Korupsi di Indonesia bersifat sistematik dan mempunyai rekam jejak yang sangat panjang, bahkan lebih panjang dari sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat Presiden berkata bahwa korupsi sudah "membudaya" di Indonesia.
Jauh sebelum itu, sejak penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela. VOC, kongsi dagang atau BUMN-nya Hindia Belanda yang bertugas untuk mengeksploitasi seluruh kekayaan Indonesia pada waktu itu terdampak oleh kasus korupsi. Perusahaan multinasional pertama di dunia ini harus gulung tikar tahun 1779 karena banyak pegawai VOC melakukan praktik kecurangan dan korupsi.
Namun, walau diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah Belanda, praktik kecurangan dan korupsi tetap tumbuh subur, hingga Indonesia Merdeka, masa Orde Lama, Masa Orde Baru, hingga pasca Reformasi tahun 1998, keadaan korupsi di negara kita malah tumbuh semakin subur. Dampak dari pengaruh budaya korupsi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru sangat terasa hingga sekarang.
Korupsi di era Soeharto dilakukan secara masif dengan menggunakan kekuatan sistem. Korupsi yang sistematik itu terjadi di semua lini politik, sosial dan ekonomi. Korupsi tingkat tinggi dengan melibatkan apartur keamanan negara, petinggi negara, sehingga susah dipecahkan hingga saat ini.
Pelajaran dari berbagai kasus korupsi di era Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi yang masih banyak terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas, menjadi bukti nyata bahwa "budaya" korupsi seperti diungkapkan oleh Bung Hatta bukanlah isapan jempol.
Kata "membudaya" dapat diartikan sudah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar, mendarah daging. Artinya, perilaku korupsi sudah bagian dari struktur kesadaran masyarakat. Perbuatan korupsi, bukan lagi persoalan moral, tetapi bagian dari hubungan bermasyarakat, sehingga kita lihat korupsi "membudaya" dalam dimensi kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, bahkan agama. Sehingga tidak heran apabila sangat banyak yang masih terkena kasus operasi tangkap tangan oleh KPK hingga saat ini.
Sebelas Anggota DPR kembali terkena operasi tangkap tangan oleh KPK, Kamis 8 Januari 2019. KPK menyebut OTT terkait rencana impor bawang putih. Menurut ketua KPK, Agus Rahardjo, pihaknya menerima informasi akan terjadi transaksi terkait dengan rencana impor bawang putih ke Indonesia. Mereka yang terjaring operasi senyap diduga melakukan tindak pidana suap melalui sarana perbankan dengan bukti transfer sekitar Rp 2 miliar. Dan mereka yang diamankan, diantaranya ada dari unsur swasta pengusaha importir, sopir, dan orang kepercayaan anggota DPR-RI.
Berita ini membuktikan bahwa korupsi ibarat bola liar yang menggelinding dan dapat menimpa siapa saja tanpa mengenal status sosialnya. Contohnya, orang-orang kepercayaan rakyat Indonesia yang duduk di kursi empuk DPR kembali terjaring OTT, membuktikan bahwa korupsi sudah sampai pada taraf membahayakan.
Lantas bagaimana caranya agar korupsi tidak membudaya di kalangan masyarakat kita? Apa aksi yang harus kita perbuat agar korupsi menjadi hal yang memalukan untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari?
Kita harus sepakat bahwa perilaku korupsi merupakan penyakit sosial sangat mematikan, karena efeknya tidak hanya menjadikan rakyat Indonesia miskin karena negara mengalami kerugian yang sangat besar, kekayaan negara hanya dinikmati oleh segelintir orang, korupsi dapat mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, karena melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, keadilan, dan mengancam supremasi hukum.
Ikhtiar Berantas Korupsi Dimulai Dari Pendidikan
Manfaat pendidikan sejatinya mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Sebagai tameng dan pemupus "budaya" korupsi yang sudah mendarah daging, maka sudah sepantasnya pendidikan antikorupsi benar-benar diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Desain pendidikan antikorupsi yang dimulai sejak dini, dari bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga tingkat perguruan tinggi akan semakin memberikan pemahaman kepada genarasi muda bangsa akan seperti apa rupa-rupa korupsi, bahayannya, hingga pencegahan sejak dini.
Salah satu tugas penting KPK adalah melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dalam upaya menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Strategi edukasi/kesadaran publik (education/public awareness approach) merupakan strategi level ketiga setelah strategi penindakan dan pencegahan yang harus diterapkan agar terwujud generasi yang sadar akan bahaya korupsi.
Ibarat halnya penyakit, mencegah korupsi jauh lebih efektif dan efisien daripada menindak atau mengatasi ("mengobati") penyakit korupsi seperti sekarang ini.
Tidak dapat dipungkiri, mengedukasi generasi sejak dini harus diwujudkan sembari KPK terus melakukan pengawasan, penindakan (menangkap dan memenjarakan pelaku korupsi dengan hukuman berat) sebagai proses pembelajaran bagi masyarakat Indonesia dengan tujuan memberikan bukti bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Pentingnya pendidikan antikorupsi telah dimulai dengan adanya nota kesepahaman implementasi pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Agus Rahardjo bersama Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo; Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Natsir; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin telah menandatangani komitmen penuh dalam percepatan implementasi pendidikan antikorupsi.
Mengembalikan nilai-nilai antikorupsi (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung-jawab, kerja keras, sederhana, berani, adil) merupakan hal utama yang harus ditanamkan dalam diri generasi bangsa sejak dini.
Seperti yang pernah saya sampaikan, mengajarkan pelajaran antikorupsi adalah dengan menggunakan media atau alat peraga berbentuk Pin Antikorupsi beserta buku ajar pendidikan antikorupsi yang diajarkan lewat muatan lokal.
Atau dengan mendesain buku pembelajaran antikorupsi dengan model pembelajaran berbasis kontekstual (Contextual Teaching and Learning), mengapa harus kontekstual?
Karena kita ingin pembelajaran antikorupsi yang holistik, artinya menyentuh seluruh aspek kebutuhan pendidikan anak, dan bertujuan memotivasi peserta didik untuk memahami makna materi pembelajaran tentang antikorupsi dengan mengaitkan atau menghubungkan materi pelajaran tentang antikorupsi yang dia terima dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks  pribadi,  sosial,  dan  kultural).
Pembelajaran antikorupsi juga dapat diterapkan lewat jalur ekstrakurikuler "Antikorupsi" atau "KPK (Komunitas Pemberangus Korupsi)", sehingga generasi muda memiliki pengetahuan dan keterampilan antikorupsi sejak dini.
Teori-teori dan praktik-praktik korupsi yang terjadi dan mengapa korupsi di Indonesia sudah mencapai level pada kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dengan 7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi, serta bagaimana penindakan hingga pencegahan, apalagi pengawasan sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi, merupakan goal ataupun output yang didapatkan dari penerapan pendidikan anti korupsi tersebut.
Dengan pembentukan ekskul antikorupsi atau KPK serta pembelajaran antikorupsi pada muatan lokal, maka diharapkan di setiap sekolah, warga sekolah bisa menjadi pengawas penggunaan dana dari jeratan korupsi.
Karena bukan rahasia umum lagi, penggunaan dana anggaran BOS, dana Komite Sekolah serta dana-dana dari sumber lain sangat susah diketahui laporan penggunaannya, kecuali oleh kepala sekolah, bendahara BOS, bendahara komite dan operator dapodik.
Sehingga di setiap sekolah ada anekdot seperti ini, "orang-orang yang duduk sebagai bendahara ataupun operator dapodik itu adalah orang-orang yang harus tunduk dan tidak boleh sembarangan buka mulut kepada pihak lain, kecuali izin dari kepala sekolah atau atasan".
Sehingga apabila ada penggunaan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah, darimana sumber dananya, berapa anggaran dan terpakai, tidak ada yang tau persis, kecuali orang yang duduk di lingkaran tersebut.
Contoh diatas merupakan hal kecil yang harus kita perbaiki sehingga benar-benar terwujud pendidikan antikorupsi. Keterbukaan informasi, transparansi dana serta pengawasan terhadap penggunaan dana merupakan suatu keharusan dalam menciptakan kultur atau budaya jujur, adil dan merata dalam kehidupan bernegara yang dimulai dari kehidupan di sekolah.
Semoga dengan adanya ikhtiar memberantas korupsi yang dimulai dari ide penerapan pendidikan antikorupsi berbasis kontekstual, pembentukan ekstrakurikuler antikorupsi serta generasi pemberangus korupsi, pun dengan pengawasan penggunaan dana BOS maupun dana pendidikan lainnya mampu menjadi gagasan yang abadi karena saya tuliskan dalam artikel ini.
Sehingga slogan "Verba Vallent, Scripta Manen", kurang lebih artinya "Apa yang terkatakan segera lenyap, apa yang dituliskan akan menjadi abadi", dapat menggugah kita semua dalam upaya mencegah dan memberantas perilaku korupsi yang sudah mencapai pada taraf kejahatan kemanusiaan.
Dukungan semua pihak sangat dibutuhkan dengan peran masing-masing dalam upaya memberangus korupsi, sehingga "budaya" korupsi benar-benar menjadi "budaya malu" untuk melakukan tindakan korupsi, sehingga terwujud keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia di usia Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-74.
Medan, 16 Agustus 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI