Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Drama Membangun Rumah Idaman, Tidak Sekadar Menumpuk Bata tapi juga Memupuk Rasa

23 Januari 2023   12:48 Diperbarui: 23 Juli 2023   22:12 1823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memiliki rumah merupakan impian bagi siapa saja. Sumber: dok. pribadi

Rumah bukanlah terminal, bukan pula bandara atau stasiun. Apalagi halte. Untuk berhenti lalu pergi lagi. Tidak semacam itu. Rumah melampaui itu. Tempat berangkat dan tempat kembali. Tempat gema tangis dan tawa mendera penghuninya. Tempat raga dihangatkan, jiwa ditambatkan, untuk sekian lama. Di bawah atap rumahlah drama hidup Homo sapiens terjadi. Tempat perlindungan yang nyaman. Idealnya begitu.

Pada September 2012 saya menikah. Saya berusia 30-an. Istri umur 24 tahun. Saat di pelaminan, saya dan istri terlihat bahagia. Kenyataannya memang bahagia. Saat itu. Dan sekarang.

Satu tahap setelah sunat--sebagai laki-laki--sudah terlewati. Pertanyaan "kapan nikah?" sudah kedaluwarsa. Beban pertanyaan itu sudah hilang. Menguap bersama foto kami berdua di pelaminan.

Namun, tidak untuk teman akrab, candaan kapan menikah lagi terkadang masih ada. Aku tahu itu candaan. Itu sebuah pertanyaan beracun bagi telinga istri. "Aku tidak berbakat untuk melakukan hal sakral kedua," aku menjawabnya dengan lantang di depan istri. Saat ada istri. Ya, aku realistis dan setia. Dompetku yang lebih realistis.

Awal menikah, saya dan istri tinggal di rumah orangtua saya. Ada ruang yang dipisah tembok bersebelahan dengan rumah induk. Ukurannya 3m X 12m. Cukup lega untuk kami berdua. Seperti kereta api memanjang. Itu yang kami tempati sebagai rumah awal.

Untuk dapur kami buat terpisah dari ruang itu. Kamar mandi dan dapur kami usahakan tidak satu atap dengan orangtua. Itu semua untuk kenyamanan dan kedamaian kami semua. Itu menurut pikiranku. Istri juga menyetujuinya.

Sepandai-pandainya orang berkomunikasi terkadang ada salah pahamnya juga. Maklum lidah Asia Tenggara. Semakin sering berinteraksi, semakin besar peluang untuk terjadi konflik. Hubungan menantu dan mertua mengandung ketidakmenentuan. Di sinetron TV swasta menggambarkan itu. Konon seperti cuaca. Mendung sedikit bisa menciptakan petir menggelegar. Ya, alasan itu yang kami pertimbangkan.

Dapur dan kamar mandi punya potensi menjadi bibit perang dingin. Dapur dan kamar mandi tak ubahnya Austria. Negara pemicu Perang Dunia I. Aku tidak mau istri tidak nyaman dengan hal yang mungkin terjadi. Karena biasanya itulah yang terjadi--untungnya itu tidak terjadi.

Nekat Bangun Rumah

Pada Juni 2014 buah cinta kami lahir. Anak laki-laki yang sehat. Kebahagiaan membuncah. Rumah sempit kami jadi saksi keberhasilan kami sebagai organisme: berkembang biak. Hari-hari terlewati. Bayi mungil lucu itu tumbuh dengan cepat. Tak terasa detik demi detik membentuk sel-selnya menuju tahap kedewasaan.

Ya, anakku tumbuh dan akan terus tumbuh. Dan kami sebagai orangtua grafik malah sebaliknya, semakin lama semakin menurun. Grafik umur biasanya beroposisi dengan kesehatan. Sebuah hukum baku alam yang tidak bisa ditolak atau dicegah. Asam urat, kolesterol siap mengintai. Oh ya satu lagi, rematik!

Saat senggang kami ngobrol dengan istri. Kami ingin mempunyai rumah sendiri. Kami ambil kertas dan bolpoint, menghitung dengan kasar. Minimal butuh dana 120 juta--tidak menghitung lahan--untuk membangun rumah sederhana. Sangat sederhana. Dana itu jelas di luar jangkauan kami berdua. Gaji kami berdua kalau koalisi pun nominalnya kisaran 3,5 juta. Meski bukan nominal besar, kami bersyukur masih punya penghasilan.

Apakah itu membuat kami surut? Iya, dong! Dana segede itu jelas membuat kami grogi. Suatu malam kami melanjutkan obrolan tentang impian membuat "istana" yang hijau dan rindang. Ada konflik-konflik kecil yang muncul. Berdebat tentang bangunan, berdebat tentang jumlah kamar. Padahal dananya saja tidak jelas. Kadang kami mengakhiri pertentangan dengan ketawa. Saat sadar dananya belum ada. "Ma, dananya belum ada, kita sudah berseteru. Ayo, cari obrolan lain. Kalau dana sudah ada kita berseteru lagi". 

Pada Juni 2014--kalau tak salah ingat-- sambil rebahan di kasur, istri bicara dengan lembut, penuh tekanan. Namun, aku mendengarnya seperti ancaman."Pa, mumpung anak masih kecil dan kebutuhan belum banyak, saat ini kesempatan emas untuk membangun rumah. Kita mulai saja, entah kapan selesainya, kita harus mulai". Istri bicara sungguh-sungguh.

Dan pada akhirnya saya juga berpikir apa yang istri katakan benar. Dari tahapan ide bergerak ke praktik. Kami buka-buka majalah tentang rumah dan buka Google untuk mencari model rumah impian kami. Kami temukan gambar itu. Cukup sederhana dan ideal buat kami.

Langkah selanjutnya, kami bicara dengan bapak mertua untuk mencarikan hari yang baik untuk memulai pembangunan rumah. Kami masih teguh memegang adat jawa. Hari baik dan hari naas kami masih gunakan. Mertua tidak tanya berapa uang yang kami punya. Seolah kami sudah siap dengan dana yang cukup. Kami memang cukup, cukup nekat.

Istri dengan gesit menjual Honda Beat kesayangannya. Beat putih alat geraknya yang dicicil 3 tahun, untuk ngajar di sekolah Madrasah Ibtidaiyah itu pun terjual sekitar Rp13 juta. Dengan dana yang ada di tabungan setelah ditotal ada nominal 29 jutaan.

Nah, dari dana itulah kami membangun istana impian. Nekat? Jelas!

Tibalah hari bersejarah itu. Pagi itu matahari bersinar terik. Tidak hujan walau biasanya hujan. Senin, 20 Oktober 2014, kami dibantu tetangga menggali pondasi rumah. Konsumsi yang saya suguhkan, ketan kirip dan kopi. Agak siangan makan siang dengan sayur santan ala kadarnya.

Entah bagaimana ceritanya. Awalnya kami hanya berencana membuat rumah yang super mini dan minimalis, 7mX6m, tapi saat membuat pondasi ukurannya adalah 10 X 11 meter.

Jelas itu ukuran besar buat kantong kami. Kenapa kami tidak meralat ukuran itu. "Tidak usah! siapa tahu itu sebuah doa agar kamu bisa membangun rumah seukuran itu," motivasi dari bapak mertua. Bapaklah yang mengubah ukuran itu. Kami pasrah saja saat itu.

Apa yang terjadi selanjutnya biarlah terjadi. Untuk beli semen, batako, batu rejeng dan juga ongkos tukang pada dua minggu setelahnya dana sudah habis. Tukang cuma satu dan asistennya juga satu. Hanya dua tenaga kerja yang kami gunakan. Setelah dua minggu, bentuk rumah sudah terlihat. Belum apa-apa sebenarnya tapi itu membuat kami berdua semangat untuk terus melanjutkan.

Mengencangkan ikat pinggang benar-benat kami jalankan. Kami saling menguatkan, jika tidak ada uang di dompet kami hanya tertawa saja. Tertawa kecut bercampur sedih.

Kami muter otak ke mana bisa mendapatkan beras untuk besok hari. Ah, orangtua punya radar lebih tajam jika anaknya dalam kondisi kekurangan. Dengan alasan nyangoni putune dengan nominal yang lumayan. terkadang itu yang kami gunakan untuk membeli kebutuhan dasar: karbohidrat.

Dengan susah payah, bangunan tersebut menjulang setelah 4 bulan. Tukang dan kuli bangunan tidak mau berhenti walau kami tidak punya ongkos membayarnya. Mereka cukup yakin bahwa kami berdua tidak akan lalai membayar mereka.

Pada akhirnya kami harus berusaha untuk mendapatkan uang. Dan anehnya kami dapatkan untuk membayar tukang walau telat, tapi telat yang bisa ditoleransi. Mulai dapat arisan dari masjid, dapat insentif dari kantor dan sumber lain yang seolah mendukung.

Saat pemasangan tembok batako--bukan bata merah biar hemat--sudah selesai, tahap selanjutnya adalah memasang kayu reng. Kami sudah mengibarkan bendera putih untuk sementara. Tapi Mbah Sri--nenek dari Istri--tiba-tiba menyuruh menebang pohon besar yang bisa kami gunakan untuk membuat reng.

Kayu bayur setinggi 25an meter. Itu gratis, tapi ongkos penebang harus kami yang tanggung. Kami semakin semangat. Pelan namun pasti rumah mewujud. Tidak hanya di angan-angan tapi dalam kenyataan. Saat pulang kerja, atau saat hari minggu kami datangi rumah itu, kami elus temboknya yang masih kasar. Ada rasa kebanggaan di hati.

Ingin Rumah yang Sejuk

Dari awal konsep rumah yang ingin kami bangun adalah sejuk udaranya. Maka yang pertama saya lakukan adalah menanami sekitar bangunan dengan pepohonan. Sebanyak banyaknya. Jika banyak pohon udara akan adem dan rumah juga adem. Sederhana itu. Banyak tumbuhan berarti adem.

Rerimbunan tumbuhan depan rumah. | dok. pribadi
Rerimbunan tumbuhan depan rumah. | dok. pribadi

Pada 26 Desember 2015, saya memutuskan pindahan dengan istri. Kondisi rumah masih belum jadi. Intinya sederhana, tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Bahkan untuk WC pun juga belum jadi saat kami pindah. Karena memang belum dibuat.

Jadi kami harus bolak-balik, kalau ingin ke WC harus ke rumah semula. Dan saat kondisi kepepet dan butuh pasti ada usaha keras untuk mendapatkannya. Dan semacam itulah yang sering terjadi. Sebulan setelah ditempati, kami akhirnya punya WC sendiri. Catatan prestasi buat kami. Sederhana tapi memuaskan.

Lambat laun, pelan pelan setiap gajian kami wujudkan semen, keramik atau apa pun untuk mempercantik rumah. Akhirnya 17 Februari 2020 saat pandemi melanda, kami punya rezeki untuk menuntaskan impian. Kami buat teras rumah. Kami berhasil setidaknya itu menurut kami. Menyelesaikan sebuah rumah dengan dikelilingi berbagai macam tumbuhan yang menjadikan rumah kami hijau. Benar-benar hijau. Tidak ada ceritanya rumah panas.

Sumber: dok. pribadi
Sumber: dok. pribadi

Banyak teman mengomentari, rumah kami serasa di tengah hutan. Hutan yang indah. Jambu biji, Jambu air, Kelengkeng, Pepaya, Markisa, kelapa, Nangka, Belimbing, Durian, Pisang membuat mata serasa adem saat melihatnya. Dan buahnya mantap saat dikonsumsi. Pagi hari burung bersahutan. Kami membangun rumah dan menciptakan hutan tropis mini.

Kesimpulan

Awali saja. Itu kata mutiara jika ingin membangun rumah. Jika sudah mengawali ada usaha melanjutkan. Jika tidak mengawali juga tidak ada yang dilanjutkan.

Dalam proses membangun rumah ada energi yang dikeluarkan ada drama yang senantiasa membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi sebuah persoalan. Setiap pasangan harus bersiap untuk itu. Perselisihan bermotif selera akan jauh lebih rendah jika beli di perumahan. Karena bentuknya sudah jadi.

Ada orang yang begitu mudah mendapatkan rumah ada juga yang butuh perjuangan luar biasa untuk mendapatkannya. Seperti saya dan istri. Bahkan ada yang sudah berjuang tapi tak kunjung juga terwujud. Berjuanglah terus, melangkahlah setapak demi setapak.

Generasi millenial mau tidak mau harus benar-benar menghitung dengan bijak; hindari gaya hidup yang menguras uang. Jika ngopi habis 50 ribu. Maka ingatlah, itu sudah mendapat 1 sak semen.

Punya rumah adalah prestasi, ada keindahan di dalamnya. Saat penat mendera, saat tekanan kerja tak tertahankan. Masih ada jalan pulang untuk refreshing dibalik selimut tebal melupakan semua yang menekan.

Membuat rumah seperti upaya menurunkan berat badan. Mulai dari niat dan lakukan. Jangan banyak mikir. Sesederhana itu. Semudah itu ngomongnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun