Apakah MK perannya penting, atau hanya sekadar anting di telinga, berperan sebagai aksesoris konstitusi belaka yang keberadaannya bisa dibuang kapan saja?!
----
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita butuh data akurat, agar bisa secara obyektif menilai sebuah persoalan sebelum memutuskan. Mahkamah Konstitusi adalah produk yang lahir setelah era Reformasi 1998. Cikal bakal lahirnya demokrasi yang akhirnya menjadi konsensus bernegara bangsa Indonesia.
Bagaimanapun saat membicarakan sistem demokrasi, Amerika Serikat masih dijadikan rujukan. Walaupun peringkat indeks demokrasi Amerika pada 2022 menurut the Economist Intelligence Unit berada di posisi 30 dengan skor 7,85/10 dan mendapat predikat demokrasi cacat (flawed democracy). Sedangkan Indonesia ada di posisi 54 dari 167 negara dengan skor 6,71/10 dengan predikat sama: demokrasi cacat.
Mengapa Amerika yang jadi rujukan? Karena Amerika Serikat adalah negara dengan populasi besar yakni 340 juta menurut Worldometer 2023 dan juga dengan masyarakat yang beragam. Bukan perkara mudah membentuk negara demokrasi dengan kondisi demikian. Kemiripan dengan Indonesia itulah sehingga Amerika relevan dijadikan contoh.
Apakah Amerika yang terkenal sebagai pengekspor demokrasi punya Mahkamah Konstitusi? Jawabannya "Tidak!", Amerika tidak membentuk lembaga MK secara terpisah, karena fungsi dan perannya masuk di dalam lembaga yudikatifnya, Mahkamah Agung. Begitu juga India, negara demokrasi terbesar di dunia, peran MK melebur di dalam Mahkamah Agung.
Menjadi sebuah tanya kenapa Indonesia tampil beda dengan membentuk lembaga baru, Mahkamah Konstitusi, padahal sudah mempunyai Mahkamah Agung sebagaimana Amerika, dan India? Apakah ini hanya bentuk lain dari perluasan bagi-bagi kekuasaan atau semacam kearifan lokal ala Indonesia; sebagai siasat untuk tetap berada di jalur demokrasi?!
 Mahkamah Konstitusi dan Demokrasi
Kematangan berdemokrasi antara Indonesia dan Amerika boleh dikata beda strata. Amerika sudah matang, Indonesia berproses menuju ke matang. Amerika saat merdeka pada 1776 tidak serta merta menjadi bangsa yang stabil.
Perang saudara pernah terjadi dan instabilitas keamanan juga mewarnai. Ada proses puluhan bahkan ratusan tahun hingga bermetamorfosa jadi negara adidaya berpaham demokrasi stabil. Namun yang menarik adalah sedari awal perpolitikan sangat sederhana hanya dua partai; Partai Republik dan Partai Demokrat.
Sedangkan Indonesia, setelah era ORBA yang cenderung sentralistik, Reformasi 1998 mengubah Indonesia menjadi negara demokrasi. Kebebasan Individu untuk bersuara, berserikat dan berkumpul diberi panggung secara luas. Perubahan mendadak ini menjadikan banyak kalangan menjadi  gagap. Cultural Shock di bidang politik terjadi. Hal yang wajar. Perlu waktu adaptasi untuk menuju keseimbangan baru lagi.
Sebagai catatan, pada Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik, pada 2004 diikuti 24 partai, pada 2009 diikuti 34 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh. Tahun 2014 diikuti 12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh, pada 2019 diikuti 14 partai nasional, dan pada 2024 diikuti 18 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh.
Melihat semaraknya iklim demokrasi di Indonesia yang ditunjukkan dengan melimpahnya partai politik, maka potensi sengketa yang akan terjadi lebih banyak--dan memang itulah yang terjadi.
Pada pemilu 2004 ada 44 perkara; Pemilu 2009 naik jadi 70 perkara, Pemilu 2014 menanjak di angka 297 perkara, dan Pemilu 2019 ada 262 perkara. Walaupun urusan MK tidak melulu ngurusi masalah sengketa pemilu saja. Ada empat wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; 1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara; 3) Memutuskan pembubaran partai politik; dan 4) Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Selain itu otonomi daerah juga memberi celah adanya tumpang tindih kebijakan yang bisa saja bertentangan dengan UUD 1945. Peraturan daerah karena semangat untuk memajukan daerahnya, terkadang lalai mengintegrasikan dengan UUD 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muncullah kebijakan kedaerahan yang pada akhirnya menjadi sengketa dan harus diputus oleh MK.
Maka bisa dipahami dan dimaklumi munculnya Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 adalah wujud adaptasi dengan kondisi gegap gempitanya demokrasi dengan problematikanya yang boleh dikata tidak sederhana.
MK sebagai Wasit dan Juru Tafsir
Saat ini orang-orang terbaik bangsa Indonesia yang merumuskan UUD 1945 yang dijadikan konstitusi Induk sudah tidak ada lagi. Artinya sumber rujukan yang dimintai pendapat terkait isi dan maksud pasal per pasal UUD 1945 sudah tidak ada lagi.
Padahal narasi di UUD 1945 bisa saja dipamahi lain oleh orang yang berpandangan politik berbeda. Narasi adalah senjata, penafsirannya bisa dibolak-balik sesuai kebutuhan. Tanpa adanya wasit dalam sebuah penafsiran narasi, maka yang muncul adalah kekacauan. Dan ini berbahaya.
Semisal UU tentang pengelolaan hasil bumi yang diserahkan ke swasta Asing. Apakah menyalahi UUD 1945? Khususnya pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang berbunyi: ayat 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; ayat 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Nah, kalau kita mengamati redaksinya maka secara tersurat Indonesia anti investasi asing. Semua tambang dikuasai oleh negara, untuk kemakmuran rakyat. Sebuah narasi tipikal sosialis.
Maka bisa jadi ini menjadi sebuah alasan untuk menasionalisasi perjanjian kontrak karya dengan negara-negara lainnya. Mementahkan banyak kesepakatan perjanjian investasi dan lainnya.
Di sinilah dibutuhkan peran MK untuk menafsirkan isi UU tersebut dan membuat putusan final. Tujuannya memberi kepastian hukum pelaku usaha yang berinvestasi di sektor pertambangn. Biar visi menjadikan masyarakat adil makmur bisa terwadahi dalam implementasi kebijakan investasi di Indonesia.
Untuk menilai MK maka harus membedah kinerja selama 20 tahun keberadaannya. Jika sudah mengetahui plus dan minusnya maka ada beberapa tingkatan untuk menyimpulkan. Meminjam tingkatan hukum dalam Islam yakni Wajib, Sunnah, makruh, mubah, dan haram--kaitannya menilai keberadaan MK.
Jika derajatnya Wajib maka MK harus tetap dipertahankan. Salah diperbaiki, kurang ditambahi, lebih dikurangi. Jika Sunnah maka keberadaannya bernilai baik. Namun, kalaupun tidak ada juga tidak apa-apa. Ibaratkan keberadaan usus buntu pada tubuh.
Jika Makruh, maka keberadaannya; kalau ada tidak apa-apa kalau tidak ada malah lebih baik. Mubah, keberadaannya dan ketiadaannya adalah netral. Ada tidak apa-apa, tidak ada juga tidak apa-apa. Â Dan terakhir adalah haram, lebih baik tidak ada.
Sejak berdiri pada 2003 sampai 2023 ada beberapa catatan positif yang sudah ditorehkan oleh MK terkait dengan putusan sebuah perkara yakni; pertama Sengketa Kewenangan Lembaga Negara 29 putusan; kedua Pengajuan UU 1.665 putusan; ketiga Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 1136 putusan; keempat Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 671 putusan.
Artinya dalam kurun waktu 20 tahun, MK menghasilkan 3.506 putusan. Dengan kata lain 175 putusan per tahun, 15 putusan per bulan, 1 putusan per dua hari.
Keberhasilan Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019 tanpa adanya perpecahan yang luas di Indonesia bisa dijadikan tolok ukur bahwasanya ada peran yang tidak bisa diabaikan terkait putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain catatan positif ada juga catatan negatif yang mendera MK yakni pada 2013 mantan ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan dalam kasus suap putusan sengketa pilkada dan pencucian uang. Pada 2017 hal sama terjadi hakim MK Patrialis Akbar terjerat kasus suap judicial review. Kasus terbaru 2023, 9 hakim MK dan dua panitera Mahkamah Konstitusi dilaporkan terkait kasus pemalsuan surat.
Dengan data di atas maka keberadan MK adalah wajib adanya. Walaupun dengan berbagai catatan untuk penyempurnaan, yakni kaitannya dengan SDM yang tidak selaras dengan idealisme pembentukan MK.
Pembenahan SDM
Sumberdaya manusia berkualitas tanpa didukung sistem berkualitas akan melahirkan penyimpangan. Kasus yang melibatkan Hakim Agung MK, terkait jual beli putusan sengketa, memperlihatkan betapa komersilnya lembaga ini. Timbul pertanyaan, apakah gaji Hakim Konstitusi sedikit?
Gaji hakim konstitusi menurut Mahmud MD di atas 100 jutaan. Belum lagi saat menangani perkara, juga akan dapat bayaran. Kalau dihitung total maka hakim konstitusi menerima lebih kurang Rp200-an juta setiap bulan. Angka ini jelas bukan nominal rendah untuk masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan hanya 4 jutaan/bulan. Kesimpulannya, serakah adalah bahaya laten yang bisa terjadi di tubuh MK.
Solusinya pertama; saat perekrutan harus benar-benar dijadikan awal untuk MK bebas dari kepentingan. Memilih SDM berkualifikasi luar biasa. Jika mekanisme yang diterapkan bagus maka hakim MK bisa bekerja dengan idealisme sesuai fungsi MK. Namun, kalau hanya mengakomodir kepentingan penguasa, maka MK hanya sebatas kepanjangan dan perluasan kekuasaan yang kerjanya pasti memihak pada yang berkuasa.
Kedua sistem internal yang kokoh di lingkungan MK. Nah, ini yang harus diperkuat. Apakah MK memberi celah adanya petualang-petualang yang ingin memperkaya diri dengan jabatan yang disandangnya. Kasus jual beli putusan dan ditangkapnya hakim konstitusi pada 2013 dan 2017, menjadi sebuah cerminan bahwasanya ada celah menganga yang harus ditambal oleh MK.
Kesimpulan
Untuk saat ini keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah wajib adanya. Dengan tujuan mengawal demokrasi dan menjunjung hak asasi manusia Indonesia. Pembenahan dan penyempurnaan lembaga MK yang berkualitas harus ditopang dengan sistem yang berkualitas juga. Sistem di MK harus jelas dan keras. Kalau SDM nya bermain-main dengan penyelewengan maka hukumannya haruslah berat: hukuman mati.
Kejahatan terhadap produk UU bisa sangat luas pengaruhnya. Kejahatan ini harus disamakan dengan kejahatan luar biasa setara terorisme. Rakyat mendamba sebuah lembaga yang bersih yang diisi orang-orang dengan kredibilitas dan integritas baik luar biasa.
Dari hati yang paling dalam, saya sebagai rakyat Indonesia ingin sekali siapa pun yang datang ke MK sebagaimana yang pernah ditulis oleh George Bancroft saat datang menimba ilmu di Eropa;
"Saya telah datang di sumber pancuran kearifan yang murni agar saya dapat menikmati airnya yang bebas pencemaran dan disegarkan olehnya"
 Selamat Ulang Tahun MKRI. Keberadaan MK bukanlah anting aksesoris belaka tapi penting untuk sehatnya demokrasi dan kemajuan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI