Masihkah hutan Indonesia layak dilabeli paru-paru dunia? Saya rasa tidak lagi, karena hari demi hari setapak demi setapak hutan tropis kita dirusak dan dibabat. Pohon-pohon yang menjadi pelindung dengan multi manfaat untuk bumi, ditebang oleh orang-orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi maupun sekelompok orang tertentu yang terorganisir dengan baik.
Seperti dikutip dari kbr.id, tim peneliti dari Duke University pada 2019 mengungkapkan bahwa tingkat deforestasi Indonesia masih tinggi sehingga mengundang kekhawatiran global. Salah satu bentuk deforestasi atau penghilangan hutan adalah dengan menebang pohon demi pembukaan lahan baru untuk keperluan industri.
Masih dari data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2019 yang menjelaskan bahwa setiap harinya, terdapat sekitar 50 hektar hutan Indonesia mengalami kerusakan sejak 2007. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang mengalami kerusakan hutan tercepat.
Sangat miris bukan? Ketika dunia mempercayakan Hutan Tropis Indonesia adalah ekosistem vital penjaga keberlangsungan hidup organisme, plus cadangan air dan paru-paru dunia, karena hutan kita memiliki kemampuan melepaskan oksigen ataupun udara bersih yang dibutuhkan oleh makhluk hidup, tak terkecuali oleh manusia?
Namun, Hutan terbesar ketiga kita setelah Brazil dan Kongo ini malah mengalami kerusakan besar dan disinyalir akan menjadi sejarah belaka apabila kita tidak memiliki komitmen bersama untuk mengelola lahan dan hutan produksi lestari dengan baik.
Paling paten lagi, hutan Indonesia sangat berfungsi meredam kenaikan gas rumah kaca penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Bahkan, konon lahan gambut Indonesia mampu menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat karbon tanah mineral biasa.
Atas dasar vitalnya peran lahan gambut itulah, pemerintah dengan gencarnya bekerja keras menuntaskan komitmen nyata dalam penanganan perubahan iklim dunia.
Dimulai dari peningkatan kesadaran masyarakat, khususnya kaum milenial agar memiliki sikap kesadaran sendiri untuk menjaga lingkungan disekitarnya dalam upaya memerangi perubahan iklim dunia.
Dilanjutkan dengan langkah bijak memperbaharui Nationally Determined Contribution (NDC) alias komitmen Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca, hingga kebijakan reforestasi dan restorasi lahan termasuk mangrove, agar Indonesia dapat mencapai net carbon sink alias penyerapan bersih karbon, seperti CO2, gas pembuangan dari pembakaran bensin, solar, kayu, daun, gas LPG, dan bahan bakar lainnya yang mengandung hidrokarbon di tahun 2030, sehingga skenario Net-Zero Emissions dapat terwujudkan.