Terlintas di pikirannya sebuah perhiasan yang sudah lama dia simpan di lemari. Akhirnya Murtia terpaksa menjual perhiasan simpanannya itu untuk membiayai kuliah putrinya. Putrinya sangat bergembira dan Murtia pun ikut merasakan bahagia.
"Bu...,Terima kasih ya, Bu..., Ibu sudah bersusah payah mencarikan uang untuk biaya kuliah Shera," ucap Shera penuh haru.
"Sudah, tak usah dipikirkan, itu sudah menjadi tanggung jawab Ibu, yang penting sekarang Shera harus mempersiapkan diri untuk studinya nanti, ... Ya?" tutur Murtia sambil mengelus bahu putrinya.
"Tapi Bu..., Shera menjadi merasa bersalah karena Ibu harus rela menjual perhiasan Ibu," ungkap Shera sedih.
"Tidak apa anakku, toh perhiasan itu Ibu simpan untuk kamu juga." Murtia terus meyakinkan putrinya.
"Terima kasih Ibu." Shera pun lega.
Mereka akhirnya saling berpelukan menyatukan rasa haru antara ibu dan anak. Gubuk sederhana mereka menjadi saksi antara dua insan yang sedang memadu harapan untuk masa depan.Â
Belum lagi putrinya berangkat ke Surabaya untuk melanjutkan studinya tiba-tiba suaminya jatuh sakit dan harus dirawat inap di rumah sakit setempat. Menurut dokter suaminya mengalami pendarahan pada paru-paru sehingga harus dioperasi. Dan itu butuh biaya puluhan juta rupiah. Â
Murtia syok, bingung apa yang harus dia lakukan? Ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu? Sementara suaminya sekarang sudah dalam keadaan kritis. Murtia hanya bisa pasrah dan berdo'a kepada Yang Maha Kuasa agar diberinya petunjuk.
Kemudian muncullah di pikiran Murtia untuk menjual sepetak tanah peninggalan orang tuanya. Murtia sudah kalut. Pikirannya sudah buntu. Tak ada pilihan lain, hanya itu yang bisa ia lakukan.
Dengan meminta bantuan kepada salah seorang teman dan perangkat desa setempat, selang sehari kemudian tanah peninggalan orang tuanya pun akhirnya terjual. Walaupun belum dibayar penuh tapi setidak-tidaknya sudah cukup untuk biaya pengobatan dan operasi suaminya.
Apa daya takdir sudah menjadi ketentuan Tuhan. Nasi sudah menjadi bubur. Tanah sudah terjual namun ajal tak bisa ditunda. Sebelum sempat dioperasi suami Murtia sudah lebih dulu menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Murtia syok berat, dia tak sadarkan diri di ruangan rumah sakit untuk beberapa waktu lamanya. Begitu juga putrinya, meskipun putrinya yang selama ini tak mendapat dukungan dari sang ayah, namun putrinya tetap merasa sangat bersedih dan kehilangan, karena bagaimana pun dia adalah ayah kandungnya.