Situasi berbeda, saat Indonesia berani bilang "go to hell with your aid" kepada Amerika pada 1960-an. Militer Indonesia saat itu berlabel, kekuatan mengerikan di belahan bumi selatan. Indonesia sering merepotkan banyak negara besar. Tentunya Amerika, Inggris dan sekutunya. Tidak terkecuali Australia.
Saat konflik Dwikora 1963, pilot AURI sering usil masuk ruang udara Australia. Keisengannya ditambah aksi menjatuhkan ransel TNI. Seolah militer Indonesia sudah masuk ke daratan Australia.
Indonesia nyaman-nyaman saja. Karena tahu, tidak ada pesawat Australia yang mampu mengejar. Australia jelas panik. Akhirnya batal mengirimkan personelnya untuk membantu Malaysia dalam konflik melawan Indonesia.
Kedekatan dengan Blok Timurlah yang menjadikan militer Indonesia mendapat persenjataan mutakhir pada zamannya. Mulai pembom strategis jarak jauh TU-16 Badger, puluhan kapal selam kelas Whiskey, sampai dengan Mig-21. Pesawat langka dengan kecepatan supersonik.
Persenjataan militer Indonesia saat itu hasil gotong royong dari Uni Sovyet, RRT, Cekoslowakia dan Polandia.
Permainan Berubah
Lima belas September 2021, muncul pakta militer di kawasan Indo-Pasifik, AUKUS ( Australia, United Kingdom, United State). Pakta ini bertujuan menantang dominasi Beijing di Laut Tiongkok Selatan.Â
Misi yang diusung adalah kebebasan bernavigasi. Pakta ini berkekuatan senjata nuklir. Misinya menekan atau setidaknya mendorong China supaya lebih dekat bergerak ke teritori daratannya.
Klaim Tiongkok terhadap LTS jelas melanggar UNCLOS 1982. Perluasan teritori yang melanggar yuridiksi negara lain: Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam dan juga Indonesia. Apapun alasannya tidak ada pembenaran terkait pelebaran teritorial. Pembagian LTS sudah berkekuatan hukum tetap. Sebagai acuannya adalah hukum laut internasional PBB, UNCLOS 1982.
Apalagi Tiongkok termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi PBB tersebut. Klaim Beijing hanya didasarkan pada sejarah masa lalu--ribuan tahun--sebagai tempat mancing tradisional nenek moyangnya.Â
Nine Dash Line adalah upaya peruntungan Tiongkok untuk mengambil alih kendali jalur perdagangan paling sibuk di dunia. Selain itu bonusnya adalah menguasai SDA yang terpendam di LTS. Harta karun, deposito masa depan Tiongkok.
Dengan militerisasi Tiongkok di gosong tengah laut LTS saja sudah membuat Asia Tenggara seperti tungku api, yang siap berkobar. Ditambah pemantik baru AUKUS. Indonesia jelas keberatan dengan munculnya pakta tersebut.
"Di luar Asia Tenggara, Indo-Pasifik, Indonesia melihat dan mengkhawatirkan meningkatnya tensi di antara negara-negara besar," Ujar Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dalam konferensi pers virtual di sela sidang Majelis Umum PBB, Rabu (22/9/2021) seperti yang dikutip CNN Indonesia.
Indonesia sangat mengkhawatirkan LTS sebagai panggung adu senjata dan adu pengaruh kekuatan raksasa di dunia. Sedangkan pemain lapangannya adalah negara Asia Tenggara yang terpecah belah.
Efek Domino Nuklir
Australia sudah terpapar Nuklir. Bagaimana Indonesia menyikapinya? Meskipun Australia meredakan kepanikan negara Asia Tenggara dengan memberikan klarifikasi
"Australia tidak sedang dan tidak akan mencari senjata semacam itu [Nuklir]. Kami juga tidak berusaha membangun kemampuan nuklir sipil" Tutur Will Nankervis, Duber Australia untuk ASEAN. Dikutip CNN Indonesia, Selasa,(21/9/2021).
Australia beralasan mesin kapalnya saja yang bertenaga Nuklir. Sedangkan persenjataan tidak dilengkapi dengan senjata Nuklir. Jelas ini pernyataan yang boleh dibilang cacat logika.
Lalu apakah dengan itu China takut? Kapal selam adalah senjata strategis. Maka harus ada penggentarnya. Dan itu senjata yang digotong, bukan dapur pacu mesinnya.
Sudah sejak lama Indonesia juga menginginkan Nuklir. Australialah yang seharusnya bertanggung jawab jika sampai Indonesia, secara sepihak, tanpa permisi berniat menguatkan taringnya sebagai negara besar di belahan Bumi Selatan.
Sejarah bisa dijadikan rujukan. Hubungan militer dan politik dua negara ini panas dingin. Indonesia-Australia secara diam-diam berebut pengaruh sebagai kekuatan politik dan militer di belahan bumi selatan.
Munculnya AUKUS bikin gerah RI. Tidak bisa dipungkiri, pastinya buku putih pertahanan Indonesia akan dirombak. Bisa jadi akan terselip "penguasaan nuklir untuk menangkal bahaya dari selatan".
Jika Indonesia mempersenjatai dengan nuklir, pastinya Singapura akan melakukan hal yang sama. Disusul Malaysia dan Vietnam serta Thailand. Hancur lebur sudah Zopfan (Zone of peace, freedom, and Neutrality) yang sudah dipertahankan puluhan tahun negara-negara di Asia Tenggara. Kunci pokoknya ada di tangan Indonesia. Merespon nuklir dengan nuklir atau merespon nuklir dengan Bom Panci (baca: konvensional)
Timbul pertanyaan dari mana nuklirnya? Banyak cara menuju Roma. Banyak pula cara untuk mendapatkan nuklir. Jika Indonesia merapat ke China tidaklah susah untuk mendapatkan transfer teknologi nuklir dari negeri Tirai Bambu tersebut.
Masih ada alternatif lain. Iran, pastinya dengan senang hati memberikan banyak kemudahan transfer nuklirnya. Bisa juga melirik Pakistan. Untuk mendapat ilmu dari Negara Barat pastinya tidak mungkin. Celah itu sudah ditutup untuk Indonesia yang dikategorikan bukan negara sekutu. Outgroup, bukan bagian dari mereka.
Keberadaan AUKUS tersebut membelah ASEAN menjadi dua. Laos, Myanmar, Kamboja jelas memihak ke China. Bantuan militer dan ekonomi adalah cara merangkul negara Indo China tersebut. Malaysia, Singapura, jelas memihak AUKUS. Brunei akan cari aman dengan tidak memihak. Itu lebih baik. Thailand juga sama, karena tidak bersentuhan langsung dengan konflik, gerak politiknya lebih lentur. Indonesialah yang akan dibuat pusing.
Dengan kalkulasi historis, Indonesia sebenarnya alergi dengan kekuatan Barat yang memperkeruh kawasan sebagaimana dulu munculnya SEATO dan ANZUS.Â
Dari sisi historis sebenarnya Indonesia lebih akrab "minum kopi" dengan Beijing. Maka pernah ada poros Jakarta-Peking; nama lain dari Beijing. Namun kesan Beijing setelah peristiwa 1965, sangat buruk di mata sebagian besar masyarakat yang hidup pada masa Orde Baru.
Untuk menyikapi AUKUS, Indonesia tidak bisa lagi teriak lantang untuk menunjukkan sikapnya. Indonesia akan terkesan sangat hati-hati lebih cenderung berfikir prakmatis. Sambil terus memantau perkembangan kegaduhan di LTS.
Namun untuk Nuklir Indonesia tak akan tinggal diam. Setidaknya efek domino Nuklir akan merambah Jakarta. Mustahil Jakarta tidak tertarik dengan Nuklir. Dan pemicunya adalah Canberra.
Namun hati kecilku selalu bertanya, kenapa untuk mengakhiri perang harus berperang?
------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H