Atau dengan mendesain buku pembelajaran antikorupsi dengan model pembelajaran berbasis kontekstual (Contextual Teaching and Learning), mengapa harus kontekstual?
Karena kita ingin pembelajaran antikorupsi yang holistik, artinya menyentuh seluruh aspek kebutuhan pendidikan anak, dan bertujuan memotivasi peserta didik untuk memahami makna materi pembelajaran tentang antikorupsi dengan mengaitkan atau menghubungkan materi pelajaran tentang antikorupsi yang dia terima dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks  pribadi,  sosial,  dan  kultural).
Pembelajaran antikorupsi juga dapat diterapkan lewat jalur ekstrakurikuler "Antikorupsi" atau "KPK (Komunitas Pemberangus Korupsi)", sehingga generasi muda memiliki pengetahuan dan keterampilan antikorupsi sejak dini.
Teori-teori dan praktik-praktik korupsi yang terjadi dan mengapa korupsi di Indonesia sudah mencapai level pada kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dengan 7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi, serta bagaimana penindakan hingga pencegahan, apalagi pengawasan sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi, merupakan goal ataupun output yang didapatkan dari penerapan pendidikan anti korupsi tersebut.
Dengan pembentukan ekskul antikorupsi atau KPK serta pembelajaran antikorupsi pada muatan lokal, maka diharapkan di setiap sekolah, warga sekolah bisa menjadi pengawas penggunaan dana dari jeratan korupsi.
Karena bukan rahasia umum lagi, penggunaan dana anggaran BOS, dana Komite Sekolah serta dana-dana dari sumber lain sangat susah diketahui laporan penggunaannya, kecuali oleh kepala sekolah, bendahara BOS, bendahara komite dan operator dapodik.
Sehingga di setiap sekolah ada anekdot seperti ini, "orang-orang yang duduk sebagai bendahara ataupun operator dapodik itu adalah orang-orang yang harus tunduk dan tidak boleh sembarangan buka mulut kepada pihak lain, kecuali izin dari kepala sekolah atau atasan".
Sehingga apabila ada penggunaan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah, darimana sumber dananya, berapa anggaran dan terpakai, tidak ada yang tau persis, kecuali orang yang duduk di lingkaran tersebut.
Contoh diatas merupakan hal kecil yang harus kita perbaiki sehingga benar-benar terwujud pendidikan antikorupsi. Keterbukaan informasi, transparansi dana serta pengawasan terhadap penggunaan dana merupakan suatu keharusan dalam menciptakan kultur atau budaya jujur, adil dan merata dalam kehidupan bernegara yang dimulai dari kehidupan di sekolah.
Semoga dengan adanya ikhtiar memberantas korupsi yang dimulai dari ide penerapan pendidikan antikorupsi berbasis kontekstual, pembentukan ekstrakurikuler antikorupsi serta generasi pemberangus korupsi, pun dengan pengawasan penggunaan dana BOS maupun dana pendidikan lainnya mampu menjadi gagasan yang abadi karena saya tuliskan dalam artikel ini.