Budaya dan agama, agama dan budaya dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mana yang duluan ada, budaya atau agama? Dalam buku Sitor Situmorang berjudul "Toba na Sae", budaya Batak Toba sudah ada sejak dahulu kala, semenjak munculnya Si Raja Batak -- manusia pertama yang diturunkan dari Gunung Pusuk Buhit, di pantai barat daya Danau Toba -- budaya yang menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar, sebenarnya sudah ada dan mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Contoh budaya dari Si Raja Batak yang hingga sekarang masih tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah berziarah. Kebiasaan baik ini sudah ada sejak nenek moyang kita, diturunkan, dilaksanakan hingga saat ini.Â
Kita lihat, bahkan sekarang ini ada pasangan paslon untuk memikat dukungan selalu berziarah ke makam-makam pemuka agama dengan harapan agar roh daripada makam yang diziarahi memberikan doa restu, sehingga benarlah adanya bahwa agama dan budaya bisa saling bersinergi dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
Sedikit kisah bagaimana berbaurnya antara agama dan budaya dalam perjalanan budaya Batak menurut buku "Toba na Sae", bahwasanya di sebelum atau sekitaran abad ke-5 hiduplah Raja Leher Besar yang mendiami Negeri P'ik'ien menurut Robert Heine Geldren berada di Semenanjung Malaysia/Siam atau Touen-siun.
Heine Geldren menduga bahwa negeri P'ik'ien mestinya pendahulu dari berbagai kerajaan Batak-Hindu di bagian utara Sumatera yang berfungsi sebagai pewaris tradisi Raja Leher Besar, seperti Kerajaan Nagur di sebelah timur Danau Toba (Simalungun) dan sebuah kerajaan Batak-Hindu di daerah pesisir Barus (Singkel).
Kerajaan-kerajaan Hindu tersebut akhirnya digantikan oleh kesultanan-kesultanan Islam di pesisir, sementara di pedalaman, konsep Hindu yang dicangkokkan ke dalam sistem Pribumi terus berlanjut meskipun Islam sudah bercokol di daerah pesisir.
Hipotesis Heine Geldren ini merunut pada kesinambungan paham Raja Leher Besar dengan tradisi Sisingamangaraja, sampai pada pewaris-pewarisnya, berupa kerajaan Batak-Hindu di sekitar Danau Toba sampai abad ke-16, khususnya sampai di pedalaman seperti Simalungun (bekas kerajaan Nagur) yang mempraktikkan sistem Dewaraja, antara lain di Raya, Raja Rondahaim, sampai pada abad ke-19.
Inti dari tulisan ini bahwa seiring berjalannya waktu, terjadi inkulturasi budaya dengan agama yang datang ke bumi Nusantara, khususnya ke Sumatera Utara, dimana agama dan budaya disesuaikan dengan pola kehidupan masyarakatnya di zaman itu, mulai dari zaman Pagaruyung/Melayu (abad ke-13 sampai ke-15), masa pra-Islam sampai Kesultanan Aceh bangkit pada abad ke-16.
Kisah agama dan budaya bisa menyatu, terlihat pada teks doa-doa atau syair-syair yang masih terpelihara dan kembali dipanjatkan saat upacara-upacara tertentu yang dilakukan oleh Parmalim -- aliran kepercayaan yang telah diakui keberadaannya -- sebagai aliran kepercayaan di Tanah Batak yang mendukung bahwa memang antara agama dan budaya bisa saling bersinergi, menyatu dan terintegrasi antara satu sama lain untuk saling melengkapi.
Ya, inkulturasi budaya dan agama di Indonesia telah membentuk sebuah perubahan besar dalam kehidupan bermasyarak dan bernegara di negara kesatuan kita ini. tidak dapat dipungkiri proses dari "in" dan "Culture", yang dapat diartikan "masuk ke dalam kebudayaan" atau proses berakar dalam kebudayaan telah mampu mempengaruhi pola hidup dan kegiatan keagamaan dan adat istiadat di tengah-tengah masyarakat. Adat istiadat mampu membaur dengan kegiatan keagamaan. Mana budaya yang sesuai dengan agama yang dianutnya telah dilaksanakan dalam kegiatan bersama-sama.
Contohnya, dalam ibadah keagamaan Katolik, dimana budaya Batak kental terlihat ada didalamnya, begitupun saat acara adat Batak, harus didahului oleh acara keagamaan. Begitulah memang seharusnya sehingga antara agama dan budaya saling bersinergi dan saling mengisi.