Seperti tertulis, "Dari domba menjadi singa, dibutuhkan usaha, kerja keras dan pantang menyerah". Untuk meraih hasil maksimal tersebut tidak hanya tiga unsur diatas, tetapi doa juga faktor utama penyempurna dari usaha dan kerja keras tersebut. Kini, kita bisa melihat apa ditampilkan oleh dua kontestan akhir Piala Dunia 2018 di Rusia dalam tajuk, Battle of Moskow.
Ya, inilah puncak dari perhelatan paling akbar di muka bumi ini, dimana dari awalnya dibuka Juli, satu bulan penuh kita dibuat ketar-ketir, berdecak kagum dan tanpa tedeng aling-aling harus menyempatkan waktu didepan layar televisi atau layar HP, bahkan di layar monitor komputer untuk menyaksikan partai-partai dari penyisihan grup hingga final nanti malam.
Inilah partai puncak yang paling ditunggu, tetapi bisa juga partai antiklimaks, karena tim penghuni finalis, bukan tim-tim seperti yang dibayangkan sebelumnya, atau seperti yang diprediksikan banyak pihak.
Ya, yang menjadi finalisnya, ternyata Kroasia dan Perancis. Namun, itulah sepakbola. Lagi-lagi tim yang dianggap 'domba', bisa sekejap berubah menjadi 'singa' lapar yang mengaum dan menyantap mangsanya dengan cara diluar nalar kita.
Melihat perjalanan Vetrani atau si lidah api, maka negara kita sangat pantas untuk belajar pada negara kecil berpenduduk 4,17 juta jiwa ini. bagaiman tidak? Dengan penduduk sangat sedikit, namun mampu menembus final di tahun 2018 dan sebelumnya 20 tahun lalu bisa meraih peringkat tiga. Sungguh prestasi hebat.
Saya jadinya berpikir seperti ini: "Apa lebih gampang mengumpulkan 23 pemain dari negara kecil, dibandingkan negara kepulauan dengan penduduk yang begitu besar?".
Vetrani bergabung di grup neraka karena dihuni Argentina, Nigeria dan Islandia, namun Luca Modric dan kawan-kawan mampu meraup poin sempurna setelah mengkandaskan tim-tim tersebut. Yang paling fenomenal tentunya membungkam Argentina dengan skor telak 3-0. Awal The Blazer disebut tim Kuda Hitam Kelas Wahid.
Di babak 16 besar sudah menunggu tim dinamit Denmark, namun dapat ditunddukkan walau harus adu penalty. Dan Kroasia bisa melaju ke babak perempat final bersua dengan tuan rumah, Rusia.
Lagi-lagi mental juara yang telah terpupuk di skuad Zlatko Dalic mampu meladeni permainan anak asuh Stanislav Cherchesov, sehingga permainan 90 menit + (perpanjangan waktu), skor tetap 2-2 hingga akhirnya harus dituntaskan lagi lewat adu penalty.
Lagi-lagi keberuntungan Igor Akinfeew ternyata masih dibawah bayang-bayang Danijel Subasic yang mampu memblok tendangan Fernandes, sehingga Vetrani lolos ke babak semifinal bersua Inggris.
Disinilah letak romantisme Vetrani karena mampu mengulang sejarah 20 tahun lalu, dimana generasi emas negara Balkan ini mampu lolos higga ke semifinal di Perancis 1998.
Di babak semifinal, lagi-lagi Inggris dibuat keok dan harus mengubur mimpi membawa pulang Coupe du Monde setelah Ivan Perisic dan Mario Mandzukic mampu mencetak gol ke gawang Jordan Pickford yang hanya mampu dibalas oleh gol Kieren Trippier.
Sisi Positif Kroasia Membuat Kita Harus Belajar
Di final, bersua dengan Les Bleus yang juga ke final tidak seberat perjuangan Kroasia. Ya, mereka meraih final tidak harus melewati babak ekstra time hingga penalty. Paling barter mereka kerja keras kala bersua Argentina dengan skor tipis 4-3, namun walaupun demikian Perancis haruslah diakui memang menjadi tim unggulan sebelum turnamen.
Namun, perjuangan Kroasia menembus final, ini seharusnya yang menjadi catatan penting harus diungkapkan dan menjadi pembelajaran buah dari turnamen besar ini bagi perkembangan sepakbola negara kita.
Kegagalan total di Piala AFC umur 19 tahun jadi cambuk bagi kita bagaimana membina persepakbolaan tanah air sehingga menciptakan bibit-bibit unggul tulang punggung timnas kita. Keberadaan seorang M. Maulana Vikri yang didatangkan dari Polandia ternyata bukan jaminan kita kuat dan mampu merengkuh gelar tersebut.
Jadi, sisi romantisme perjalanan Kroasia membuat saya menuangkan mengapa kita belajar pada negara kecil, dianggap domba tiba-tiba menjadi singa mengaum dan siap menerkam Ayam Jantan, yaitu:
(1). Takdir. Ya, kedatangan Kroasia di final adalah takdir seperti yang diucapkan oleh Miroslav Blazevic di tahun 1998. Kala itu, Blazevic berkata, "akan adanya keajaiban, saya percaya selalu ada kandidat juara baru!". Perkataan itu tidak meleset.
Dua puluh tahun dari setelah menghantarkan Kroasia jadi juara tiga di Piala Dunia 1998 dengan generasi emasnya, sebut saja: Davor Suker, Slaven Bilic, Robert Jarni, Robert Prosinecki, dan Zvonimir Boban, kini muncul generasi bukan emas, tetapi sudah matang seperti permata.Â
Karena timnas Kroasia sekarang rata-rata berumur 27 tahun plus 10 bulan. Artinya, generasi yang menghantarkan The Blazer ke final sudah sangat matang. Sebut saja: Luka Modric (32 tahun), Ivan Rakitic (30 tahun), Ivan Perisic (29 tahun), dan Mario Mandzukic (32 tahun) masih sanggup bertarung 120 menit.
Takdir 20 tahun bakal muncul juara baru itu jugalah yang membuat Kroasia bisa ke final. Bayangkan, dua kali mereka harus mengalahkan lawan-lawannya sampai adu penalti, ini menandakan bahwa keberuntungan, kebahagiaan, romantisme skuad terwujud lewat kerja keras tanpa batas.
(2). Doa dan Kepasrahan. Itu ditunjukkan oleh pelatih Dalic. Dia sewaktu berangkat ke Rusia penuh dengan keraguan, ketidakberuntungan, dan tanpa target muluk-muluk. Krisis di tubuh Vetrani mampu diobati oleh Dalic, namun kembali di Rusia, Kroasia tidak diunggulkan, namun Dalic berkata: "Semua yang telah saya lakukan dalam hidup dan karier profesional saya berkat Tuhan, saya merasa berutang kepada-Nya," ucap Zlatko Dalic seperti dilansir Catholic News Agency.Â
Ya, pria berusia 51 tahun ini sangat percaya bahwa apa yang mereka capai tidak lepas dari doa dan kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa, sehingga mereka bisa bermain lepas sebagai tim. Tidak seperti cara bermain anak-anak timnas U-19 yang main emosi, seakan-akan ingin jadi bintang, tidak terkoordinasi dan merasa lebih bagus dari Malaysia, sehingga kita kalah.
Ini seharusnya kita benahi dengan mencontoh apa yang diperbuat oleh Kroasia. "kami menaruh rasa hormat kepada pelatih", begitulah ungkapan Modric sebagai kunci sukses mereka melenggang ke final.
(3). Romantisme Pemimpin Negara Dalam Memberikan Semangat. Penghargaan tertinggi dari pemimpin negara adalah perhatian. Pak Jokowi tau betul itu, sehingga beliau sangat mendekatkan diri pada rakyatnya dan menghargai serta memberikan penghargaan bagi atlet berprestasi.
Namun, di sepakbola hal itu belum terwujud, karena timnas kita memang penangannya masih amburadul. Egoisme berlebihan, kepentingan diatas kepentingan serta dualisme kepemimpinan membuat persepakbolaan kita memang jalan ditempat.
Coba kita belajar pada gaya kepemimpinan dan pendekatan Kolinda Grabar-Kitarovic kepada para pemain-pemainnya yang suskes mempersembahkan final untuk negara kecil mereka. Presiden wanita pertama Kroasia ini memang tidak glamour, dia mirip dengan Pak Jokowi yang selalu naik pesawat kelas ekonomi.
Membaur dengan rakyatnya, dengan supporternya untuk memberikan dukungan dan duduk di VIP tanpa banyak gaya, yang terakhir tentunya menyambangi dan berbincang, memeluk satu per satu pemainnya serta memberikan semangat agar sukses hingga merengkuh gelar Piala Dunia 2018.
Dalam video beredar, presiden cantik tersebut tidak sungkan, tidak ada batasan antara dirinya yang presiden dengan pemain bola, walau tida wanita, tetapi tidak ada rasa malu, ya karena dengan romantisme tersebut akan mengalir kekuatan dan semangat baru untuk mengalahkan Perancis dan merengkuh gelar piala dunia untuk pertama kalinya.
So, mari kita lihat bagaimana akhir dari romantisme Kroasia di final. Jangan lupa sediakan Kacang Garuda, agar semakin nikmat nonton final, Romantisme versus Kecapatan, sebab? Jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda! Semangat Timnas Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H