Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Drama Membangun Rumah Idaman, Tidak Sekadar Menumpuk Bata tapi juga Memupuk Rasa

23 Januari 2023   12:48 Diperbarui: 23 Juli 2023   22:12 1823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memiliki rumah merupakan impian bagi siapa saja. Sumber: dok. pribadi

Ya, anakku tumbuh dan akan terus tumbuh. Dan kami sebagai orangtua grafik malah sebaliknya, semakin lama semakin menurun. Grafik umur biasanya beroposisi dengan kesehatan. Sebuah hukum baku alam yang tidak bisa ditolak atau dicegah. Asam urat, kolesterol siap mengintai. Oh ya satu lagi, rematik!

Saat senggang kami ngobrol dengan istri. Kami ingin mempunyai rumah sendiri. Kami ambil kertas dan bolpoint, menghitung dengan kasar. Minimal butuh dana 120 juta--tidak menghitung lahan--untuk membangun rumah sederhana. Sangat sederhana. Dana itu jelas di luar jangkauan kami berdua. Gaji kami berdua kalau koalisi pun nominalnya kisaran 3,5 juta. Meski bukan nominal besar, kami bersyukur masih punya penghasilan.

Apakah itu membuat kami surut? Iya, dong! Dana segede itu jelas membuat kami grogi. Suatu malam kami melanjutkan obrolan tentang impian membuat "istana" yang hijau dan rindang. Ada konflik-konflik kecil yang muncul. Berdebat tentang bangunan, berdebat tentang jumlah kamar. Padahal dananya saja tidak jelas. Kadang kami mengakhiri pertentangan dengan ketawa. Saat sadar dananya belum ada. "Ma, dananya belum ada, kita sudah berseteru. Ayo, cari obrolan lain. Kalau dana sudah ada kita berseteru lagi". 

Pada Juni 2014--kalau tak salah ingat-- sambil rebahan di kasur, istri bicara dengan lembut, penuh tekanan. Namun, aku mendengarnya seperti ancaman."Pa, mumpung anak masih kecil dan kebutuhan belum banyak, saat ini kesempatan emas untuk membangun rumah. Kita mulai saja, entah kapan selesainya, kita harus mulai". Istri bicara sungguh-sungguh.

Dan pada akhirnya saya juga berpikir apa yang istri katakan benar. Dari tahapan ide bergerak ke praktik. Kami buka-buka majalah tentang rumah dan buka Google untuk mencari model rumah impian kami. Kami temukan gambar itu. Cukup sederhana dan ideal buat kami.

Langkah selanjutnya, kami bicara dengan bapak mertua untuk mencarikan hari yang baik untuk memulai pembangunan rumah. Kami masih teguh memegang adat jawa. Hari baik dan hari naas kami masih gunakan. Mertua tidak tanya berapa uang yang kami punya. Seolah kami sudah siap dengan dana yang cukup. Kami memang cukup, cukup nekat.

Istri dengan gesit menjual Honda Beat kesayangannya. Beat putih alat geraknya yang dicicil 3 tahun, untuk ngajar di sekolah Madrasah Ibtidaiyah itu pun terjual sekitar Rp13 juta. Dengan dana yang ada di tabungan setelah ditotal ada nominal 29 jutaan.

Nah, dari dana itulah kami membangun istana impian. Nekat? Jelas!

Tibalah hari bersejarah itu. Pagi itu matahari bersinar terik. Tidak hujan walau biasanya hujan. Senin, 20 Oktober 2014, kami dibantu tetangga menggali pondasi rumah. Konsumsi yang saya suguhkan, ketan kirip dan kopi. Agak siangan makan siang dengan sayur santan ala kadarnya.

Entah bagaimana ceritanya. Awalnya kami hanya berencana membuat rumah yang super mini dan minimalis, 7mX6m, tapi saat membuat pondasi ukurannya adalah 10 X 11 meter.

Jelas itu ukuran besar buat kantong kami. Kenapa kami tidak meralat ukuran itu. "Tidak usah! siapa tahu itu sebuah doa agar kamu bisa membangun rumah seukuran itu," motivasi dari bapak mertua. Bapaklah yang mengubah ukuran itu. Kami pasrah saja saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun