Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Investasi Hijau: Peta Jalan Swasembada Energi Menuju Nol Emisi

29 Juli 2022   14:41 Diperbarui: 29 Juli 2022   14:51 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan sebuah kebetulan jika di Indonesia ada peningkatan jumlah dan intensitas bencana pada 2016. BBC Indonesia melaporkan, bencana akibat cuaca ekstrem meningkat 35% dari tahun sebelumnya. Tercatat 2.342 kejadian, dengan 92 persen didominasi bencana hidro-meteorologi. Korban jiwa mencapai 522 orang; tiga juta orang dievakuasi; 69.287 unit rumah dan 2.311 fasilitas umum rusak.

Pada 2021 data yang dirilis BNPB mencatat 3.092 kejadian. Bencana hidro-meteorologi tetap mendominasi--sebanyak 99 persen. Korban jiwa 665, hilang 95 orang, luka-luka 14.116 dan sebanyak 8.426.609 orang dievakuasi. Rumah rusak 142.179 unit, fasilitas umum 3.704, kantor 509 dan jembatan 438.

Data di atas menguatkan; bencana akibat perubahan iklim di Indonesia intensitasnya semakin meningkat dan juga merusak. Dampak perubahan iklim sangat luas, bisa menjadi sebab kemiskinan baru. Hal ini bisa dilihat dari kasus bencana banjir rob.

Pada 2022, di Desa Timbulsloko, Demak, masyarakat menggali lubang kubur untuk orang yang meninggal. Butuh kurang lebih 7 jam, sampai jenazah bisa dikebumikan. Proses penguburan bukan persoalan sederhana. Itu kondisi sulit dan melelahkan. Butuh tenaga ekstra, karena harus menggali tanah yang berair. Desa yang mereka tempati, tergenang oleh air laut. Statusnya, banjir rob permanen.

Area pemakaman dan permukiman awalnya wilayah kering, yang dikelilingi persawahan. Aktivitas bertani, dulunya menjadi mata pencaharian sebagian warga. Namun, tidak untuk saat ini. Keinginan pindah--hidup di tanah kering--adalah dambaan. 

Namun, keterbatasan biaya memaksa mereka untuk tetap tinggal. Mencoba tabah menerima, dan berdamai dengan derita. Mereka terperangkap oleh bencana, mereka dimiskinkan oleh perubahan iklim.  

Transisi Energi

 

Krisis iklim bukan fantasi ilmuwan. Bukan pula fiksi ilmiah. Dampaknya sudah dirasa di berbagai negara: Kebakaran semak di California, kebakaran hutan di Siberia pertama dalam sejarah, dan Australia dengan skala yang belum ada sebelumnya; tenggelamnya pesisir Jawa; gelombang bahang yang menghantam Eropa.

Bencana iklim sudah menjadi persoalan serius di banyak negara. Perang melawan krisis iklim tidak bisa dilakukan secara parsial apalagi ditunda. Tapi menyeluruh dan segera dengan melibatkan semua stakeholder yang ada--semua negara di dunia. Terutama negara yang memproduksi emisi karbon dalam jumlah besar. Sebut China, Amerika,  Uni Eropa, India.

Transisi energi ke terbarukan pastinya isu yang "kurang kharismatik" bagi negara yang menggantungkan pendapatan utamanya dari energi fosil. Sebut saja, Arab Saudi, dan pastinya juga, negara berkembang lainnya. Bisa jadi mereka tertarik tapi tidak berdaya untuk melaksanakan, akibat terbentur pendanaan, infrastruktur dan teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun