Seperti dialami oleh anak saya dan mungkin oleh anak-anak lain pada umumnya, anak sulung saya (perempuan), semenjak kelas enam SD sudah dekat dengan seorang anak perempuan juga, anak seorang guru di SD. Dan memang, gedung SD, SMP, dan SMA-nya satu lokasi.
Anak saya ini kompak-lah bisa dibilang dengan kakak kelasnya ini, karena itu tadi, dia mulai mencoba pengembangan identitas, dengan mencari sosok yang bisa dijadikan kakak (teman curhat, teman yang bisa diajak diskusi, teman belajar). Awalnya mereka dekat, karena si kakak kelas ini sering membantu anakku yang memang memiliki niat belajar yang tinggi, sehingga sering bertanya tentang pelajaran, terutama tentang matematika.
Singkat cerita, anak saya ini masuk SMP, di lokasi yang sama dan sekolah yang sama. Seiring berjalannya waktu, kedekatan anak saya dengan kakak kelasnya mungkin semakin kompak dan saya pernah bertanya kepada anak saya, "Itu siapa? Kok kompak sekali kalian?", pernah suatu kali saya tanya.
Karena saya selalu mencoba menjadi ayah yang baik bagi mereka, dimana saya menyekolahkan ketiga putra-putri saya di sekolah yang sama dengan pertimbangan, pertama agar karena satu arah, sehingga ketika saya berangkat sekolah, mereka saya bisa antar duluan. Pun ketika pulang sekolah, saya bisa menjemput mereka sekalian pulang.
Pokoknya demi anak saya lakukan yang terbaik. Saya usahakan menjemput mereka, ketika pulang ekstrakurikuler di sore hari, mengantar anak saya les di salah satu bimbel, pokoknya demi anak akan saya lakukan yang terbaik, itulah tekad saya.
Kedua, agar saya mengetahuai apa aktivitasnya ketika pulang sekolah ataupun ketika pulang les, siapa saja temannya, agar tidak banyak keluyuran, sehingga saya harus menjadi Bapak yang Siaga.
Eh, ternyata sudah begitu-pun saya buat, saya masih kecolongan. Ternyata sosok yang sudah dianggap anak saya 'kakak'-nya ternyata memiliki kelainan, bisa dibilang penyuka sesama jenis. Sudah ada delapan orang katanya korbannya.
Anak saya tidak ada sebenarnya terkait dengan masalah ini, karena ternyata di kelas VII (tujuh), anak saya 'jijik' melihat kakak kelasnya yang ternyata memiliki kelainan, ketika diajak ke kamar mandi. Disitu dia curiga dan langsung memblokir nomornya dan menjauh dari kakak kelasnya, namun anak saya tidak mau curhat atau cerita kepada saya dan ibunya.
Guru Ikutan Melakukan Perundungan
Namun, entah darimana dapat sumber ceritanya, tiba-tiba disekolah heboh berita bahwa anak saya juga memiliki kelainan. Ditanggal 06 Nopember 2024, tepatnya sekitar pukul 14.00 Wib, handphone saya berdering dan salah satu orangtua dari teman anak saya menelpon saya.
Dalam pembicaraan lewat telp itu, dia berkata bahwa isu di sekolah, saya telah memukuli anak saya, dan menceritakan isu-isu seputar kelainan kakak kelas dari anak saya dan membalikkan fakta bahwa anak saya juga katanya punya kelainan, sehingga harus dibawa ke psikiater.