'Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina'
Peribahasa diatas mungkin tak harus diartikan secara harafiah lagi, artinya tak harus mengiakan dan melaksanakan tuntutan dari peribahasa itu yang mana kita harus belajar sampai ke Negeri Cina nun jauh disana, tapi cukuplah perhatikan dan pelajari bagaimana kesuksesan mereka yang ada di sekitar kita.
Ketika saya bongkar-bongkar rak buku lama yang sepertinya sudah dimakan rayap, saya menemukan sebuah buku yang cetakannya sudah agak lama, sepuluh tahun yang lewat berjudul, 'The Coming of the Chinese Immigrants to East Sumatra in the 19th Century'.
Ya, buku yang menceritakan kisah kedatangan para imigran-imigran China ke Pantai Timur Sumatera sebagai bentuk suatu 'keajaiban' yang turut mengubah peradaban di Sumatera ini.
Dari hasil penelitian yang dilakukan langsung oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah-II, S.H., yang dimulai dari tahun 1978 membuktikan bahwa sebelum pertengahan abad ke-19, Armada China telah mengunjungi Kompai -- dekat Teluk Haru, kerajaan Karo yang pernah didirikan di wilayah pantai timur Sumatera Utara dan pernah berkuasa pada kurun abad ke-13 sampai abad ke-16 Masehi -- yang mana dari hasil galian di Kota Cina -- di sekitaran Labuhan Deli dan Pulau Kompai, banyak ditemukan artifak dari zaman T'ang, Sung, Yuan dan periode Ming yang membuktikan bahwa Kota Cina benar adanya saat Kerajaan Sriwijaya berkuasa dan melakukan perdagangan, dimana hasil hutan ditukar dengan porselin China, sutera dan merjan (beads).
Pada tahun 1412 etnis China Muslim bernama Admiral Cheng Ho mengepalai misi perdagangan ke Haru. Sultan Husin telah digantikan puteranya, Sultan Alamsyah yang berkuasa di Deli dikenal memiliki hubungan baik dengan negeri China yang dibuktikan dengan pernah mengirim utusan di tahun 1419, 1421, dan tahun 1423.
Pantai Timur Sumatera Rebutan Kerajaan China dan Melayu
Sejak Portugis menduduki Malaka tahun 1511, perdagangan langsung antar daerah Deli dan China telah putus. Dari tahun 1539 sampai 1710 AD daerah pantai Timur Sumatera jadi rebutan antara Kerajaan China dan Kerajaan Melayu (Johor -- Riau), dari pertengahan abad ke-18 sampai abad ke-19 antara Aceh dan Siak, terakhir antara Belanda dan Inggris.
Sejalan dengan catatan dari Jhon Anderson yang menjadi orang Eropa pertama yang bertualang hingga ke pedalaman pesisir timur laut Sumatra, tahun 1824 ditandatanganilah sebuah perjanjian "Traktaat London" atau Perjanjian London untuk menghindari bentrok antara Inggris dan Belanda, dimana Inggris menyerahkan Bencoolen ke Belanda dan Belanda menyerahkan Malaka dan klaim mereka atas negeri-negeri di Malaya termasuk Singapura.
Tahun 1862 Belanda mengirim satu armada dikepalai oleh Residen Riau, Netscher untuk melaksanakan tuntutan Tuan Besar mereka atas negeri-negeri pantai di Pantai Timur Sumatera. Di Deli, berbatasan dengan Sungai Bubalan di sebelah barat laut -- hingga ke timur laut, di sebelah tenggara sungai Tuan dan sebelah selatan adalah kerajaan Batak Siantar.
Tembakau Deli menjadi alasan Belanda melakukan penetrasinya, sementara Serdang dan Batubara dapat ditaklukkan, namun tidak untuk Asahan dan Temiang masih melakukan perlawanan bergerilya yang baru dua puluh tahun kemudian dapat ditaklukkan.
Kala Deli, Langkat dan Serdang dirasa sudah aman untuk dieksploitasi, maka Sultan Deli mengeluarkan sewa tanah untuk jangka waktu 90 tahun kepada perusahaan tembakau Van den Arends/Nienhuys pada tanggal 8 April 1867, diikuti tak lama kemudian masuknya perusahaan-perusahaan tembakau lain untuk membuka perkebunan seperti di Sunggal (1869), Sungai Bras dan Klumpang (1875).
Tahun 1868 keuntungan dari penjualan tembakau Deli di Eropa sangat mengejutkan, sehingga banyaklah perhatian dari perusahaan-perusahaan asing lainnya untuk menanamkan modal mereka di Deli.
Awal Masuknya Etnis Cina di Deli dan Sekitarnya
Seorang Kontelir alias Kontrolir Belanda -- sebuah jabatan pemerintahan di masa Hindia Belanda yang bertugas sebagai penghubung Belanda dan rakyat jelata -- bernama Cats Baron de Raet menulis di buku hariannya, "...... secara bertahap makin banyak orang China berdiam di Deli, mereka kini berjumlah lebih 1000 orang".
Seluruh perusahaan-perusahaan baru yang bergabung di Deli mengikuti perusahaan Nienhuys, mempekerjakan orang-orang China untuk menanam tembakau, sementara orang-orang India selalu dipekerjakan untuk tugas rutin.
Tahun 1869, Deli Maskapai sendiri membawa 900 orang China dari Penang ketika memulai operasinya, sementara di tahun 1872 saja jumlah orang China di Deli sudah menanjak ke melebihi di angka 4000 orang.
Pada masa itu, Belanda sendiri sedang sibuk-sibuknya memberantas Pemberontakan Sunggal yang dipimpin oleh Datuk Kecil.
Di dalam Pasukan Ekspedisi Belanda itu ratusan kuli China digunakan sebagai alat pengangkut peralatan militer, antara tahun 1870 sampai 1880 ribuan kuli China dibawa dari Malaya untuk menunjang perluasan ekonomi yang begitu hebat di kawasan Asia Tenggara ini.
Perusahaan-perusahaan tembakau di Deli memperoleh Kuli Cina melalui sistem Kongsi, dimana Kepala Kongsi diberikan setapak tanah hutan dengan sejumlah bibit, dan daun tembakau yang berhasil akan dibeli dari mereka pada akhir tahun.
Tapi sistem ini diganti menjadi sistem kontrak langsung antara seorang Manajer Eropa dibnatu oleh "Centen" (Tindals) orang China atau "Kang Thao" dalam bahasa Hokkian atau "Kung Theeu" dalam bahasa Hakka dengan Kuli China yang akan dikontrak.
Jadi tak usah heran apabila sekarang juga Tenaga Kerja Asing terutama dari China masih menjadi primadona, sebanyak 37.711 jiwa atau setara 42% dari total TKA, disusul Jepang sebanyak 9.870 dan Korea Selatan sebanyak 9.302 pekerja.
Dari Buruh, Kuli Perkebunan Menjadi Ekonom Terkemuka
Sesuai Konvensi Anglo -- France -- China tahun 1886 menguasai imigrasi orang China, mengambil buruh di China dan pelayarannya ke Selat Malaka harus dilaksanakan lebih beradab, maka kaum migran mengadakan pelayaran menggunakan kapal yang dicarter dan sampai di Singkeh.
Keberadaan etnis China di Sumatera taklah mudah, mendapatkan banyak tantangan, rintangan hingga memunculkan konflik dengan penduduk setempat.
Sesuai laporan tahunan dari 'Deli Planters Vereeniging' alias Asosiasi Pemilik-Pemilik Perkebunan Deli antara bulan April 1915 -- Maret 1916 total kuli kontrak China di Perkebunan Tembakau, 37.608 orang dan tahun 1917 jumlah penduduk China di Sumatera Timur 99.236 orang diantaranya 92.646 laki-laki.
Tahun 1915 Manajer Deli Maskapai, Van Vollenhoven memberikan kapling-kapling tanah dalam areal perkebunan yang tidak cocok ditanam tembakau kepada orang China untuk dijadikan lahan berkebun sayur-mayur dan beternak babi. Namun tindakan ini ditentang oleh Sultan Deli karena membuka persaingan antara China dan penduduk setempat.
Seperti kebanyakan film-film Cina, memang suku China dimanapun berada selalu membentuk perkumpulan rahasia dan bahkan antara perkumpulan rahasia "Ghee Hin" yang kebanyakan dari suku Theochiu, Hakka dan Hailam bentrok dengan dengan perkumpulan rahasia "Ho Seng" yang diwakili suku Hokkian dan Hakka asal Fiu Chew. Kebanyakan perang antar berbagai serikat rahasia ini terjadi di Kalimantan, Riau dan Sumatera Timur.
Serikat rahasia inilah yang akhirnya membantu anggota-anggotanya menguasai bidang ekonomi di Sumatera Timur. Mereka membuat koneksi dengan cabang-cabang mereka di Penang, Singapura dan Hongkong, dan membentuk Kamar Dagang yang mengontrol dan bila perlu menaikkan harga-harga dengan serentak dimanapun mereka berdagang.
Pada akhir abad ke-19 dibuka sekolah China pertama di Medan bernama 'The Medan Boarding School', namun karena sekolah tersebut mempergunakan bahasa China dan Inggris, maka pemerintah Kolonial Belanda membuka "Holland Chinesche School" tahun 1917 menyaingi sekolah China yang mendatangkan guru China dari Malaysia dan menganggap menonjolkan pengaruh Inggris.
Tuan Oei Beng Seng menerbitkan Koran bahasa Melayu 'Andalas' dan Koran bahasa Cina 'Sumatra Bin Poh' di Medan. Di setiap pengadilan negeri (Landraad) di Sumatera Timur ada terdapat Letnan China sebagai kepala golongan China dan juga penerjemah Pimpinan China yang tertinggi ialah Kapiten China kemudian ditingkatkan menjadi Mayor China yaitu Chong A Fie yang rumahnya sampai sekarang dapat dinikmati sebagai salah satu tempat wisata sejarah di Kota Medan.
Kepiawaian baik itu berpangkat letnan, kapten, maupun mayor China digaji oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimana tugas mereka adalah melaporkan segala sesuatunya yang terjadi dikalangan komuniti orang China, membantu mengutip pajak dari orang-orang China, melaporkan pendatang China yang baru.
Seorang turis Amerika di tahun 1920 menulis bahwa sebagian besar pedagang di Medan berada di tangan orang-orang China dan itu sudah menjadi kenyataan.
Tentunya kedatangan etnis China dibarengi dengan pengaplikasian budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Di masa Soekarno, orang-orang Tionghoa masih bebas mengenakan atribut mereka, namun di masa Soeharto seluruh kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa dibatasi, hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam rumah atau ruangan tertutup.
Namun baru di era pemerintahan Presiden Abdul Rahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, perayaan Imlek dapat dirayakan secara bebas, bahkan ditetapkan jadi hari libur nasional. Happy Chinese New Year...
Mari bekerja keras agar dapat menyamai ekonomi mereka...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H