ikhtiar-ikhtiar Pilkades tanpa money politic harus terus diupayakan.