Bagaimana tidak? Ketika kami menelusuri taman itu, ada air terjun hingga tujuh tingkat. Sungguh banyak spot indah untuk disinggahi. Namun karena masih pandemi Covid-19, maka hanya rute tertentu yang masih dibuka untuk umum.
Setiap pengunjung pastilah diberikan Pak Marandus jejak yang ditinggalkan untuk dikenang dan dikunjungi kembali melihat jejak yang kita tinggalkan. Apalagi kalau bukan Pohon?
Ya, setiap pengunjung wajib menanam pohon ditaman Eden 100. Pohon Andaliman dan pohon berjenis Trengguli Wanggang yang digunakan membuat Tongkat Panaluan adalah jenis pohon yang kami tanam ketika berkunjung.
Mendengar penjelasan langsung dari Pak Marandus Sirait, saya kagum dengan perjuangan beliau untuk mengembalikan hutan Indonesia, khususnya di kawasan Danau Toba yang hancur oleh penebangan dan pembalakan liar.
Beliau sampai-sampai mengembalikan penghargaan Wana Lestari dan Kalpataru 2005 dan menjual pin emas penghargaan yang dia terima untuk membeli bibit-bibit pohon dan perlengkapan lainnya untuk membangun Taman Eden 100 yang luasnya lebih dari 50 hektar tersebut.
Bisa dibayangkan bukan? Bagaimana perjuangan beliau untuk membangun dan menjaga hutan seluas itu dengan biaya sendiri? Sebab minimnya bantuan pemerintah membuat Pak Marandus harus menginovasi sendiri agar hutan yang dia kembangkan dapat bertahan dan menjadi pendukung program NZE.
Sebab dengan ribuan bahkan jutaan pohon yang ada di Taman Eden 100 berapa spesies yang terselamatkan? Berapa juta kubik karbon yang diserap per harinya? So, semoga pemerintah mendengar jeritan dan harapan Pak Marandus Sirait.
Semoga cerita langkah kecil ini bermanfaat mendukung Net-Zero Emissions..