Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

7 Manfaat Gerakan Orang Tua Mengantar Anak Ke Sekolah

13 Juli 2016   11:12 Diperbarui: 13 Juli 2016   11:19 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dukung gerakan mengantar anak di hari pertama. sumber gambar : www.suaramerdeka.com

Dalam sebuah kesempatan, Ki Hajar Dewantara pernah berujar “maksudnya Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Tujuan pendidikan itu ialah kesempurnaan hidup lahir batin sebagai satu-satunya untuk mencapai hidup selamat dan bahagia manusia, baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat (sosial)”. 

Lebih lanjut menurut beliau bahwa “Pendidikan berarti daya upaya untuk memasukkan ‘bertumbuhnya’ budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, (intellect) dan tubuh anak – sebagai kesatuan – agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak yang kita didik selaras dengan dunianya. ” (TS, 1977). 

Ki Hajar Dewantara, dengan penuh perjuangan dan kerja keras berhasil mendirikan Taman Siswa, sekolah pertama di republik ini pada tanggal 3 Juli 1922 yang bertujuan untuk mendidik putra-putri terbaik bangsa Indonesia dalam persiapan pembangunan setelah Indonesia merdeka, sebab pada waktu itu pendidikan kolonial Belanda tidak sesuai dengan kemajuan jiwa-raga bangsa Indonesia, pendidikan oleh pemerintahan penjajah hanya untuk kepentingan kolonial saja, sementara Ki Hajar berpandangan luas yang nantinya menginginkan setelah Merdeka, bangsa ini tidak tergantung kepada bangsa asing, tetapi mampu membangun dengan Sumber Daya Manusia Indonesia yang terampil dan berpendidikan.

Maka Ki Hajar Dewantara membangun metode pendidikannya dengan konsep among methode atau among system, yaitu menyokong kodrat alamnya anak yang kita didik, agar dapat mengembangkan hidupnya lahir dan bathin menurut kodratnya sendiri-sendiri, sehingga beliau menciptakan tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan itu berpusat pada keluarga, sekolah, dan masyarakat yang saling bersimbiosis dan saling mendukung dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 

Selama bertahun-tahun, spirit pendidikan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat tumbuh dan berkembang dengan baik, dimana guru mampu memainkan perannya sebagai ujung tombak pendidikan dengan mendidik dan mengajar, lebih dari itu bahkan bisa sebagai mediator dan fasilitator agar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berjalan dengan baik. Orang tua juga mampu memainkan peranan penting dalam upaya membangun karakter anak.

 Dasar-dasar pendidikan, diberikan oleh orang tua sebagai bentuk tanggung jawab kodrati dan atas dasar kasih sayang yang secara naluriah muncul pada diri orang tua. Orang tua mengajarkan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang menurut masyarakat adalah perbuatan yang terpuji dan mana yang tidak.

 Fungsi keluarga yang meliputi fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi sosialisasi, fungsi rekreasi, dan fungsi orientasi seharusnya telah diterapkan dalam keluarga sebagai fase pertama sebelum anak terjun di tengah-tengah masyarakat atau sebelum anak menempuh pendidikan formal di sekolah sebagai satu kesatuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan.

Namun, seiring dengan kemajuan dan perubahan era yang ditandai dengan pesatnya perkembangan TIK dan bergesernya paradigma bahwa sekolah adalah tempat satu-satunya peserta didik ditempa dengan menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak menjadi tanggung jawab sekolah, tanpa mengindahkan pendidikan dalam keluarga menjadikan sistem pendidikan kita mengalami pergeseran yang signifikan dan tidak sesuai lagi dengan apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara.

 Ini terlihat jelas dengan kejadian-kejadian penting yang sudah meresahkan dunia pendidikan kita, mulai dari etika dan moral yang tergerus dimana siswa dan orang tua kompak menyalahkan guru yang tidak sekedar mengajar, tetapi mendidik dengan hati (karena saking sayangnya pada siswa, sang guru mencubit siswa yang bandal) – padahal jauh dari era reformasi hal tersebut wajar-wajar saja – yang berujung penjara bagi guru. 

Kasus kriminalisasi pada guru menjadi tantangan baru bagi guru yang entah kenapa menjadi subjek yang paling dicari-cari kesalahannya, sehingga guru dituntut harus lebih kreatif, inovatif, dan menyenangkan saat mengajar. Untuk mendidik siswa sekarang, tidak hanya kesabaran yang dibutuhkan, tetapi juga kemampuan untuk mendidik dengan metode-metode mengajar yang lebih maju.

Disamping kriminalisasi guru, maraknya aksi-aksi tidak terpuji oleh anak-anak usia sekolah di kalangan masyarakat yang beredar cepat lewat media sosial menjadi borok dunia pendidikan kita. Orang tua menyalahkan guru, guru menyalahkan orang tua, masyarakat menilai guru dan orang tua sama-sama salah, padahal sebenarnya yang terjadi adalah realita bahwa sistem pendidikan yang kita anut selama ini ternyata terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif), yaitu : hasil akhir dari pemberian ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan selama di sekolah, tanpa memperhatikanperkembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa) pada siswa kita.

 Hal ini terlihat jelas ketika beberapa tahun terakhir ini nilai UN maupun nilai UAS (ujian akhir sekolah) menjadi prioritas utama bagi orang tua maupun siswa, tanpa memperhatikan nilai-nilai kejujuran. Dan ketika UN selesai, maka yang kita lihat adalah fenomena selebrasi yang berlebihan yang tidak perlu lagi diceritakan disini. 

Efek dari penyampingan pendidikan karakter bangsa menjadi boomerang ditengah keluarga, sekolah dan masyarakat. Hasil nilai UN lebih penting dari kejujuran menjadi contoh kecil mengapa pendidikan karakter bangsa harus kembali digalakkan untuk mengimbangi efek negatif dari perkembangan zaman yang ditandai dengan melesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Di tahun ajaran baru ini, pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan kembali mencanangkan sebuah gerakan perdamaian antara orang tua dan guru dalam mengembalikan fungsi sekolah sebagai sarana mendidik anak ke jalan yang baik dan benar. Gerakan menghantarkan anak sampai gerbang lingkungan sekolah merupakan suatu bentuk etikad baik orang tua menghargai fungsi pendidikan dan fungsi sekolah yang siap untuk menerima siswa dan mendidik mereka dengan segala visi, misi sekolah, peraturan, tata tertib, dan peraturan lain yang diterapkan oleh sekolah untuk kemajuan dan kepentingan anak-anak mereka sebagai bekal menuju masa depan.

Gerakan ini sangat penting dan besar manfaatnya walau terkesan sepele, karena banyak hal yang dapat dipetik nilai-nilai positif dari gerakan menghantarkan anak ke sekolah di hari pertama mereka masuk sekolah. Ada 7 (tujuh) hal positif menurut saya yang dapat diambil hikmahnya dari gerakan menghantarkan anak oleh orang tua ke sekolah di hari pertama mereka masuk sekolah, antara lain :

1. Menerapkan Disiplin Pada Anak dan Orang Tua

Di era kekinian dengan segala kesibukannya, terkadang orang tua tidak sadar telah melewatkan kebiasaan-kebiasaan baik yang seharusnya diajarkan kepada anak sejak dini sebagai bekalnya di masa depan. Ketika orang tua, baik ayah maupun ibu sibuk mengurusi pekerjaan maupun bisnisnya, mereka lupa untuk mengingatkan anak betapa pentingnya sebuah disiplin kepada anak. 

Disiplin diri, mulai dari waktu tidur, waktu bangun, setelah bangun berdoa, atau sholat, membantu orang tua menyiapkan sarapan pagi, mandi dan ke sekolah. Kebiasaan itu telah hilang ditelan era globalisasi. Yang ada sekarang, orang tua kewalahan untuk membangunkan si anak, si anak tidak punya disiplin untuk bangun lebih pagi, apalagi di setiap sudut kota jalanan sudah macet, sehingga tidak heran lagi apabila banyak siswa terlambat sampai di sekolah karena bangun kesiangan, macet di jalan, dan berbagai alasan lainnya, walau orang tua telah memberikan fasilitas mewah belum pada waktunya.

 Dengan gerakan mengantar anak ini, maka diharapkan orang tua punya waktu sedikit untuk mengantar anak ke sekolah lebih pagi sehingga tau kondisi jalanan saat pagi dan bukti tanggung jawab orang tua dalam mendukung program pemerintah, terlebih menciptakan disiplin pada anak, terutama disiplin waktu.

2. Orang tua mengenal betul peraturan dan kondisi Sekolah

Dengan menghantarkan anaknya ke depan pintu gerbang sekolah, maka orang tua sudah berperan penting mempercayakan kemajuan pendidikan anaknya di sekolah. Disamping itu, orang tua juga tau betul kondisi sekolah. Bagaimana keadaan sekolah, dimana posisinya, apa keunggulan sekolah tersebut dan bagaimana peraturan yang diberlakukan disana. 

Apa kegiatan sekolah itu di pagi hari, misalnya mulai masuk sekolah pukul 07.15 Wib, apa yang siswa kerjakan saat bel sekolah sudah mulai berbunyi. Salah satu contoh yang diberlakukan oleh SMA N 13 adalah Ibadah Pagi, jadi setiap pagi mulai pukul 07.15 Wib s/d pukul 07.30 Wib ibadah pagi dilaksanakan yang diawasi oleh guru-guru yang masuk les pertama, sementara siswa yang terlambat diberikan pembinaan dengan mengutip sampah, dan apabila lebih dari 3 (tiga) kali terlambat, maka orang tua dipanggil untuk mengetahui apa alasan si anak terlambat.

 Terkadang, ada orang tua yang keberatan dengan mengatakan “anaknya cacingan” karena disuruh mengutip sampah. Inilah salah satu contoh orang tua tidak mengetahui bagaimana kondisi sekolah tempat anaknya di didik dan tidak tau apa peraturan yang berlaku di sekolah. Padahal, telah dilakukan sosialisasi peraturan yang ada sewaktu anaknya mendaftar dan diterima di sekolah ini.

3. Mengetahui karakter dan sifat Guru

Setiap pagi, guru sudah harus berada, berdiri dan menyapa orang tua siswa maupun siswa yang masuk lingkungan sekolah di gerbang sekolah. Tujuannya, minimal siswa dan orang tua yang mengantar siswa menjalin komunikasi. Budaya 3 S (Senyum, Sapa, Salam) harus kembali digalakkan agar tidak terjadi lagi kriminaliasi terhadap guru.

Dengan senyuman, sapaan, dan salaman, kita telah mengalirkan energi baru, energi perdamaian dan energi cinta kasih, serta saling memberikan rasa aman, rasa kepercayaan dan bentuk komunikasi yang paling sederhana dalam dunia pendidikan. Dimana orang tua telah mempercayakan pendidikan yang akan diterapkan guru di sekolah, terutama disiplin dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan diajarkan.

4. Mengetahui ketulusan siswa untuk belajar

Ketika orang tua ikut serta berperan menghantarkan anaknya sampai ke sekolah di hari pertama, ini pertanda bahwa orang tua mengetahui apa kebiasaan anaknya sebelum sampai ke sekolah, juga orang tua mengetahui apa yang dilakukan anak sebelum sampai ke sekolah. Sekarang ini banyak kita lihat anak-anak pagi-pagi saat di jalan berhenti, membeli rokok dan merokok saat perjalanan ke sekolah. 

Ini sudah banyak kita jumpai, baik saat dibonceng dengan kendaraan roda dua, atau saat menghentikan angkot di pinggir jalan. Ini adalah suatu kebiasaan buruk yang sudah berjalan sepanjang tahun yang harus dihentikan. Pernah ketika guru berpapasan dengan anak muridnya yang merokok di pagi hari, siswanya malah pura-pura tidak melihat sang guru, setelah di sekolah baru sadar saat diterangkan kronologisnya, tetapi setelah perdebatan yang sengit, baru siswa menerima dan berjanji tidaka merokok lagi. 

Yang paling parah, jawaban siswa sungguh diluar dugaan “Bapakku aja nga melarang aku merokok, kok bapak pulak yang sibuk marahin aku merokok?” begitulah kenyataan sikap dan karakter anak-anak sekarang. Oleh karena itu, sangat penting memang gerakan orang tua menghantarkan anak ke sekolah.

5. Mengalahkan rasa malu anak yang dicap “Anak Papi” dan “Anak Mami”

Tidak dapat dipungkiri, kemauan dan kemampuan belajar siswa sekarang dipegaruhi oleh pergaulan mereka baik di luar jam sekolah maupun saat dilingkungan sekolah. Pergaulan mereka yang sudah menjurus ke arah dewasa sebelum waktunya mengakibatkan mereka terkadang malu dan tidak mau diantar ke sekolah oleh orang tua mereka. Ego, rasa malu dicap anak rumahan, anak mami, anak papi, ngak anak gaul, lebih baik bersama atau dijemput teman, menjadikan mereka mencari-cari alasan agar tidak diantar oleh orang tua sampai di pintu gerbang sekolah.

6. Sebagai bentuk Kepedulian orang tua terhadap anak

Sesibuk apapun orang tua, marilah di hari pertama sekolah mereka di tahun ajaran baru ini untuk menghantarkan anak-anak ke sekolah. Ini sebagai bentuk rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap anak. Dengan menasehati mereka, “Baik-baik di sekolah yah nak, ikuti semua peraturan sekolah, hormati Gurumu, sayangi teman-temanmu, tuntutlah ilmu sebaik mungkin!” menjadi sebuah kekuatan baru dan pegangan mereka untuk menerima semua pelajaran yang akan mereka terima. Tantangan belajar akan dapat dilalui dengan baik, apabila didukung oleh kepedulian orang tua akan perkembangan proses belajar siswa di sekolah.

7. Wujud Silaturahmi Orang Tua kepada Guru, Wali Siswa di Sekolah

Guru selain sebagai pendidik dan pengajar, adalah orang tua siswa di sekolah setelah orang tua kandung mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya di bulan ramadhan ini antara guru dan orang tua mengikat tali persaudaraan dengan baik. Akan sangat indah ketika di sekolah guru dan orang tua bersalaman, membuat acara singkat saling maaf memaafkan dan saling mendukung akan program sekolah ke arah yang lebih baik sehingga tujuan pendidikan akan berlangsung dengan baik. Sebab, menurut Paul Suparno, (1997) “bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar”. Dalam artian guru dan siswa adalah sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuannya.

Penutup

Pendidikan sebagai salah satu alat pemersatu bangsa seharusnya mampu membangun persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dengan saling mendukung antara orang tua, siswa, guru, dan semua stakeholder pendidikan. Menghantarkan anaknya ke sekolah di hari pertamanya adalah suatu pertanda bahwa orang tua mempercayakan guru memberikan proses pendidikan kepada anaknya. Andaikan pun ada tindakan yang berujung pada kesalahpahaman atau tekanan yang menurut orang tua atau siswa diluar jalur, percayalah itu semata-mata untuk meluruskan hal yayang salah, untuk mendisiplinkan anak dan mengajarkan kebaikan.

 Tidak perlu hal tersebut dilaporkan kepada yang berwajih atau hukum kriminal, cukuplah diselesaikan secara kekeluargaan. Diharapkan dengan program mengantar anak di hari pertama, akan ada perubahan paradigma pendidikan kembali ke tujuan pendidikan menurut Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai Agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Semoga !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun