Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Investasi Hijau: Peta Jalan Swasembada Energi Menuju Nol Emisi

29 Juli 2022   14:41 Diperbarui: 29 Juli 2022   14:51 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Upaya Pemerintah Indonesia mempercepat transisi energi menuju nol emisi. Gambar: kompas.id

Pada musim dingin Februari 1970. Sekelompok mahasiswa San Jose State College, California, beramai-ramai mendorong mobil Ford Maverick baru, warna kuning untuk dikubur di lubang sedalam 3,5 meter di tengah kampus. Tindakan itu sebagai simbol keprihatinan terhadap pencemaran lingkungan yang semakin parah--khususnya kabut asap.  

     ---

Dua bulan berselang--Rabu 22 April 1970--di Amerika, jutaan orang turun ke jalan, menyuarakan keprihatinan yang sama. Hari Bumi pertama diperingati dengan meriah. Liputan dari media, luar biasa. Acara televisi Today menyiarkan seminggu penuh. 

Presenter, Hugh Downs, membuka dengan pernyataan kontemplatif--lebih bernada emosional: 

"Apakah kita punya niat mengubah cara hidup kita? Atau akan terus berkembang biak, mengonsumsi listrik lebih banyak lagi, menginginkan semua hal lebih banyak lagi, sampai kita tercekik atau mati karena wabah dan kelaparan? Mungkin dalam abad mendatang, atau beberapa puluh tahun lagi?" 

   

Pada 2016--empat puluh enam tahun setelah peristiwa itu--dari tangkapan layar radar, mata Eric Rignot--ahli glasiologi di NASA Jet Propulsion Laboratory--melihat dengan gelisah. Sebongkas es seluas 580 kilometer persegi terpecah dan hanyut di Laut Amundsen, Antartika Barat. 

Tidak sampai di situ, retakan baru--siap pecah--juga muncul di atas es yang dulunya berlabel "abadi". Laut di sana menghangat setengah derajat dan pelelehan es sudah berlipat empat. Ini bukan kasus tunggal. Di belahan utara, es di Greenland juga menyusut dengan dramatis. Pada 2018, data dari National Snow and Ice Data Center, menunjukkan tingkat pencairan meningkat enam kali lipat sejak 1980-an.

Bencana Iklim

 

Mencairnya es di kutub akan menambah volume air laut. Pun mengubah suhu air laut. Yang berimbas pada perubahan pergerakan aliran udara di atasnya. Akibatnya: siklus angin berubah, anomali iklim terjadi, badai dengan intensitas kuat makin mengganas, kekeringan ekstrem, banjir bandang,  longsor, banjir rob. Semua itu adalah respon alam terhadap melimpahnya emisi karbon di angkasa. Alam menyeimbangkan siklusnya.

Bukan sebuah kebetulan jika di Indonesia ada peningkatan jumlah dan intensitas bencana pada 2016. BBC Indonesia melaporkan, bencana akibat cuaca ekstrem meningkat 35% dari tahun sebelumnya. Tercatat 2.342 kejadian, dengan 92 persen didominasi bencana hidro-meteorologi. Korban jiwa mencapai 522 orang; tiga juta orang dievakuasi; 69.287 unit rumah dan 2.311 fasilitas umum rusak.

Pada 2021 data yang dirilis BNPB mencatat 3.092 kejadian. Bencana hidro-meteorologi tetap mendominasi--sebanyak 99 persen. Korban jiwa 665, hilang 95 orang, luka-luka 14.116 dan sebanyak 8.426.609 orang dievakuasi. Rumah rusak 142.179 unit, fasilitas umum 3.704, kantor 509 dan jembatan 438.

Data di atas menguatkan; bencana akibat perubahan iklim di Indonesia intensitasnya semakin meningkat dan juga merusak. Dampak perubahan iklim sangat luas, bisa menjadi sebab kemiskinan baru. Hal ini bisa dilihat dari kasus bencana banjir rob.

Pada 2022, di Desa Timbulsloko, Demak, masyarakat menggali lubang kubur untuk orang yang meninggal. Butuh kurang lebih 7 jam, sampai jenazah bisa dikebumikan. Proses penguburan bukan persoalan sederhana. Itu kondisi sulit dan melelahkan. Butuh tenaga ekstra, karena harus menggali tanah yang berair. Desa yang mereka tempati, tergenang oleh air laut. Statusnya, banjir rob permanen.

Area pemakaman dan permukiman awalnya wilayah kering, yang dikelilingi persawahan. Aktivitas bertani, dulunya menjadi mata pencaharian sebagian warga. Namun, tidak untuk saat ini. Keinginan pindah--hidup di tanah kering--adalah dambaan. 

Namun, keterbatasan biaya memaksa mereka untuk tetap tinggal. Mencoba tabah menerima, dan berdamai dengan derita. Mereka terperangkap oleh bencana, mereka dimiskinkan oleh perubahan iklim.  

Transisi Energi

 

Krisis iklim bukan fantasi ilmuwan. Bukan pula fiksi ilmiah. Dampaknya sudah dirasa di berbagai negara: Kebakaran semak di California, kebakaran hutan di Siberia pertama dalam sejarah, dan Australia dengan skala yang belum ada sebelumnya; tenggelamnya pesisir Jawa; gelombang bahang yang menghantam Eropa.

Bencana iklim sudah menjadi persoalan serius di banyak negara. Perang melawan krisis iklim tidak bisa dilakukan secara parsial apalagi ditunda. Tapi menyeluruh dan segera dengan melibatkan semua stakeholder yang ada--semua negara di dunia. Terutama negara yang memproduksi emisi karbon dalam jumlah besar. Sebut China, Amerika,  Uni Eropa, India.

Transisi energi ke terbarukan pastinya isu yang "kurang kharismatik" bagi negara yang menggantungkan pendapatan utamanya dari energi fosil. Sebut saja, Arab Saudi, dan pastinya juga, negara berkembang lainnya. Bisa jadi mereka tertarik tapi tidak berdaya untuk melaksanakan, akibat terbentur pendanaan, infrastruktur dan teknologi.

Selain itu ada alasan politis. Banyak rezim yang diuntungkan dengan kelimpahan energi fosil. Keputusan Amerika pada 2019 lalu, saat Presiden Donald Trump menarik diri dari Paris Agreement bisa jadi contoh. 

Alasannya, Amerika merasa ekonominya kalah saing dengan China. Untuk menghindari benturan kepentingan, proses transisi energi, dari fosil ke terbarukan harus bertahap dilakukan. Dengan dukungan niat baik politik, kesiapan dana dan juga teknologi.

Pada gelaran puncak KTT G20 di Bali. Ada tiga isu prioritas yang dijadikan agenda, salah satunya adalah Transisi Energi Berkelanjutan. Ini adalah momen tepat untuk mengikat kesepahaman  semua pihak--terutama di tingkat kepala negara--untuk berkolaborasi dan mematangkan penanganan persoalan iklim yang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. 

Sebagai catatan, negara G20 mengonsumsi 75% dari perdagangan energi global. Secara moral mereka bertanggung jawab atas krisis iklim yang terjadi.

Langkah Indonesia

Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission) pada 2060.  Untuk itu Indonesia menjadikan transisi energi bersih sebagai salah satu kebijakan prioritas penyedia pasokan energi nasional ke depannya.

Pertanyaan dasarnya adalah: Energi apa yang bisa digunakan sebagai pengganti energi fosil? Bagaimana pembiayaannya dan kesiapan teknologinya, apa dampak ekonomi buat pelaku usaha?

Sebagai langkah serius Indonesia, ada beberapa upaya yang dilakukan:

Pertama, mendata sumber energi terbarukan yang potensial dikembangkan. Menurut Kementerian ESDM potensi energi terbarukan Indonesia 417,8 gigawatt. Dengan rincian: energi surya 207,8 GW, energi angin 60,6 GW, panas bumi 23,9 GW, arus laut 17,9 GW, bio energi 32,6 GW, air 75 GW. Potensi yang ada ini bisa ditawarkan ke pelaku usaha yang bergerak di bidang energi, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kedua, mencari mitra pendanaan. Indonesia telah bekerjasama dengan lembaga keuangan ADB (Asian Development Bank) terkait studi kelayakan dan rancangan penerapan Mekanisme Transisi Energi. Pembangkit listrik bertenaga batu bara akan dikurangi aktivitasnya dengan mengubah teknologi yang ada serta dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) yang ada di Indonesia. 

