Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Bola

Sisi Romantisme Kroasia Layak Ditiru Untuk Berprestasi

15 Juli 2018   21:48 Diperbarui: 15 Juli 2018   22:16 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di babak semifinal, lagi-lagi Inggris dibuat keok dan harus mengubur mimpi membawa pulang Coupe du Monde setelah Ivan Perisic dan Mario Mandzukic mampu mencetak gol ke gawang Jordan Pickford yang hanya mampu dibalas oleh gol Kieren Trippier.

Sisi Positif Kroasia Membuat Kita Harus Belajar

Di final, bersua dengan Les Bleus yang juga ke final tidak seberat perjuangan Kroasia. Ya, mereka meraih final tidak harus melewati babak ekstra time hingga penalty. Paling barter mereka kerja keras kala bersua Argentina dengan skor tipis 4-3, namun walaupun demikian Perancis haruslah diakui memang menjadi tim unggulan sebelum turnamen.

Namun, perjuangan Kroasia menembus final, ini seharusnya yang menjadi catatan penting harus diungkapkan dan menjadi pembelajaran buah dari turnamen besar ini bagi perkembangan sepakbola negara kita.

Kegagalan total di Piala AFC umur 19 tahun jadi cambuk bagi kita bagaimana membina persepakbolaan tanah air sehingga menciptakan bibit-bibit unggul tulang punggung timnas kita. Keberadaan seorang M. Maulana Vikri yang didatangkan dari Polandia ternyata bukan jaminan kita kuat dan mampu merengkuh gelar tersebut.

Jadi, sisi romantisme perjalanan Kroasia membuat saya menuangkan mengapa kita belajar pada negara kecil, dianggap domba tiba-tiba menjadi singa mengaum dan siap menerkam Ayam Jantan, yaitu:

(1). Takdir. Ya, kedatangan Kroasia di final adalah takdir seperti yang diucapkan oleh Miroslav Blazevic di tahun 1998. Kala itu, Blazevic berkata, "akan adanya keajaiban, saya percaya selalu ada kandidat juara baru!". Perkataan itu tidak meleset.

Dua puluh tahun dari setelah menghantarkan Kroasia jadi juara tiga di Piala Dunia 1998 dengan generasi emasnya, sebut saja: Davor Suker, Slaven Bilic, Robert Jarni, Robert Prosinecki, dan Zvonimir Boban, kini muncul generasi bukan emas, tetapi sudah matang seperti permata. 

Karena timnas Kroasia sekarang rata-rata berumur 27 tahun plus 10 bulan. Artinya, generasi yang menghantarkan The Blazer ke final sudah sangat matang. Sebut saja: Luka Modric (32 tahun), Ivan Rakitic (30 tahun), Ivan Perisic (29 tahun), dan Mario Mandzukic (32 tahun) masih sanggup bertarung 120 menit.

Takdir 20 tahun bakal muncul juara baru itu jugalah yang membuat Kroasia bisa ke final. Bayangkan, dua kali mereka harus mengalahkan lawan-lawannya sampai adu penalti, ini menandakan bahwa keberuntungan, kebahagiaan, romantisme skuad terwujud lewat kerja keras tanpa batas.

(2). Doa dan Kepasrahan. Itu ditunjukkan oleh pelatih Dalic. Dia sewaktu berangkat ke Rusia penuh dengan keraguan, ketidakberuntungan, dan tanpa target muluk-muluk. Krisis di tubuh Vetrani mampu diobati oleh Dalic, namun kembali di Rusia, Kroasia tidak diunggulkan, namun Dalic berkata: "Semua yang telah saya lakukan dalam hidup dan karier profesional saya berkat Tuhan, saya merasa berutang kepada-Nya," ucap Zlatko Dalic seperti dilansir Catholic News Agency. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun