Diplomasi damai untuk menjaga kawasan agar tidak bergemuruh tetap harus dilakukan--walau bukan jaminan penyelesaian. Apalagi untuk mengendalikan negara dengan kekuatan nuklir. Itu hanya langkah mengulur waktu.Â
Selama ini Indonesia konsisten menolak senjata nuklir. Pada 1995 Indonesia menandatangani Traktat Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANWZ), pada 2017 menandatangani Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons (TPNW).
Kondisi kawasan yang mulai tidak seimbang harus diperhatikan oleh Jakarta. Jangan sampai Indonesia jadi pelanduk di antara gajah yang bertikai. Ratifikasi TPNW yang dilakukan oleh Indonesia akan menyulitkan posisi Indonesia saat melindungi kedaulatannya dengan senjata nuklir.
Kecil kemungkinan Amerika dan China bentrok, yang mereka lakukan adalah mengadu negara bonekanya untuk bertempur mati-matian. Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan juga Indonesia punya potensi untuk dijadikan boneka perang.
Â
Pada 1945 hanya Amerika Serikat yang mempunyai nuklir. Namun secara mengejutkan pada 1949 Uni Sovyet berhasil meledakkan nuklir pertamanya. China menyusul pada 1964, India pada 1974, dan Pakistan pada 1998.Â
Saat ini ada 8 negara secara resmi mempunyai hulu ledak Nuklir. Menurut laporan SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) total kepemilikan mencapai 12.512 hulu ledak.
Setelah Perang Dunia II berakhir, konflik antarnegara masih terjadi. Namun yang menjadi pertanyaan; mengapa perang tersebut tidak meluas? Kasus terbaru Perang Rusia-Ukraina. Serasa berstatus endemik.Â
Eropa dan Amerika meskipun dengan lantang berada di kubu Ukraina, tidak mengambil langkah berbahaya dengan keterlibatan secara penuh. Status Amerika dan Eropa bisa digambarkan sekadar penonton aktif--bukan pemain aktif.
Jawabannya adalah ketakutan terjadi perang nuklir. Risikonya sangat besar. Nuklir bisa mengembalikan umat manusia ke peradaban batu. Ketakutan akan nuklir menjadi rem cakram untuk membatasi teritori perang agar tidak meluas.Â