Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Qatar: Negeri yang Mencari Identitas dengan Kekuatan Minyak dan Gas

23 November 2022   13:46 Diperbarui: 23 November 2022   15:25 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   

             

Jika Anda kebingungan memahami sesuatu--misal teori relativitas--maka itu belum seberapa jika dibandingkan saat Anda ingin memahami sebuah negara yang bernama Qatar. Ini mungkin berlebihan. Tapi begitulah. Qatar adalah gas. Dalam arti bukan kiasan, tapi sesungguhnya. Gampang menguap dan gampang terbakar. Tapi dunia membutuhkannya. Setidaknya untuk saat ini.

---

 Enam puluh tahun yang lalu, Qatar hanyalah hamparan padang pasir yang panas. Benar-benar panas seolah tak ada harapan. Tak ada kemajuan. Kemakmuran penduduknya dinilai kalau bisa makan. Tidak mati terpanggang suhu panas kelewat batas. Itu sudah sebuah kemujuran.

Suhu siang hari bisa mencapai 49 derajat celcius. Secara teknis bisa untuk mematangkan telur ayam jika tergeletak di padang pasir.

Sekelompok suku nomaden bergerak sambil menggiring domba ternak khas padang pasir. Kehidupan keras. Sangat keras.Tenda-tenda mereka tersebar dan berpindah di seluruh penjuru Qatar.

Pemandangan yang lazim saat itu. Sebagian kecil masyarakat ada juga yang bertani. Tapi tidak banyak. Cenderung langka.

Masyarakat pinggir pantai berprofesi sebagai nelayan: penyelam dan pembudidaya kerang mutiara air asin. Pekerjaan yang cukup populer sebelum booming minyak dan gas pada 1980-an. Ciri khas negara berkembang yang miskin, udik, terbelakang dan berdebu. Qatar layak menyandang itu. Saat itu.

Penemuan Minyak dan Gas

Pada 1935, British Petroleum bekerja sama dengan pemerintah Inggris di Qatar menemukan sumber minyak dan gas di Jabal Dukhan. Bukit Asap. Pada 1939 mulailah eksploitasi minyak dan gas alam di Qatar.

Pada 3 September 1971, Qatar menyatakan merdeka dari Inggris. Tidak berselang lama ladang gas baru ditemukan. Kapasitas 24,7 triliun meter kubik. Terbesar nomor tiga setelah Rusia dan Iran.

Harapan cerah mulai tampak. Perusahaan multinasional berlomba untuk ikut berperan mengeksploitasi minyak dan gas di bawah tanah Qatar. Qatar mulai sibuk. Yang semula bau pasir sekarang bau minyak dan gas. Kelimpahan sumber energi menjadi modal berdirinya sebuah negara merdeka. Qatar mendapatkan keberuntungan itu.

Keluarnya gas dan minyak dari tanah gersang Qatar, secara otomatis menjadi pintu masuknya dollar ke dalam kantong pemerintah Qatar. Seolah Qatar mendapat jackpot, menang lotere. Hanya sekejab Qatar berubah. Benar-benar berubah. Negeri petrodollar baru telah lahir.

Pemimpin Qatar, karena punya uang, mulai nimbrung di kancah politik Timur Tengah, bahkan juga global. Qatar mulai berani berseteru dengan tetangganya. Arab Saudi, Bahrain dan Uni Emirat Arab. Qatar mulai bersuara di kancah global. Dengan uang pastinya.

Goncangan Budaya

Qatar seperti lampu bagi laron. Berkilau dan menarik. Dengan munculnya kilang minyak, dibutuhkan  banyak tenaga kerja. Orang Qatar sendiri belum siap--lebih tepatnya enggan--sebagai pekerja. Lebih cenderung tidak mau.

Maka didatangkan tenaga kerja asing untuk menutup celah yang ditinggalkan orang lokal. Dan anehnya hampir semua sektor dimasuki para pendatang.

Demografi Qatar berubah. Pada saat merdeka dari Inggris pada 1971 penduduknya hanya 119 ribu orang. Pada 2000 penduduknya masih 592.000 jiwa. Saat ini--November 2022-- data dari Wordometer Population, ada 2,9 juta orang. Hampir 86%-nya adalah pendatang. Ekspatriat.

 

Penghasilan dari ekspor minyak menjadi berkah bagi ekonomi Qatar. Pemerintah menggratiskan listrik, air, kesehatan, pendidikan dan juga pajak.  Mahasiswa digaji, saat menikah seorang pria mendapat sebidang tanah, hipotek bebas biaya dan tunjangan bulanan kurang lebih $7000. Rakyat Qatar juga mendapat bagi hasil dari pendapatan negara.

Secara ekonomi Qatar tumbuh sebagai raksasa. Banyak uang. Penghasilan perkapita pada 2022 mencapai $130.000. Atau setara 170 juta/bulan. Tertinggi di dunia. Itu sisi menariknya. Sisi buruknya, sebagai negara yang mendadak kaya, Qatar seperti mengalami apa yang dinamakan Penyakit Orang Kaya Baru: campuran kecemasan dan arogansi.

 

Kelimpahan materi, satu sisi bisa sebagai berkah. Rakyat Qatar tidak lagi kebingungan mencari makan. Tidak lagi berpanas-panas menggiring domba. Atau menahan nafas untuk menyelam mencari kerang mutiara. Itu semua tinggal cerita. Yang mungkin sudah dilupa.

Dampak lainnya adalah kebingungan identitas. Sebagai negara, Qatar punya bendera, punya ibu kota, punya wilayah, punya musium nasional. Namun secara budaya, Qatar tidak punya apa-apa. Kehilangan jati diri sebagai komunitas yang dibentuk oleh sistem kesukuan. Kehilangan sejarahnya. Sebabnya: mudahnya mendapatkan uang dan keasyikan membangun. Maka hal pertama yang mulai langka adalah identitas dan semen.

Lompatan pembangunan dari negara the traditional Society, langsung menuju the age of high mass consumption. Mengacak-acak tahap-tahap yang harus dilalui Qatar. Perkembangan Qatar tidak lumrah. Dari telur langsung melompat menjadi kupu-kupu. Metamorfosis tidak sempurna. Dan sepertinya mengerikan.

Bangunan-bangunan megah hanyalah sekadar bangunan beton. Bagus, tapi tidak ada rohnya. Apartemen mewah atau kantor perusahaan besar yang isinya tak lain ekspatriat yang tidak punya akar budaya dari tanah Qatar.

Bagi pekerja asing, Qatar cocok untuk bekerja mencari uang. Pekerja dari India, Nepal, Pakistan, Indonesia, Bangladesh dan juga Filipina membanjir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan penduduk lokal.

Qatar layak sebagai tempat bekerja mencari uang, tapi bukan untuk tempat tinggal. Hanya sekadar house bukan home. Tidak ada apa-apa di Qatar, yang ada hanya pasir, udara panas dan uang.

Mentalitas Qatar

 Anak-anak Qatar sedari kecil pola asuh di tangan asisten rumah tangga.Yang pastinya berasal dari luar negeri. Sebagai pengasuh tidak punya kewenangan untuk mendisiplinkan anak, karena status asisten rumah tangga bukan pada pembentukan karakter tapi pada upaya sekadar mengasuh saja.

Anak Qatar tumbuh dengan kelimpahan kebendaan yang bisa diraih dengan mudah. Mereka dimanja sedari kecil. Dan pada akhirnya saat dewasa, orangtua sudah tidak punya kendali lagi membentuk karakter anak. Anda bisa bayangkan, bagaimana anak semacam ini saat mengendarai mobil mewah di jalanan? Atau saat di sekolah? Sebuah pekerjaan berat dari guru sekolah yang juga kebanyakan dari luar negeri.

Penduduk asli Qatar, banyak yang tercatat sebagai pekerja. Tapi secara fisik mereka tidak pernah berada di tempat kerja. Mereka mendapat cek gaji dari apa yang mereka lakukan, yakni tidak bekerja. Mereka punya hak istimewa aneh semacam itu. Tapi itu bukan hal aneh bagi orang Qatar, itu hal wajar. Orang Qatar sungguh istimewa. Terlampau istimewa.

Mungkin yang paling menarik adalah peringatan dari Departemen Luar Negeri Amerika terkait berkendara di Qatar. Jalanan di Qatar adalah ajang olah raga ekstrem. Sangat berbahaya. Masyarakat mengendarai mobil sesuka hati, seolah mengerem atau menaati rambu lalu lintas adalah kelemahan. Kurang jantan dan berkelas. DNA gurun masa lalu masih membekas sampai saat ini.

Jika terjadi kecelakaan antara penduduk lokal dan orang asing. Yang salah sudah pasti orang asing. Paspor Qatar adalah jaminan bebas dari kesalahan. Begitulah sistem Qatar bekerja. Penduduk asli adalah pemilik aturan. Aturan berlaku untuk orang asing, bukan orang Qatar sendiri.

Jika orang lokal Qatar mau membeli sesuatu di sebuah gerai toko, dia hanya berhenti membunyikan klakson keras-keras, penjaga toko yang sudah pasti pendatang akan  menghampiri dengan santun untuk mencatat pesanan dan mengantarkan ke mobil pembeli. Begitulah Qatar membentuk karakternya. Bahkan yang lebih parah hakim di Qatar adalah pendatang. Impor.

Uang adalah Pemersatu

Kemiskinan budaya inilah yang mau ditutup oleh pemerintah Qatar dengan membangun sebuah identitas yang bisa dibeli dengan uang. Qatar benar-benar menggunakan uang untuk menunjukkan negaranya sebagai sebuah negara yang harus diperhitungkan. Menjadi sebuah identitas baru. Kebanggaan baru dari masyarakat Qatar, yang minoritas di tanahnya sendiri.

Selama minyak dan gas masih sebagai sumber energi dunia maka negara Qatar masih aman. Tapi jika habis, di situlah persoalan akan muncul. Qatar pastinya akan berantakan. Menuju akhir dari sejarahnya.

Tidak bisa dipungkiri Qatar menggunakan uang sebagai alat pemersatu, sebuah idiologi untuk menyatukan rakyatnya. Membelai rakyatnya supaya bisa santai hidup di rumah tanpa diganggu dengan berbagai macam pekerjaan.

Apalagi memikirkan revolusi sosial. Selama uang masih mengalir deras, di situlah nasib yang namanya revolusi sosial sekarat. Lebih tepatnya mati. Revolusi di Qatar sudah punah. Menjadi fosil di bebatuan gurun.

Minyak dan Gaslah yang bekerja. Mengurus anak, mengurus rumah dan berbagai pekerjaan yang seharusnya dikerjakan tangan manusia Qatar menjadi tugas dari orang luar negeri. Pemimpin Qatar menjadi raja bagi rakyatnya, rakyat Qatar juga menjadi raja bagi orang asing yang ada di Qatar.

Masyarakat Qatar tumbuh sebagai masyarakat yang seolah "bekerja untuk menghabiskan uang". Jika Anda ingin memahami masyarakat Qatar, Anda harus belajar memahami masyarakat Nauru. Masyarakat udik di Pasifik.

Masyarakat yang dulu pernah kaya raya karena "tahi burung", Fosfat. Namun akhirnya sekarang menjadi masyarakat yang terbelakang, udik dan miskin seiring dengan habisnya cadangan fosfat di negara tersebut.

Qatar setidaknya tahu akan hal itu. Dan rasanya pemerintahnya tidak mau menjadi Nauru kedua. Maka saat ini, saat uang masih berkelimpahan, pemerintahnya melakukan diversifikasi ekonomi dengan melakukan berbagai investasi besar-besaran tidak hanya di sektor pertambangan tapi juga di sektor pariwisata. Dan juga apa saja.

Qatar hanya ingin menunjukkan bahwa mereka punya uang dan layak diperhitungkan. Di kancah regional dan global. Walaupun semua sangat semu. Hanya uang yang nyata dari sebuah negara yang namanya Qatar. Qatar sedang membentuk identitas barunya dengan susah payah. Dan sungguh-sungguh.

----

Literatur: the Geography of Bliss. Eric Weiner

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun