Pendahuluan
Suatu siang, saya sedang duduk bersama beberapa rekan kerja di kantor. Suasana santai, sampai tiba-tiba seorang teman yang duduk persis di depan saya mendapat telepon dari nomor tak dikenal.Â
Suara di seberang terdengar tegang dan penuh kepanikan, mengabarkan bahwa anaknya yang sedang sekolah mengalami kecelakaan serius.
"Anak ibu mengalami kecelakaan di sekolah. Kepalanya terbentur dan sekarang sedang dirawat di ICU rumah sakit," ujar suara itu dengan nada mendesak.
Yang mengejutkan, si penelepon tahu detail yang cukup lengkap nama anak, sekolah, bahkan informasi pribadi lainnya yang seharusnya tidak mudah diakses oleh orang asing. Saya bisa melihat ekspresi terkejut di wajah teman saya, tetapi yang mengejutkan lagi, dia tidak panik.Â
Dengan tenang, dia menyalakan mode loudspeaker agar kami semua bisa mendengar percakapan itu. Dengan nada santai, ia malah mengajak si penelepon bercanda, bertanya dengan nada skeptis sambil menahan tawa.
"Oh ya? Di rumah sakit mana ya? Kalau betul saya segera ke sana," katanya.
Percakapan itu berlanjut beberapa saat hingga si penelepon akhirnya menutup teleponnya dengan tergesa-gesa, mungkin menyadari bahwa taktiknya gagal.Â
Segera setelah itu, teman saya langsung menghubungi pihak sekolah untuk memastikan kondisi anaknya. Hasilnya? Anaknya baik-baik saja, tidak ada insiden apa pun di sekolah.
Fenomena Kebocoran Data di Era Digital
Setelah kejadian itu, kami semua terdiam sejenak. Pertanyaan besar muncul di benak kami: dari mana si penelepon mendapatkan informasi sedetail itu? Teman saya tidak pernah membagikan informasi anaknya di media sosial, bahkan sangat berhati-hati dalam hal privasi.Â
Kejadian ini membuka mata kami bahwa sharenting atau kebiasaan membagikan informasi anak di media sosial bukan satu-satunya celah kebocoran data anak.
Dalam era digital saat ini, informasi pribadi bisa bocor dari berbagai sumber yang mungkin tidak kita sadari. Beberapa di antaranya adalah:
1. Kebocoran Data dari Institusi Pendidikan
Sekolah sering kali menjadi target empuk bagi pelaku kejahatan siber karena menyimpan berbagai data pribadi siswa. Data ini bisa bocor akibat sistem keamanan yang lemah atau kelalaian pihak pengelola.
2. Aplikasi dan Platform Online
Banyak aplikasi edukasi dan hiburan untuk anak yang meminta informasi pribadi saat pendaftaran. Jika platform ini tidak memiliki sistem keamanan yang kuat, data anak bisa dengan mudah diakses oleh pihak tak bertanggung jawab.
3. Social Engineering
Teknik manipulasi psikologis ini memungkinkan pelaku untuk menggali informasi dari lingkungan sekitar, baik dari percakapan sehari-hari, petugas sekolah, atau bahkan keluarga yang tidak sadar telah membocorkan informasi penting.
4. Kebocoran Data dari Pihak Ketiga
Terkadang, data anak bisa bocor melalui perusahaan atau layanan lain yang berkaitan dengan kegiatan sekolah, seperti penyedia seragam, jasa transportasi, atau layanan bimbingan belajar.
Bagaimana Melindungi Data Anak?
Dari pengalaman ini, kami menyadari bahwa menjaga data anak memerlukan kewaspadaan lebih dari sekadar tidak berbagi di media sosial. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil untuk melindungi data anak dari kebocoran:
- Edukasi dan Kesadaran: Ajarkan anak dan keluarga untuk tidak mudah memberikan informasi pribadi kepada orang asing, baik secara langsung maupun online.
- Periksa Kebijakan Privasi: Pastikan aplikasi dan platform yang digunakan anak memiliki kebijakan privasi yang kuat dan aman.
- Minimalkan Jejak Digital: Hindari penggunaan nama lengkap anak di platform publik dan batasi informasi yang diberikan hanya kepada pihak terpercaya.
- Verifikasi Informasi: Jika menerima panggilan atau pesan mencurigakan, selalu lakukan verifikasi ke pihak terkait sebelum mengambil tindakan.
- Gunakan Keamanan Tambahan: Terapkan perlindungan tambahan seperti verifikasi dua langkah pada akun penting yang berhubungan dengan data anak.
Tips Aman Bagi yang Suka Sharenting
Bagi orang tua yang tetap ingin membagikan momen anak di media sosial, berikut beberapa tips aman yang bisa diterapkan:
- Gunakan Privasi Akun: Pastikan akun media sosial disetel menjadi privat sehingga hanya orang yang dikenal yang bisa melihat unggahan.
- Hindari Informasi Identitas Lengkap: Jangan pernah menyebutkan nama lengkap, alamat, atau informasi sekolah anak dalam unggahan.
- Hapus Metadata Foto: Pastikan metadata lokasi pada foto atau video telah dihapus sebelum diunggah untuk mencegah pelacakan lokasi.
- Batasi Jumlah Unggahan: Hindari terlalu sering membagikan informasi terkait anak untuk mengurangi jejak digital.
- Gunakan Inisial atau Panggilan: Alih-alih menggunakan nama lengkap anak, cukup gunakan inisial atau panggilan keluarga yang tidak mudah ditebak oleh orang lain.
Kesimpulan
Kejadian yang dialami teman saya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di era digital ini, kebocoran data anak bisa terjadi dari berbagai sumber, bukan hanya karena sharenting. Oleh karena itu, kewaspadaan dan langkah preventif harus menjadi prioritas bagi setiap orang tua dan institusi terkait agar data anak tetap aman dan terlindungi.
Hal yang terpenting umumnya, jangan pernah langsung percaya terhadap informasi yang berasal dari pihak yang belum terverifikasi kebenarannya, jangan panik, selanjutnya ambilah langkah lugas dan cermat dalam segala hal.
Jadi, mari kita bersama-sama lebih sadar dan bijak dalam mengelola informasi pribadi anak, karena ancaman bisa datang dari mana saja, bahkan ketika kita merasa sudah cukup berhati-hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI