Tidak banyak negara yang memilih berdemokrasi. Demokrasi itu mahal. Sangat mahal. Dan pastinya melelahkan. Taruhannya chaos kalau gagal. Hanya negara yang dewasa saja yang mampu melakukannya. Indonesia sudah beranjak dewasa--dan menuju dewasa.
Ada dua faktor mengapa manusia bekerja: pertama, mengumpulkan uang, dan kedua aktualisasi diri. Apakah ada faktor ketiga? Ada! Yakni dipaksa.Â
Keterpaksaan. Misal saat budak-budak membangun piramida di Mesir. Mereka dipaksa bekerja karena kalau menolak hukumannya kurang menggembirakan: dipisahkan jiwa dari raganya.
Negara dibentuk dengan satu tujuan: Keadilan distribusi sumber daya. Kesejahteraan bersama. Salah satu caranya; memberi lapangan pekerjaan kepada seluruh populasi. Dengan bekerja orang punya uang. Maka ada perputaran uang. Ada distribusi sumber daya. Lalu muncullah kesejahteraan. Alurnya semacam itu. Sederhananya begitu.
Tanpa ada aturan maka akan muncul praktik barbar: siapa kuat dia menang. Yang kalah akan punah. Hukum belantara. Hukum singa dan terwelu. Kalau itu diberlakukan, maka orang miskin yang pertama kali punah dari dunia fana ini.
Untuk itulah dibuatlah sebuah sistem untuk mengatur. Saat ini, demokrasi adalah salah satu sistem yang dipandang mampu memberi harapan terkait distribusi kekuasaan maupun sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.
Tak ada sistem yang sempurna. Belum ada. Atau memang tidak ada. Termasuk demokrasi. Namun, demokrasi adalah konsensus nasional. Pilihan rakyat Indonesia untuk hidup bersama. Kita tidak bisa mengingkari itu. Kita tidak lepas dari itu. Dan itu wajib kita jaga.
Pemilu
Anak kandung demokrasi adalah pemilu. Pemilihan Umum. Siapa yang berhak mengatur jalannya negara--rezim berkuasa--mekanismenya diatur lewat Pemilu.Â
Suara rakyatlah yang dijadikan kekuatan. Pengabsahan dari mekanisme distribusi kekuasaan.
Sederhananya begini. Setiap warga negara punya suara yang sama. Sejajar. Tidak ada lagi embel-embel: Profesor, Petani, Nelayan, Buruh, Wanita, atau Pria. Satu nyawa satu suara. Pandangan ini bukan imajiner tapi sungguh revolusioner.
Zaman dulu tidak pernah terpikirkan; bayangkan saja suara raja, orang kaya, sama dengan pemburu kodok. Inilah demokrasi itu. Menguliti manusia pada identitas tunggalnya: sama-sama manusia. Humanisme. Bukankah ini sesuatu yang sangat indah?
Untuk kebutuhan pemilu dibutuhkan data informasi penduduk. Ini bukan pekerjaan ringan. Ini jelas berat untuk negara yang menduduki peringkat ke-4 jumlah penduduk terbesar di Planet Bumi.
Dengan data akurat akan memberi kejelasan siapa yang berhak mencoblos maupun yang tidak berhak, sehingga tidak memberi celah pada kecurangan.
Pada masyarakat yang sudah maju--Amerika, Jerman, dan Jepang--pencatatan penduduknya sudah sangat rapi, maka hal semacam itu perkara mudah. Sangat mudah. Tinggal diolah oleh otoritas yang berwenang data yang dibutuhkan sudah siap dalam waktu singkat.
Bagaimana dengan Indonesia?Â
Negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia. Untuk sampai ke sana butuh waktu. Dan juga butuh dana yang tidak sedikit. Kita sedang menuju ke sana.
Untuk saat ini Komisi Pemilihan Umum menggunakan SDM untuk mendata seluruh warga negara yang berhak untuk memilih maupun yang tidak. Proses ini dikenal dengan coklit--pencocokan dan penelitian.
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten lewat PPS membentuk badan ad hoc, badan sementara dengan tugas khusus, yakni Pantarlih--Petugas Pemuktakhiran Data Pemilih. Mereka lah yang berada di garis depan pembaharuan data pemilih.
Suka Duka Menjadi Pantarlih
Pantarlih adalah organ vital bagi terselenggaranya pemilu di Indonesia. Posisinya sangat penting. Kelewat penting. Merekalah yang bertugas memperbaharui data kondisi terbaru daftar pemilih supaya relevan dan mutakhir.
Dari data yang dikumpulkan di lapangan mereka mencatat, siapa yang meninggal, siapa yang pergi, pindah TPS, siapa pemilih baru, atau siapa saja yang tidak berhak ikut Pemilu--misal TNI dan Polisi.
Data yang mereka dapatkan di lapangan (coklit) akan diserahkan ke PPS lalu diolah oleh petugas PPS bagian data. Selanjutnya data akan diteruskan ke PPK. Berlanjut ke KPU Kabupaten. Alurnya begitu.
Mendata masyarakat selain menambah perkenalan juga ada kisah dukanya. Misal ada masyarakat yang belum mengerti pantarlih sehingga saat didatangi rumahnya, malah ngumpet dan tidak mau membuka pintu. Mereka ketakutan dikira debt collector. Akhirnya pantarlih harus datang lagi dengan Pak RT.
Itu tidak seberapa bahkan ada juga pantarlih yang dicurigai sebagai penculik anak. Dipelototi banyak orang. Maklumlah saat ini kondisi di Banyuwangi banyak info-info terkait penculikan anak.
Maka sebagai PPS yang membawahi pantarlih penulis menekankan:Â
Pertama, harus menghubungi RT/RW dulu untuk permisi. Supaya saat pantarlih di lapangan informasinya sudah disebarkan ke masyarakat. Masyarakat tahu. Sehingga tidak menimbulkan prasangka.
Kedua, saat mengetuk pintu selain mengucap salam gunakan perkenalan tambahan "Assalamualaikum Bapak/Ibu, Kami dari Petugas Pemilu."
Ketiga, buat nyaman dulu orang yang didata. Misal memperkenalkan diri sebagai anak dari Pak/Ibu Fulan. Dengan cara itu orang yang didata akan lebih tenang, dan tahu siapa orang yang di depannya.
Keempat, gunakan atribut lengkap. Ini adalah standar kerja pantarlih. Rompi, ID Card dan juga topi wajib dipakai saat bertugas di lapangan.
Bangga Menjadi Pantarlih
Ada sedikit renungan untuk rekan-rekan pantarlih di seluruh Indonesia. Boleh saja motivasi kita menjadi pantarlih adalah mendapat honor. Itu sah dan manusiawi. Tidak apa-apa dan legal. Tapi ada yang lebih besar dan luas dari itu: kesuksesan pemilu.
Jika pemilu berlangsur aman dan lancar, karena data yang dikumpulkan teman-teman pantarlih benar-benar valid, maka kelanjutan pembangunan akan lancar. Negara akan aman. Minim terjadi gejolak. Banyak Investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Ke depannya pertumbuhan ekonomi akan terjaga. Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi akan menjadi berkah untuk semua usaha warga negara.
Mahasiswa akan lebih punya kesempatan bekerja setelah lulus. Siapa mahasiswa itu? Bisa jadi itu pantarlih saat ini, saudara pantarlih atau anak pantarlih.
Ada kebanggan kita bagian dari mesin besar yang bernama Negara Republik Indonesia. Pantarlih ibarat sekrup kecil yang tenggelam dalam tutupan bodi mewah nan elegan mobil balap. Tidak terlihat. Tapi jika sekrup kecil hilang, mobil balap tersebut hanya sekadar rongsokan tak bergerak.
Menjadi pantarlih adalah mulia dan membanggakan. Selamat Bekerja untuk seluruh pantarlih di Indonesia. Kamulah ujung tombak demokrasi. Selamat bekerja dengan dedikasi. Demi tegaknya demokrasi dan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H