Untuk menilai MK maka harus membedah kinerja selama 20 tahun keberadaannya. Jika sudah mengetahui plus dan minusnya maka ada beberapa tingkatan untuk menyimpulkan. Meminjam tingkatan hukum dalam Islam yakni Wajib, Sunnah, makruh, mubah, dan haram--kaitannya menilai keberadaan MK.
Jika derajatnya Wajib maka MK harus tetap dipertahankan. Salah diperbaiki, kurang ditambahi, lebih dikurangi. Jika Sunnah maka keberadaannya bernilai baik. Namun, kalaupun tidak ada juga tidak apa-apa. Ibaratkan keberadaan usus buntu pada tubuh.
Jika Makruh, maka keberadaannya; kalau ada tidak apa-apa kalau tidak ada malah lebih baik. Mubah, keberadaannya dan ketiadaannya adalah netral. Ada tidak apa-apa, tidak ada juga tidak apa-apa. Â Dan terakhir adalah haram, lebih baik tidak ada.
Sejak berdiri pada 2003 sampai 2023 ada beberapa catatan positif yang sudah ditorehkan oleh MK terkait dengan putusan sebuah perkara yakni; pertama Sengketa Kewenangan Lembaga Negara 29 putusan; kedua Pengajuan UU 1.665 putusan; ketiga Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 1136 putusan; keempat Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 671 putusan.
Artinya dalam kurun waktu 20 tahun, MK menghasilkan 3.506 putusan. Dengan kata lain 175 putusan per tahun, 15 putusan per bulan, 1 putusan per dua hari.
Keberhasilan Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019 tanpa adanya perpecahan yang luas di Indonesia bisa dijadikan tolok ukur bahwasanya ada peran yang tidak bisa diabaikan terkait putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain catatan positif ada juga catatan negatif yang mendera MK yakni pada 2013 mantan ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan dalam kasus suap putusan sengketa pilkada dan pencucian uang. Pada 2017 hal sama terjadi hakim MK Patrialis Akbar terjerat kasus suap judicial review. Kasus terbaru 2023, 9 hakim MK dan dua panitera Mahkamah Konstitusi dilaporkan terkait kasus pemalsuan surat.
Dengan data di atas maka keberadan MK adalah wajib adanya. Walaupun dengan berbagai catatan untuk penyempurnaan, yakni kaitannya dengan SDM yang tidak selaras dengan idealisme pembentukan MK.
Pembenahan SDM
Sumberdaya manusia berkualitas tanpa didukung sistem berkualitas akan melahirkan penyimpangan. Kasus yang melibatkan Hakim Agung MK, terkait jual beli putusan sengketa, memperlihatkan betapa komersilnya lembaga ini. Timbul pertanyaan, apakah gaji Hakim Konstitusi sedikit?