Jika ada yang bertanya, seberapa keren Timnas Garuda Indonesia sekarang ini? Maka saya sepakat mengatakan, "Sangat Keren dan Luar Biasa", sambil mengacungkan dua jari jempol.
Bagaimana tidak keren? The Green Falcons -- julukan timnas Arab Saudi -- menjadi korban di akhir tahun 2024 yang menempatkan Timnas Indonesia 'nyaman' di peringkat tiga di grup C babak kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, setidaknya hingga matchday ke-7 dan ke-8 saat kontra Australia dan Bahrain di bulan Maret 2025.
Kemenangan atas Arab Saudi menjadi pembuktian keabsahan kebangkitan Sepakbola Indonesia di kancah Asia.
Kemenangan atas pasukan mantan anak asuh Roberto Mancini -- yang kini dilatih oleh pelatih asal Perancis, Herve Renard -- menjadi titik balik dari perjalanan timnas Garuda beberapa tahun terakhir yang mengalami stagnan maupun naik -- turun alias inkonsistensi, serta menumpuknya permasalahan yang terjadi di persepakbolaan tanah air kita.
Timnas kita dikenal dengan timnas yang inkonsistensi selama ini, juga banyaknya kasus-kasus di tubuh PSSI mengakibatkan timnas Indonesia jadi bulan-bulanan, bahkan di Asia Tenggara sendiri, kita masih dianggap tim kemarin sore oleh Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Bahkan ada anekdot yang mengatakan bahwa timnas kita setara dengan timnas tetangga, negeri jiran Malaysia dan Filipina. Emang sudi? Yang enggaklah!
Baca Juga: Marselino Ferdinan, Mutiara Lokal di Antara Derasnya Pemain Naturalisasi
Tragedi Kanjuruhan Dibalik Kebangkitan Sepakbola Nasional
Namun itulah faktanya. Sebelum Tragedi Kanjuruhan, kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana harapan besar yang melanda sampai ke ubun-ubun kepala dari para penggemar berat Timnas Garuda harus gigit jari di kawasan Asia Tenggara saja.
Dua tahun lalu -- kira-kira begitulah -- perjalanan timnas kita, tidak ada yang berani bertaruh dan berkata dengan jujur -- bahwa Pasukan Garuda akan menjadi bagian di tengah pusaran persaingan di level elite Asia menghadapi babak kualifikasi Piala Dunia 2026.
Sikap umum rata-rata pesimis bahwasanya Timnas Garuda akan melenggang sejauh ini, bahkan banyak yang bersikap apriori dengan memprediksi, paling-paling seperti yang sudah-sudah panas di awal, tapi melempem dan gagal total di akhir persaingan dengan hasil yang membuat ulu hati nyeri.
Thailand dan Vietnam selalu menjadi momok menakutkan dan menjegal langkah Timnas Garuda. Timnas Malaysia dan Singapura 'musuh bebuyutan' yang selalu merepotkan dan memandang sebelah mata akan persepakbolaan nasional kita, bahkan silap-silap dengan komposisi pemain dan salah strategi, Filiphina bisa-bisa menjungkalkan timnas kita.
Ironisnya, kita pernah tersungkur di hadapan Myanmar, Kamboja, Brunei, dan saudara muda Timor Leste.
Di kawasan Asia Tenggara timnas kita dianggap bukan siapa-siapa, sekedar singa ompong, bahkan ada yang menyebutkan raksasa tambun yang loyo dan menggelikan, sehingga dipandang sebelah mata.
Baca Juga:Â Menakar Peluang Timnas Garuda Lolos dari Fase Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
Namun, sebuah tragedi besar menghentak dan membangunkan singa ompong atau raksasa tambun nan lucu itu.
Ya, tragedi kanjuruhan yang dipicu oleh kekecewaan suporter Arema FC saat bersua dengan Persebaya Surabaya. Suporter yang tidak terima dengan kekalahan, turun ke lapangan yang direspon secara berlebihan oleh pihak kepolisian yang menembakkan gas air mata dan menimbulkan kepanikan di antara suporter yang berlarian menuju pintu keluar dalam keadaan sesak napas dan terinjak-injak, mengakibatkan banyak korban jiwa.
Kejadian 1 oktober dua tahun lalu itu menyisakan duka paling dalam. Bagaimana tidak? Jumlah total korban dari tragedi ini mencapai 754 orang, dengan 132 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan data suporter meninggal terus diperbaharui, dan pada 24 Oktober 2022, jumlah korban meninggal dilaporkan menjadi 135 orang.
Usai kejadian itu, PSSI melakukan KLB alias Kongres Luar Biasa yang berlangsung di tanggal 16 November 2022 dan menghasilkan nama Erick Thohir menjadi Ketua Umum PSSI menggantikan Mochamad Iriawan.
Pergantian tongkat kepemimpinan juga mengubah wajah Timnas Indonesia dengan bergabungnya pemain-pemain berdarah Indonesia yang berkarir di luar negeri.
Walau banyak mendapatkan tantangan dan kritikan, apalagi dengan tetap mempertahankan coach Shin Tae-yong sebagai pelatih kepala Timnas Garuda, Erick Thohir memulai pekerjaan beratnya untuk membawa kebangkitan persepakbolaan Nasional ke tingkat Asia.
Selebrasi yang Menggetarkan Itu
Dan hasilnya? Inilah kita lihat sekarang, pelan tapi pasti, slow but sure timnas Garuda bangkit dari keterpurukan akibat tragedi Kanjuruhan.
Baca Juga:Â Usai Kalah Telak dari Jepang, PSSI Bisa Nga Coach Shin Diganti dengan Pelatih Lokal?
Seakan-akan disengat oleh listrik berkekuatan tinggi, sang raksasa loyo nan menggelikan itu bangkit oleh karena perubahan yang nga ecek-ecek, perubahan yang revolusioner membawa Timnas Indonesia bangkit dan sekarang bertengger di posisi ketiga Klasemen Sementara Grup C Zona Asia.
Sang raksasa berubah menjadi garang dan mematikan. Lihat saja bagaimana Bahrain dipaksa harus bermain curang untuk mendapatkan satu poin dari Timnas Garuda, pun dengan raksasa Arab Saudi harus merasakan bagaimana ganasnya pemain-pemain Indonesia menjinakkan pemain-pemain internasional mereka.
Total empat poin diraup Timnas Indonesia kala bersua dengan Elang Hijau -- julukan timnas Arab Saudi dengan hasil seri 1 -- 1 di bulan September, matchday pertama dan tiga poin di matchday keenam sekaligus pertandingan penutup di tahun 2024 ini.
Dunia seakan-akan terbelalak dengan kebangkitan raksasa imut nan lucu yang tiba-tiba menjadi garang dan mematikan. Timnas Garuda kini bertengger di posisi 125 peringkat FIFA, dan hanya berjarak enam anak tangga dari Vietnam yang terus mengalami kemerosotan pasca ditinggal coach Park Hang-seo.
Kebangkitan itu nyata. Jatuh -- bangun akibat tambal -- sulam pemain menjadi kunci kebangkitan Timnas Indonesia.
Walau banyak dihujat akibat menaturalisasi pemain, namun sepertinya itulah jalan terbaik untuk membangkitkan gairah persepakbolaan nasional dan juga jiwa kompetisi para pemain mudanya untuk bangkit dari 'tidur' dan dari zona 'nyaman' mereka.
Mau tak mau pemerintah harus membangkitkan kompetisi antar umur untuk mencari bibit-bibit pemain masa depan usai para pemain naturalisasi ini habis 'limit' mainnya.
Baca Juga:Â Kompasianival (bukan) Ajang Kompasianer Medan
Mau tak mau para pemain yang bermain di kompetisi lokal harus meningkatkan kemampuan dan mengasah skill permainan sepakbola mereka jika ingin lolos seleksi calon pemain timnas Garuda.
Terbukti sudah, kolaborasi pemain naturalisasi dengan pemain lokal menghentak dunia sepakbola.
Bagaimana tidak? Harapan untuk lolos otomatis ke putaran final Piala Dunia 2026 terbuka lebar. Persaingan di Grup C Zona Asia bak neraka.
Posisi dua yang ditempati Australia hanya beda satu angka dengan Timnas Garuda, Saudi Arabia, Bahrain, dan Cina yang nilainya equal dengan Timnas kita.
Punya nilai sama, tinggal menunggu siapa yang lengah akan terjungkal. Untuk itu ada pesan menarik di balik selebrasi anyar milik Marselino, namun pesan itu hanya Marselino-lah yang tau dan saya hanya menebak-nebak apa pesan dibalik duduknya Marselino di bangku ballboy.
Ya, pesan sarat makna ditunjukkan Marselino Ferdinan usai mencetak gol kedua ke gawang Elang Hijau. Dengan gaya santai, Marselino duduk bersandar separuh miring, sedikit mendongakkan wajah, dengan satu kaki berselonjor dan kaki lainnya bertumpu pada bola.
Gaya ini menunjukkan pesan bahwa dengan ketenangan, namun pelan tapi pasti Timnas Garuda akan mampu menggapai mimpi untuk meraih satu tempat di Piala Dunia 2026 sebagai wakil Asia.
Selebrasi yang mengingatkan kita akan selebrasi ikonik "Take a Seat" miliknya Cristiano Ronaldo di Santiago Bernabeu saat laga satu tim ibukota, Real Madrid versus Atletico Madrid di fase empat besar Liga Champions 2017 lalu.
Selebrasi menggetarkan itu bukan settingan atau karangan, tapi natural, alami datangnya dari naluri seorang pencetak gol untuk menggambarkan bagaimana sang pencetak gol mengekspresikan kebahagiaannya.
Apalagi gawang yang dibobol Marselino adalah gawang musuh bebuyutan yang tak pernah dikalahkan selama 13 kali pertemuan dalam kurun waktu 43 tahun dengan rekor sebelas kali kalah dan dua kali imbang.
Jadi wajar, selebrasi menggetarkan seisi stadion dan membuat para kamerawan atau wartawan berebut menjadikan momen itu sebagai momen terbaik di tahun 2024.
Ya pose yang mengisyaratkan agar semua pada tenang dan sabar serta terus memupuk semangat dan mimpi agar Timnas Garuda mampu mengambil satu tiket menuju Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada.
Perubahan Format Piala Dunia 2026 yang dilakukan FIFA sangat menguntungkan tim-tim Asia mendapatkan jatah delapan setengah tiket, artinya delapan tiket otomatis langsung dan satu tiket lagi diperebutkan dalam fase pamungkas, duel antar konfederasi.
Inilah saatnya mimpi bermain di Piala Dunia harus diwujudkan, namun jangan sampai membabi buta hingga lupa dari titik mana semua ini bermula.
Jangan sampai lupa bahwa tragedi besar Kanjuruhan menjadi titik balik dari rangkaian prestasi Timnas Garuda Indonesia hingga sampai sekarang. Dan sekarang kita juga masih belum jadi apa-apa, masih di setengah perjuangan meraih satu tiket untuk berlaga di Piala Dunia 2026.
Maka, jangan sampai jumawa dan berpuas diri, namun tetaplah kalem, seperti selebrasi yang menggetarkan itu untuk meraih satu tujuan, meraih satu tiket pasti ke Putaran Final Piala Dunia 2026.
Salam Blogger Persahabatan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H