Mohon tunggu...
Agus Conspiracy
Agus Conspiracy Mohon Tunggu... Seniman - Owner: Conspiracy Merchandise

Chemistry | Kid | Depression Survivor | Penyembah Bonsai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senjakala di Kala Senja

28 Desember 2016   20:32 Diperbarui: 28 Desember 2016   20:37 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ya... Hari itu bernama Kamis, tanggal 23 Juli 2015.

Seorang anak berumur 20 tahun kurang 6 hari-- dan tepat 3 hari pasca satu tahun ditinggal Sang Ayah menuju Nirwana untuk selamanya dan meninggalkan keluarga; seorang istri dan seorang putra.

Sejak mentari pagi hingga petang menjelang, setelah beberapa tahun memulai mencari, berfilsafat, anak itu hanya dapat merenungi hidup; eksistensi dan esensi terhadap hidupnya sendiri.

Suara Adzan telah memekakan dan setengah menyadarkan anak itu. Ya... Maghrib menjelang. Ia lalu bangkit dengan pandangan kosong dan mukanya terlihat lesu sebelum ia bangkit dari ranjang dan berkaca dicermin besar- tepat di depan tempat tidurnya.

Anak itu ingat betul, setiap hari Kamis, sang Bunda membeli beberapa kantong plastik berisikan bunga yang digunakan sekaligus memastikan agar makam Mendiang Suaminya tetap terjaga, bersih, dan tetap wangi. Pun tidak lupa doa dan harapan istri kepada Sang Suami; Ziarah.

Setengah sadar, ia melihat beberapa koleksi buku peninggalan mendiang Ayahnya yang tertata rapi di rak dalam kamarnya. Ia mulai sadar, melangkah ke samping kamar tidurnya. Mula-mula, anak itu melihat koleksi buku Sang Ayah, sampai akhirnya dia mengambil buku "Dibawah Bendera Revolusi" karya Ir. Soekarno. Ia meniup buku yang hampir tak terjamah tangan untuk dibaca milik Ayahnya itu. Alih-alih membaca, dipegang saja ia enggan.

Lalu ia benar-benar tersadar 100% untuk harus sadar dan mau tak mau; sadar.

Anak itu meletakkan kembali buku yang ia anggap sakral itu, yang selanjutnya ia sesegera mungkin melangkahkan kakinya ke kamar khusus untuk melihat dan sekedar mengecek barang-barang koleksi miliknya pribadi.

Setelah ia berada di dalam ruangan tersebut, ia melihat dan memastikan dahulu barang-barang yang di dalam rak dan almari yang berisikan; buku, Zine, kaset pita, CD, DVD, Discman, Walkman, dan Boombox yang lumayan besar.

Tiba-tiba anak itu mengambil beberapa buku, kaset pita, dan CD. Ia mengambil buku, semodel; Friedrich Nietzsche - Zarathustra dan Senjakala Berhala dan Anti-Krist, Karl Marx & Engles - Manifesto Partai Komunis dan Das Kapital (Volume I), Tan Malaka - Aksi Massa dan MADILOG.

Pun ia mengambil CD, semacam; Carnivored - Revival dan No Truth Found, Extreme Decay - Progressive Destruction dan Holocaust Resistance, Jeruji - Warlock, Homicide - Illsurrekshun tak lupa booklet yang terlampir dalam kaset pita, Straight Answer - Passion Is The Reason, dan Efek Rumah Kaca - S/t.

Ia meletakkan barang yang diambilnya di lantai, lalu ia mengambil Slingbag dan menaruh CD di dalam tas tersebut.

Sepertinya anak itu terburu-buru, terlihat dari raut wajah dan nafasnya yang memburu. Apa yang telah ia lakukan dan ia pikirkan? Entahlah...

Kemudian, segera mungkin ia keluar dari ruangan atau kamar khusus tersebut dan tak lupa membawa buku di tangan kirinya, dan Slingbag di pundak kanannya.

Ia lupa sesuatu, selangkah akan meninggalkan ruangan tersebut, ia kembali masuk ke dalam dan mengambil Boombox dengan jari-jari yang tersalur dalam tangan kanan anak itu.

Syahdan, ia menutup dan mengunci pintu kamar yang konon penuh hal Gaib tersebut. Yang selanjutnya pula, anak itu kembali ke kamar pertama ia merenungi tadi. Ia mengambil buku yang sempat ia tiup dan pegangnya tadi, Dibawah Bendera Revolusi.

Mengambil buku satu buah dengan cepat, anak itu segera melangkahkan kali keluar dari rumah, ia sekarang berhadapan dengan sosok wanita, lebih tepatnya janda, yang sebetulnya Ibunya sendiri.

Anak itu memandang beberapa detik wajah Ibunya yang tengah membawa plastik yang didalamnya terdapat tumpukan bunga untuk pergi ziarah ke makam.

Mungkin anak yang berumur hampir ke 20 tahun itu sudah gila. Bagaimana tidak, plastik yang dibawa Ibunya kini sudah diposisi tangannya. Betul, ia mengambil dengan paksa dan tanpa- sekedar izin oleh pemiliknya, sekalipun beliau Ibunya sendiri.

Saat itu pula, tidak ada sepatah katapun dari dua insan tersebut yang tengah saling berhadapan.

Kini, ia segera pergi dari rumah, meninggalkan Ibunya. Tangan kanan membawa Boombox, lebih tepatnya diletakkan di pundaknya, yang mana telah menindih Slingbag yang berisikan beberapa CD favoritnya. Dan tangan kirinya memapah tumpukan buku, yang diatasnya terdapat bunga yang telah diplastik.

Ia semakin menjauh meninggalkan rumah, pun Ibunya, dan ditemuinya beberapa orang menyapa anak itu, tetapi anak itu tidak melirik dan menyapa kembali orang yang memulai sapaannya, yang konon akan berangkat ke Masjid untuk melaksanakan ibadah Sholat Maghrib.

Tak selang lama, anak tersebut didepan pintu masuk makam, makam dimana Ayahnya dikebumikan, tempat yang paling ia sukai setelah ruko dan rumah atas peninggalan Sang Mendiang.

Ia tak mengucap salam untuk memasuki ke dalam makam, tidak seperti halnya orang yang berziarah kemakam itu sekaligus yang menjadi budaya di desa tersebut. Ia hanya melepaskan sandal, tak kurang dan tak lebih.

Gila! Dasar anak muda yang tak mempunyai etika dalam kawanan budaya. Mungkin, ia adalah seorang penganut Nihilisme; Nihilis. Mungkin...

Yang selanjutnya ia melangkahkan kakinya dihadapan dimana Ayahnya dikubur, bukan terkubur- oleh sakitnya yang ia derita kurang-lebih 20 tahun. Ya, Sang Mendiang meninggal dikarenakan sakit keras, sebelum komplikasi, Almarhum mengidap penyakit, adalah kadar gula yang tinggi; Gula kering.

Sesampainya didepan kuburan Ayahnya, ia merendahkan badan, lalu ia duduk , yang selanjutnya dilakukan anak itu ialah meletakkan buku disamping kuburan- tepatnya di bagian kepala Ayahnya, dikeluarkannya CD dari Slingbag, dan menumpuknya. Tidak cukup, ia meletakkan Boombox- yang besarnya setengah dari jendela rumah anak itu- tepat disampingnya.

Ia memandangi sekeliling makam. Sepi, sunyi, petang telah datang.

Syahdan, ia tersadar didalam Slingbag ada sebuah kaset pita milik Homicide yang berjudul Barisan Nisan. Ia mengambil kaset itu, membuka, menaruh pada Part; Side A, lalu memasukkannya ke dalam Boombox. Dan ia segera memencet logo Play.

Sebuah lagu bertitel "Senjakala Berhala" sudah mengawali konten pada Tracklist kaset tersebut. Ya... Salah satu lagu favoritnya.

Ia mulai memahami, meresapi, merenungi, setiap rima dan ritme lagu itu. Ia menundukkan kepala dari awal lagu telah diputarnya. Sampai pada akhirnya... "Kalam pemanggil arwah yang menziarahi pitam, dengan disiplin penggali kubur dan ketegaran penjaga makam, dengan ruh asap bulan kelima yang membakar langit, dan senjakala berhala yang datang bersama hangus dan hangit...". Part Chorus- Track tersebut, ia tidak lagi menunduk seperti sedia kala lagu dimulai, melainkan melihat nisan Mendiang Sang Ayah- bagian kepala yang telah bernama: nisan.

Yang pada akhirnya, sudah memasuki menit dan detik 4:49 dalam lagu tersebut .Artinya, track lagu pertama telah usai.

Ia pula segera menekan tombol logo "Stop" pada Boombox, yang setelahnya, anak itu menaburi bunga pada kuburan Ayahnya dengan kedua matanya tidak hanya berkaca-kaca, melainkan telah meneteskannya ke dalam tanah- bagian badan Ayah anak itu .Mungkin, dan Ya... Air mata itu telah menyatu terhadap Ayahnya- dalam imajinasi dia.

Ia telah selesai, selesai dalam ziarah, pun menangis sesenggukan, karena anak itu telah mengusap kedua matanya dengan tangan kirinya.

Anak itu kemudian memasukkan dan merapikan barang bawaannya seperti semula, semula ia akan berangkat ke makam.

Melangkahkan kaki keluar dari makam, yang sebelumnya ia memastikan untuk terakhir kalinya untuk melihat kuburan Ayahnya.

Memakai sandal, dan ia mencoba memastikan lagi apa yang terjadi di kuburan Sang Mendiang. Tak terjadi dan tak apa, tidaklah bermasalah.

Selesai, ia melangkahkan kaki meninggalkan makam tanpa salam, dan kembali menuju rumah untuk bertemu satu-satunya Malaikat yang ia cintai, sayangi, pula kasihi.

Ya... Paham. Ternyata satu hari penuh itu, anak muda itu lebih menyukai dengan sebutan: Euphoria. Nostalgia dengan cara dia sendiri, dan dia telah merayakannya, melakukannya.

Klaten, 23 Juli 2015

(Klaten, 28 Desember 2016)

Rest In Peace, Dad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun