Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalaman Pernah Bersekolah di Asrama

13 September 2022   10:44 Diperbarui: 15 September 2022   02:07 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas, apakah kejadian-kejadian seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik dan seksual, eksploitasi anak, bahkan korupsi, radikalisme, anarkisme dan aksi terorisme itu hanya terjadi dan berkembang di sekolah-sekolah yang memiliki asrama?

Tentu tidak, di manapun dan kapanpun kejadian seperti yang digambarkan itu dapat terjadi, namun dari hasil penelitian KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), lembaga pendidikan berbasis asrama, seperti pondok pesantren dinilai lebih rentan terjadi kasus kekerasan seksual, terutama terhadap kaum perempuan, terbukti sebanyak 207 anak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual disatuan pendidikan sepanjang tahun 2021 dan dari total 18 kasus yang terjadi, 12 kasus diantaranya terjadi di satuan pendidikan berasrama, alias boarding school. Sumber di sini...

Pengalaman Sekolah di Asrama

Padahal bersekolah di asrama sangat banyak sisi positif yang akan kita terima dan mampu jadi bekal untuk masa depan kita. Bagaimana tidak, dengan bersekolah di asrama, mulai dari disiplin diri akan terbentuk, hingga mampu membentuk pribadi kita untuk tidak cengeng alias manja, namun mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi apapun, termasuk kala kita harus mampu mengatur keuangan, hidup hemat dan tidak boros.

Ketika saya tamat SMP, saya pernah punya cita-cita untuk jadi seorang imam dan untuk itu, maka saya harus menempuh pendidikan setara SMA di Seminari Menengah dan harus hidup di asrama. 

Tahun pertama, memang terasa berat dan terasa asing, karena saya bertemu dengan teman-teman dari berbagai pelosok Sumatera Utara.

Kami kala itu ada 72 orang yang dibagi dalam dua kelas A dan B yang datangnya dari 8 etnis yang ada di Sumatera Utara dan juga dari berbagi latar belakang keluarga, bahasa daerah, hingga sikap dan tingkah laku yang berbeda-beda.

Belum lagi ada teman yang temperamennya keras, kasar, punya teman senior satu daerah atau satu kampung, dan bahkan ada yang sudah dekat dengan abang kelas atau senioritas. 

Belum lagi kala itu senioritas sangat terasa, di mana kalau punya kakak kelas satu kampung atau satu daerah maka dianggap aman kalau melanggar disiplin asrama.

Dan coba kalau tak punya kakak kelas yang dianggap dapat jadi beking alias orang yang dianggap berpengaruh yang amat kuat sebagai pelindung yang dapat melindungi seseorang ketika mendapatkan kesalahan.

Kami pernah dihukum hanya gara-gara terlambat bangun atau terlambat mandi, atau terlambat pulang dari jalan-jalan di hari minggu, sehingga dipanggil ke 'kamar jemuran' -- istilah untuk tempat eksekusi bagi siswa seminaris yang melanggar peraturan -- dilakukan oleh kakak kelas. Mereka berkumpul di kamar jemuran dan kami satu per satu ditanyai, apakah ada kakak kelas satu kampung atau kakak kandung atau punya hubungan famili?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun