Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menurunnya Angka Pernikahan di Indonesia: Mengapa Generasi Muda Menunda Menikah dan Apa Dampaknya bagi Masa Depan Populasi?

6 November 2024   21:17 Diperbarui: 6 November 2024   21:42 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Fenomena penurunan angka pernikahan belakangan ini tengah menarik perhatian publik di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan di Indonesia mengalami penurunan hingga 2 juta dari 2021 hingga 2023. 

Banyak anak muda saat ini memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan mempertimbangkan untuk tidak menikah sama sekali. Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa yang kini tengah berhadapan dengan penurunan populasi.

Apa yang membuat anak muda enggan menikah? Apakah perubahan pola pikir ini bisa membawa dampak besar bagi masa depan populasi? Artikel ini akan coba mengupas fenomena ini dan faktor-faktor utama yang mendorong generasi muda mengambil keputusan yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Mengapa Generasi Muda Menunda Pernikahan?

1. Fokus pada Kemandirian dan Karier

Salah satu alasan utama anak muda menunda pernikahan adalah fokus pada kemandirian dan karier, hal ini juga sempat saya rasakan sampai akhirnya tersadar usia terus bertambah yang akhirnya saya nekat untuk menikah. Di tengah iklim ekonomi yang penuh tantangan dan persaingan, banyak yang merasa perlu mencapai kestabilan finansial dan keamanan pekerjaan sebelum mempertimbangkan untuk menikah. 

Biaya hidup yang semakin tinggi, terutama di kota-kota besar, membuat generasi muda berpikir dua kali untuk menambah beban ekonomi dengan menikah dan memiliki keluarga.

2. Perubahan Nilai Sosial

Seiring perubahan zaman, nilai dan pandangan sosial pun ikut berubah. Generasi muda saat ini cenderung melihat pernikahan bukan sebagai pencapaian utama dalam hidup, melainkan sebagai salah satu pilihan di antara banyak pilihan lain. 

Banyak yang merasa bahwa kebahagiaan dan pencapaian diri tidak harus melalui pernikahan. Di media sosial dan lingkungan sekitar, mereka lebih sering terpapar dengan gaya hidup individu yang mandiri, mengembangkan karier, hobi, dan gaya hidup sehat, yang semuanya memberi mereka kebahagiaan tanpa pernikahan.

3. Tekanan Sosial dan Budaya Pekerjaan

Tidak hanya di negara maju, di Indonesia pun banyak anak muda menghadapi tekanan pekerjaan yang tinggi. Budaya kerja yang kompetitif membuat mereka harus menghabiskan sebagian besar waktu dan energi untuk pekerjaan, sehingga menyisakan sedikit ruang untuk membangun hubungan yang serius atau membina keluarga. 

Mereka khawatir pernikahan bisa mengganggu perkembangan karier atau membatasi kebebasan dalam mengambil keputusan karier.

4. Meningkatnya Biaya Hidup dan Pendidikan Anak

Ketidakpastian ekonomi, naiknya biaya hidup, dan mahalnya pendidikan anak juga menjadi faktor yang membuat generasi muda enggan untuk terburu-buru menikah. Banyak yang khawatir tidak mampu memberi kehidupan yang layak untuk anak di masa depan jika mereka menikah tanpa persiapan finansial yang kuat.

Apakah Indonesia Akan Mengalami Penurunan Populasi?

Tren ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat populasi dan pemerintah, terutama ketika melihat apa yang terjadi di negara-negara seperti Jepang, yang mengalami penurunan angka kelahiran dan populasi. Di Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa, penurunan angka pernikahan menyebabkan rendahnya angka kelahiran, yang pada gilirannya berkontribusi pada penurunan populasi. 

Pemerintah negara-negara tersebut sekarang harus berjuang dengan populasi yang menua, kekurangan tenaga kerja muda, dan tekanan pada sistem kesejahteraan.

Indonesia mungkin masih jauh dari situasi ini, tetapi tanda-tanda awal sudah mulai terlihat. Jika tren menunda pernikahan dan menurunnya angka pernikahan berlanjut, Indonesia bisa menghadapi tantangan serupa dalam beberapa dekade mendatang.

Langkah yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Tren Ini

1. Kesadaran untuk Kembali Pada Norma Agama

Menikah itu adalah ibadah, itu yang dulu saya jadikan patokan utama ketika menepis keraguan untuk menikah disamping dorongan usia yang semakin bertambah dan keinginan untuk mendapat keturunan.

Akhirnya saya memutuskan menikah meski dalam kondisi belum sepenuhnya siap secara pribadi. Namun ternyata kemandirian itu datang dengan sendirinya disertai usaha dan tarekah tentunya, seiring usia pernikahan kami berlangsung.

2. Pemberian Insentif untuk Keluarga Muda

Untuk mendorong anak muda menikah dan membangun keluarga, pemerintah bisa mempertimbangkan pemberian insentif bagi pasangan muda. Hal ini sudah diterapkan di beberapa negara dengan memberikan tunjangan keluarga, potongan pajak, subsidi perumahan, dan bantuan lainnya yang meringankan beban pasangan muda.

3. Meningkatkan Kesadaran tentang Kemandirian dalam Pernikahan

Banyak yang merasa harus benar-benar mandiri sebelum menikah, padahal kemandirian dan kesiapan bisa tumbuh seiring perjalanan pernikahan itu sendiri. Memberikan pemahaman dan perspektif baru kepada generasi muda bahwa pernikahan adalah perjalanan untuk tumbuh bersama dapat membantu mengurangi beban psikologis tentang kesiapan sempurna.

4. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Mendukung Kehidupan Keluarga

Perusahaan juga dapat berperan dengan menciptakan budaya kerja yang lebih ramah keluarga, seperti memberikan cuti melahirkan yang memadai, jam kerja fleksibel, dan kemudahan bagi pasangan muda untuk membangun keluarga tanpa harus mengorbankan karier mereka.

Penutup

Penurunan angka pernikahan di Indonesia bisa jadi merupakan awal dari perubahan besar dalam struktur populasi kita di masa depan. Jika kita melihat pada negara-negara maju, ada risiko bahwa tren ini dapat berlanjut dan berkontribusi pada rendahnya angka kelahiran dan bahkan, pada akhirnya, penurunan populasi. 

Bagi generasi muda, mempertimbangkan pernikahan bukan lagi soal usia atau tuntutan masyarakat, tetapi soal kesiapan dan kebahagiaan.

Namun penting untuk disadari bahwa kemandirian tidak harus diraih sepenuhnya sebelum menikah, banyak pasangan yang mendapati bahwa mereka justru tumbuh dalam kemandirian setelah membangun keluarga bersama. Menikah bukan akhir dari kemandirian pribadi, tetapi awal dari kemandirian yang berbagi dan berkembang.

Sebagai bangsa, Indonesia perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari fenomena ini dan mencari cara untuk menciptakan lingkungan yang mendukung generasi muda dalam mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dengan begitu kita bisa menjaga keberlanjutan populasi dan pembangunan, serta memastikan masa depan yang seimbang bagi generasi berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun