Kelimpahan materi, satu sisi bisa sebagai berkah. Rakyat Qatar tidak lagi kebingungan mencari makan. Tidak lagi berpanas-panas menggiring domba. Atau menahan nafas untuk menyelam mencari kerang mutiara. Itu semua tinggal cerita. Yang mungkin sudah dilupa.
Dampak lainnya adalah kebingungan identitas. Sebagai negara, Qatar punya bendera, punya ibu kota, punya wilayah, punya musium nasional. Namun secara budaya, Qatar tidak punya apa-apa. Kehilangan jati diri sebagai komunitas yang dibentuk oleh sistem kesukuan. Kehilangan sejarahnya. Sebabnya: mudahnya mendapatkan uang dan keasyikan membangun. Maka hal pertama yang mulai langka adalah identitas dan semen.
Lompatan pembangunan dari negara the traditional Society, langsung menuju the age of high mass consumption. Mengacak-acak tahap-tahap yang harus dilalui Qatar. Perkembangan Qatar tidak lumrah. Dari telur langsung melompat menjadi kupu-kupu. Metamorfosis tidak sempurna. Dan sepertinya mengerikan.
Bangunan-bangunan megah hanyalah sekadar bangunan beton. Bagus, tapi tidak ada rohnya. Apartemen mewah atau kantor perusahaan besar yang isinya tak lain ekspatriat yang tidak punya akar budaya dari tanah Qatar.
Bagi pekerja asing, Qatar cocok untuk bekerja mencari uang. Pekerja dari India, Nepal, Pakistan, Indonesia, Bangladesh dan juga Filipina membanjir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan penduduk lokal.
Qatar layak sebagai tempat bekerja mencari uang, tapi bukan untuk tempat tinggal. Hanya sekadar house bukan home. Tidak ada apa-apa di Qatar, yang ada hanya pasir, udara panas dan uang.
Mentalitas Qatar
 Anak-anak Qatar sedari kecil pola asuh di tangan asisten rumah tangga.Yang pastinya berasal dari luar negeri. Sebagai pengasuh tidak punya kewenangan untuk mendisiplinkan anak, karena status asisten rumah tangga bukan pada pembentukan karakter tapi pada upaya sekadar mengasuh saja.
Anak Qatar tumbuh dengan kelimpahan kebendaan yang bisa diraih dengan mudah. Mereka dimanja sedari kecil. Dan pada akhirnya saat dewasa, orangtua sudah tidak punya kendali lagi membentuk karakter anak. Anda bisa bayangkan, bagaimana anak semacam ini saat mengendarai mobil mewah di jalanan? Atau saat di sekolah? Sebuah pekerjaan berat dari guru sekolah yang juga kebanyakan dari luar negeri.
Penduduk asli Qatar, banyak yang tercatat sebagai pekerja. Tapi secara fisik mereka tidak pernah berada di tempat kerja. Mereka mendapat cek gaji dari apa yang mereka lakukan, yakni tidak bekerja. Mereka punya hak istimewa aneh semacam itu. Tapi itu bukan hal aneh bagi orang Qatar, itu hal wajar. Orang Qatar sungguh istimewa. Terlampau istimewa.
Mungkin yang paling menarik adalah peringatan dari Departemen Luar Negeri Amerika terkait berkendara di Qatar. Jalanan di Qatar adalah ajang olah raga ekstrem. Sangat berbahaya. Masyarakat mengendarai mobil sesuka hati, seolah mengerem atau menaati rambu lalu lintas adalah kelemahan. Kurang jantan dan berkelas. DNA gurun masa lalu masih membekas sampai saat ini.