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, langkah Indonesia ini adalah upaya untuk meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil  dan terjangkau.

Ketiga, bauran energi. Secara bertahap Indonesia berkomitmen meninggalkan energi fosil. Proses menyiapkan infrastruktur energi bersih dilakukan, di sisi lain dengan bertahap mengurangi asupan energi fosil. 

Wujud kongkritnya, misal tahun 2022 ini, diproyeksikan PLTS terapung Cirata akan beroperasi. Pembangkit ini mampu memberi daya 50.000 rumah ekuivalen dengan 214.000 ton CO2. Satu upaya  transisi menuju dominannya energi bersih. 

Pemerintah Indonesia juga memberikan insentif fiskal--tax allowance, import duty facilitation, tax holiday--dan nonfiskal untuk pelaku usaha di sektor pengembangan energi hijau. Selain itu, memberi kepastian payung hukum. Sehingga berinvestasi di sektor energi hijau menjanjikan keuntungan dan terlindungi.

 Posisi Strategis Presidensi G20

Sebagai pemegang Presidensi G20, posisi Indonesia sangat strategis. Indonesia bisa mendorong komunike bersama kaitannya dengan transisi energi dan investasi hijau. Kerjasama antarpihak yang dilakukan Indonesia dengan keterlibatan Asian Developmnet Bank--dan lembaga pendanaan lainnya--untuk membantu pembiayaan transisi energi bisa dijadikan model banyak negara berkembang yang kesulitan teknologi dan pembiayaan.

Kementerian keuangan dan Bank Indonesia sebagai tulang punggung disektor keuangan harus gercep untuk menginisiasi sebuah kesepakatan antarpihak--pelaku industri, lembaga riset, lembaga keuangan, investor dan pemerintah--terkait upaya mendorong skema pengembangan pembiayaan berkelanjutan. Dengan tujuan mendorong munculnya pemanfaatan energi bersih dari hulu ke hilir dalam skala luas.

Sebuah kesepakatan akan mudah tercapai jika ada kesalingpahaman, bahwasanya transisi energi tidak harus memberatkan keuangan apalagi menguras APBN setiap negara. Ekonomi hijau adalah harapan: lahirnya gerakan ekonomi yang  menguntungkan bagi pelaku industri, menyerap banyak tenaga kerja, akses berkeadilan untuk masyarakat, murah dan tidak merusak lingkungan hidup.

Indonesia salah satu negara yang secara nyata mengalami dampak terberat dari pemanasan global. Negara berkembang lainnya yang berada di tengah Samudera Hindia, Pasifik, termasuk paling rentan untuk hilang dari peta:selamanya. Indonesia harus berada di garda depan mengajak negara G20 untuk peduli dengan kondisi bumi. Pencegahan bencana iklim, tidak bisa dilakukan sendirian, tapi kolaborasi berbagai pihak. Recover Together, Recover Stronger.

Kesimpulan 

Untuk saat ini--dan mungkin sampai nanti--tidak ada tempat yang paling layak dihuni spesies manusia selain bumi. Planet biru ini satu-satunya kampung halaman manusia. Tidak ada pilihan selain merawatnya. Menginvestasikan sumber daya untuk kelestariannya. Bukan hanya untuk generasi saat ini tapi juga untuk anak cucu nanti.

Pun dengan masa depan energi Indonesia. Menjadi masyarakat maju harus memenuhi unsur keberlanjutan dan berkeadilan dalam penyediaan maupun akses energi. Indonesia bisa maju jika ekonominya berbasis pada kelestarian lingkungan. Hal yang tidak bisa ditawar atau ditunda lagi.

Rasanya apa yang disuarakan Hugh Downs, seorang presenter televisi saat meliput Hari Bumi pertama masih sangat relevan dan bisa menjadi renungan bersama:

"Apakah kita punya niat membalik cara hidup kita? Atau akan terus berkembang biak, mengonsumsi listrik lebih banyak lagi, ingin semua hal lebih banyak lagi, sampai kita tercekik atau mati karena wabah dan kelaparan? 

--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun