Raksasa militer saling menggonggong. Namun, tidak akan saling menggigit. Itulah keseimbangan teror.
Â
Sikap Indonesia
Garis politik Bebas Aktif menjadi satu titik lemah saat perang. Konflik di Irian Barat 1961 bisa dijadikan pelajaran. Posisi netral Indonesia menjadikan Belanda tidak menggubris upaya diplomasi penyelesaian Irian Barat.Â
Namun saat posisi Indonesia  condong ke Blok Timur, Belanda mulai menghitung ulang. Pada akhirnya memutuskan hengkang dari Irian Barat.
Jika saat ini Indonesia mempertahankan netral; langkah strategis yang harus diambil adalah menguatkan otot militernya. Ini harus dilakukan. Kekuatan militer Indonesia menurut Global Fire Power (GFP) ada di posisi 13 besar dunia. Posisi ini bukan angka yang punya efek penggentar (detterent effect). Namun semua itu akan tertutupi jika Indonesia memiliki senjata nuklir.
Penguasaan nuklir pertahanan untuk Indonesia adalah perlu--sangat perlu. Kepemilikan Nuklir akan menciptakan keseimbangan baru. Mencegah meluasnya perang yang lebih besar di Hot Spot Laut Tiongkok Selatan.
Kesimpulan
Perjuangan punya senjata nuklir tidak bisa ditunda lagi--ini harus segera diambil. Maka langkah strategis yang dilakukan; Pertama harus ada satu kesepahaman pemimpin politik dalam negeri bahwa kepemilikan nuklir adalah mendesak; Kedua, harus menjalin hubungan khusus dan rahasia untuk mendapat teknologi nuklir--setidaknya membeli beberapa hulu ledak nuklir. Jalan paling rasional adalah menoleh ke Moskow atau Beijing; Ketiga; menghidupkan riset nuklir untuk militer.
Perang tidak bisa diramalkan kapan terjadinya. Namun akan lebih bijak jika Indonesia bersiap dengan perang. Jika tahu kekuatan satu dan yang lain, maka ada keengganan untuk memulai perang.Â
Perang terjadi jika ada ketidak seimbangan. Ada yang kuat dan lemah. Jika kekuatan merata maka yang terjadi keseimbangan teror. Mutually Assured Destruction. Semua menjaga untuk tidak terjadi perang.