Sungguh miris dengan apa yang ditampilkan dan menjadi perbincangan hangat di jagat media sosial belakangan ini.Â
Ada kasus polisi tembak polisi yang sampai saat ini pangkalnya belum terbukti dan ujungnya belum juga terselesaikan, lalu ada kenaikan harga BBM bersubsidi yang sampai saat ini juga masih belum dapat diterima oleh masyarakat umum dengan aksi demo berkelanjutan.Â
Tak hanya itu, berimbas pada kenaikan bahan pokok dan tarif-tarif lainnya, termasuk tarif angkot dan ojol, sementara pendapatan alias gaji tak juga naik.
Belakangan, kita harus mengakui bahwa ada degradasi moralitas anak bangsa yang semakin jauh dari agama dan adat istiadat.Â
Pemberitaan akan bobrok dunia pendidikan kita khususnya ditelanjangi dengan aksi-aksi yang mengentak nalar kesadaran, membuat kita 'mengelus dada', selain berkata 'miris' dan 'menyedihkan', menyayat hati sekaligus menampar wajah Pendidikan kita.
Hasil yang dilakukan oleh oknum-oknum itu telah berhasil mencoreng dunia pendidikan kita. Bagaimana tidak? Sekolah-sekolah yang dianggap agamais itu mendadak harus menahan kelu oleh kelakuan oknum-oknum, sekali lagi oleh kelakuan oknum-oknum yang ada di lembaga pendidikan berbasis asrama, seperti yang terjadi di pondok pesantren di Jombang, di mana anak seorang kiai adalah pelaku kekerasan seksual terhadap lebih dari satu anak pesantren.
Pengepungan berlangsung dramatis, di mana polisi harus bekerja ekstra keras untuk menangkap pelaku pencabulan anak itu yang justru dilindungi oleh penghuni pondok pesantren.Â
Kelakuan para santri yang justru melindungi predator ini yang menjadi tanda tanya besar, ada apa dengan dunia pendidikan kita, khususnya lembaga pendidikan berbasis asrama?
Mengapa seorang predator seksual malah mendapatkan perlindungan dari dalam sendiri? Padahal aksinya telah memakan korban hingga lima dan bahkan bisa lebih apabila masih ada korban yang mau buka mulut.
Jika memang terbukti benar? Maka kasus ini akan mempertegas dan melengkapi pernyataan para ahli dan peneliti yang selama ini sudah pernah berkoar-koar bahwa memang terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dan sering menggunakan "topeng agama" untuk melancarkan aksi-aksi bejatnya, seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, bahkan untuk korupsi, anarkisme, radikalisme, terorisme, serta eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan.
Lantas, apakah kejadian-kejadian seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik dan seksual, eksploitasi anak, bahkan korupsi, radikalisme, anarkisme dan aksi terorisme itu hanya terjadi dan berkembang di sekolah-sekolah yang memiliki asrama?
Tentu tidak, di manapun dan kapanpun kejadian seperti yang digambarkan itu dapat terjadi, namun dari hasil penelitian KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), lembaga pendidikan berbasis asrama, seperti pondok pesantren dinilai lebih rentan terjadi kasus kekerasan seksual, terutama terhadap kaum perempuan, terbukti sebanyak 207 anak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual disatuan pendidikan sepanjang tahun 2021 dan dari total 18 kasus yang terjadi, 12 kasus diantaranya terjadi di satuan pendidikan berasrama, alias boarding school. Sumber di sini...
Pengalaman Sekolah di Asrama
Padahal bersekolah di asrama sangat banyak sisi positif yang akan kita terima dan mampu jadi bekal untuk masa depan kita. Bagaimana tidak, dengan bersekolah di asrama, mulai dari disiplin diri akan terbentuk, hingga mampu membentuk pribadi kita untuk tidak cengeng alias manja, namun mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi apapun, termasuk kala kita harus mampu mengatur keuangan, hidup hemat dan tidak boros.
Ketika saya tamat SMP, saya pernah punya cita-cita untuk jadi seorang imam dan untuk itu, maka saya harus menempuh pendidikan setara SMA di Seminari Menengah dan harus hidup di asrama.Â
Tahun pertama, memang terasa berat dan terasa asing, karena saya bertemu dengan teman-teman dari berbagai pelosok Sumatera Utara.
Kami kala itu ada 72 orang yang dibagi dalam dua kelas A dan B yang datangnya dari 8 etnis yang ada di Sumatera Utara dan juga dari berbagi latar belakang keluarga, bahasa daerah, hingga sikap dan tingkah laku yang berbeda-beda.
Belum lagi ada teman yang temperamennya keras, kasar, punya teman senior satu daerah atau satu kampung, dan bahkan ada yang sudah dekat dengan abang kelas atau senioritas.Â
Belum lagi kala itu senioritas sangat terasa, di mana kalau punya kakak kelas satu kampung atau satu daerah maka dianggap aman kalau melanggar disiplin asrama.
Dan coba kalau tak punya kakak kelas yang dianggap dapat jadi beking alias orang yang dianggap berpengaruh yang amat kuat sebagai pelindung yang dapat melindungi seseorang ketika mendapatkan kesalahan.
Kami pernah dihukum hanya gara-gara terlambat bangun atau terlambat mandi, atau terlambat pulang dari jalan-jalan di hari minggu, sehingga dipanggil ke 'kamar jemuran' -- istilah untuk tempat eksekusi bagi siswa seminaris yang melanggar peraturan -- dilakukan oleh kakak kelas. Mereka berkumpul di kamar jemuran dan kami satu per satu ditanyai, apakah ada kakak kelas satu kampung atau kakak kandung atau punya hubungan famili?
Mereka sortir, misalnya saya yang punya hubungan famili dengan kakak kelas yang sudah tiga tingkat di atas saya waktu itu.
Saya sebutkan namanya, saya katakan bahwa saya adalah adiknya beliau -- karena memang saya dan beliau masih ada hubungan famili, dimana ibu kami masih satu keturunan kakek dan nenek -- para senior kami -- satu tahun di atas kami -- yang jadi kakak kelas langsung -- meminta saya dan teman yang punya beking tadi untuk keluar dari ruangan jemuran dengan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang mereka anggap salah tadi.
Namun, ada teman kami yang tidak punya deking tadi tetap di dalam kamar jemuran dan pintu ditutup rapat-rapat oleh abang kelas tersebut. Lantas apa yang terjadi? Entahlah karena setelah itu mereka (ada 3 orang) jadi pendiam dan tak mau menceritakan kejadian yang ada di kamar jemuran tersebut dan terlihat teman kami ini traumatis untuk melakukan pelanggaran yang sama.
Memang senioritas dalam dunia pendidikan kita tak dapat dimusnahkan, sudah berlangsung sejak lama, sejak saya diasrama hingga sekarang, kekerasan yang dilakukan kakak kelas alias senior kepada junior kerap terjadi.Â
Walau masa orientasi sekolah dilakukan lebih humanis, tak melibatkan senior di sekolah, namun dalam situasi dan kondisi tertentu, masih terjadi pemalakan, pungli berujung kekerasan fisik, hingga adik kelas harus menunjukkan rasa hormatnya kepada kakak kelas.
Kasus yang menimpa santri yang berasal dari Palembang, Albar Mahdi (AM) yang meninggal dunia setelah mengikuti Perkemahan Kamis-Jumat (Perkajum), program dari Pondok Pesantren yang awalnya diduga mengalami kelelahan. Namun, akhirnya terungkap bahwa santri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Ponorogo itu meninggal karena mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh kakak kelasnya.
Dengan dalih memberikan hukuman, dua kakak kelas AM, berinisial MFA (18) dan IH (17) telah melakukan penganiayaan yang berujung pada kematian adik kelasnya. Yah, mungkin darah muda yang masih mengalir membuat kedua pelaku gelap mata hingga melakukan pemukulan yang melebihi dari standard.
Saya membayangkan betapa dulu ketika kami di kamar jemuran tersebut, menurut pengakuan teman-teman yang pernah masuk ke dalam, menceritakan bagaimana kakak kelas itu terkadang gelap mata dan melakukan tendangan atau pukulan yang melebihi kata normal.
Yah maklum saja karena darah muda, di samping emosi, juga keasyikan melakukan pemukulan, padahal kondisi fisik semua orang kan tidak sama, ada yang kebal, ada yg lemah dan tak tahan ketika menerima pukulan.
Ciptakan Sekolah Ramah Anak, Hapus Senioritas
Walau ada kenangan pahit ketika menempuh pendidikan selama tiga tahun di asrama itu, namun setidaknya ketika saya setelah keluar dan menghadapi dunia nyata, terlihat lebih siap dengan segala kondisi dan keadaan yang dihadapi.
Kenapa? Karena sebenarnya ada banyak plus-nya ketika bersekolah di asrama, dimana banyak hal diajarkan kepada kita, diantaranya:
Belajar Hemat. Ya, uang bulanan yang diberikan orangtua harus dapat digunakan dengan sebaik dan seirit mungkin, karena tak gampang kala itu untuk meminta uang kepada orangtua, karena era itu, belum ada ATM, belum ada smartphone, uang digital dan sebagainya. Jalan satu-satunya waktu itu untuk menerima uang adalah lewat wesel pos dan pulang kampung untuk meminta kiriman dari orangtua.
Lebih Disiplin dan Lebih Tertib. Hal paling disyukuri ketika pernah mengenyam pendidikan di asrama adalah disiplin dan lebih tertib. Kita diatur oleh jadwal yang terstruktur dengan baik dan lonceng adalah tanda untuk melakukan sesuatu. Misalnya bangun pagi di pukul 04.30 setiap paginya diatur oleh lonceng yang digoyang-goyangkan ke telinga saya ketika saya belum bangun.
Lalu waktu mandi, ke kapel dan sarapan pagi, lalu belajar di kelas dan kembali ke kamar -- asrama -- untuk ganti baju, makan siang, istirahat, kerja bakti, olahraga dan mandi sore, kemudian ke kapel lagi, makan malam, belajar hingga kembali ke peraduan untuk istirahat untuk besoknya kembali melanjutkan rutinitas.
Begitulah seterusnya, kita didisiplinkan memanfaatkan waktu, mencintai waktu dan juga memaknai waktu sekecil apapun untuk masa depan kita. Yang paling saya syukuri ketika menempuh pendidikan di asrama adalah bagaimana saya begitu menghargai makanan.
Saya masih ingat pesan pembimbing atau senioritas yang mengatakan mari kita habiskan nasi sampai ke butir terakhir, usahakan agar di piring kita itu sebutir nasipun tak tersisa! Itulah kebiasaan yang sampai sekarang masih dapat saya pertahankan dan saya tularkan kepada anak-anak.
Usahakan ambil makanan secukupnya, lalu dimakan dan usahakan jangan ada tersisa di piring kita, mari kita hargai orang yang memberikan kita rezeki, memasak nasi dan lauknya dengan cara menghabiskan nasi dan lauknya sampai butir terakhir!
Mari kita sekolah sebagai lingkungan belar dan ramah bagi anak. Lingkungan sekolah, terutama sekolah berbasis asrama harus bebas dari kekerasan, perundungan, dan jauh dari sikap kompetitif dan permusuhan, apalagi masih ada keharusan senior mengintimidasi junior.
Guru dan murid harus saling menghargai, menghormati, mencintai dan melindungi. Sekolah, asrama dan lembaga pendidikan lainnya harus menumbuh-kembangkan budaya positif dan pendidikan anak secara holistik alias menyeluruh, baik itu individual, sosial, emosional dan spiritual. Memungkinkan anak berkomitmen untuk belajar dan berprestasi, menjaga nama baik sekolah, berkarakter baik, berbudi pekerti luhur, serta peduli pada keluarga dan masyarakat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H