Melihat semaraknya iklim demokrasi di Indonesia yang ditunjukkan dengan melimpahnya partai politik, maka potensi sengketa yang akan terjadi lebih banyak--dan memang itulah yang terjadi.
Pada pemilu 2004 ada 44 perkara; Pemilu 2009 naik jadi 70 perkara, Pemilu 2014 menanjak di angka 297 perkara, dan Pemilu 2019 ada 262 perkara. Walaupun urusan MK tidak melulu ngurusi masalah sengketa pemilu saja. Ada empat wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; 1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara; 3) Memutuskan pembubaran partai politik; dan 4) Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Selain itu otonomi daerah juga memberi celah adanya tumpang tindih kebijakan yang bisa saja bertentangan dengan UUD 1945. Peraturan daerah karena semangat untuk memajukan daerahnya, terkadang lalai mengintegrasikan dengan UUD 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muncullah kebijakan kedaerahan yang pada akhirnya menjadi sengketa dan harus diputus oleh MK.
Maka bisa dipahami dan dimaklumi munculnya Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 adalah wujud adaptasi dengan kondisi gegap gempitanya demokrasi dengan problematikanya yang boleh dikata tidak sederhana.
MK sebagai Wasit dan Juru Tafsir
Saat ini orang-orang terbaik bangsa Indonesia yang merumuskan UUD 1945 yang dijadikan konstitusi Induk sudah tidak ada lagi. Artinya sumber rujukan yang dimintai pendapat terkait isi dan maksud pasal per pasal UUD 1945 sudah tidak ada lagi.
Padahal narasi di UUD 1945 bisa saja dipamahi lain oleh orang yang berpandangan politik berbeda. Narasi adalah senjata, penafsirannya bisa dibolak-balik sesuai kebutuhan. Tanpa adanya wasit dalam sebuah penafsiran narasi, maka yang muncul adalah kekacauan. Dan ini berbahaya.
Semisal UU tentang pengelolaan hasil bumi yang diserahkan ke swasta Asing. Apakah menyalahi UUD 1945? Khususnya pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang berbunyi: ayat 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; ayat 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Nah, kalau kita mengamati redaksinya maka secara tersurat Indonesia anti investasi asing. Semua tambang dikuasai oleh negara, untuk kemakmuran rakyat. Sebuah narasi tipikal sosialis.
Maka bisa jadi ini menjadi sebuah alasan untuk menasionalisasi perjanjian kontrak karya dengan negara-negara lainnya. Mementahkan banyak kesepakatan perjanjian investasi dan lainnya.
Di sinilah dibutuhkan peran MK untuk menafsirkan isi UU tersebut dan membuat putusan final. Tujuannya memberi kepastian hukum pelaku usaha yang berinvestasi di sektor pertambangn. Biar visi menjadikan masyarakat adil makmur bisa terwadahi dalam implementasi kebijakan investasi di Indonesia.