Oleh: Agus Sjafari*
Bulan April selalu identik dengan bulannya perempuan, jadi bulan April merupakan bulan kebangkitan perempuan dengan Kartini sebagai ikon kebangkitan perjuangan Perempuan Indonesia.Â
Bagi kaum perempuan Indonesia, Bulan April memiliki momentum heroik bersejarah yang selalu dijadikan sebagai bulan perenungan, inspirasi, dan energi perjuangan yang kuat untuk menyejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki di segala bidang, termasuk di dalamnya perjuangan politiknya pada pemilu 2024 ini.Â
Hal ini menjadi sangat penting bagi kalangan perempuan, agar perempuan Indonesia tidak selalu "dinomorduakan" di tengah-tengah pergulatan politik nasional yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Pada dasarnya politik mengandung sebuah kekuasaan untuk mengatur dan memimpin, jadi kalau kaum perempuan tidak tampil daan menonjolkan dirinya dalam bidang politik, maka selamanya akan dilindas oleh kesewenang-wenangan kaum laki-laki.Â
Dengan demikian perempuan Indonesia harus mampu melawan rezim politik kaum laki-laki agar tidak selalu diposisikan dalam istilah sosiologi Jawa sebagai "konco wingking" (teman belakang) yang tidak diperhitungkan dalam perpolitikan di Indonesia.
Dalam politik kontemporer dunia, eksistensi politik kaum perempuan sudah banyak yang tampil di depan bahkan mampu menjadi pemimpin negara besar seperti yang kita kenal misalnya Margaret Tatcher yang kita kenal sebagai "The Iron Lady" dan beberapa pemimpin dunia dari kalangan perempuan lainnya.Â
Di Indonesia, kita juga pernah memiliki presiden perempuan -- Megawati Soekarnoputri dan beberapa pemimpin daerah yang juga sangat mumpuni. Kalau dilihat dari jumlahnya memang lebih sedikit dari kaum laki-laki, namun dari segi kualitas tidak kalah dibandingkan dengan pemimpin laki-laki.Â
Kepemimpinan politik kaum perempuan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sangat heroik seperti munculnya tokoh pejuang dari kaum Perempuan - Tjoet Nyak Dien di Aceh dan di beberapa daerah lainnya.
Artinya tokoh politik perempuan sudah banyak mewarnai perpolitikan nasional dan daerah. Menarik untuk dianalisis perjuangan politik kaum perempuan dalam pemilu 2024 ini.
Kaum Perempuan "Tak Berdaya" Dalam Pemilu 2024
Dalam perpolitikan terkini, adakah peran yang signifikan dari kalangan perempuan Indonesia dalam pemilu 2024 ini?Â
Secara kuantitas, kaum perempuan merupakan lumbung suara yang jumlahnya luar biasa. Setiap politisi baik yang akan bertarung di eksekutif maupun legislatif harus mampu menaklukkan hati dan suara perempuan guna menuju singgasana kekuasaan politiknya.Â
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan, daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebanyak 204,81 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari 102,58 juta pemilih perempuan dan 102,21 juta pemilih laki-laki.Â
Menurut wilayahnya, pemilih perempuan paling banyak berasal dari Jawa Barat, yakni 17,75 juta jiwa. Posisinya diikuti oleh pemilih perempuan di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masing-masing sebanyak 15,9 juta jiwa dan 14,17 juta jiwa (DataIndonesia.id, 2024).Â
Berdasarkan data tersebut, pemilih perempuan memiliki posisi yang sangat strategis untuk menentukan kemenangan seorang calon pemimpin di eksekutif dan legislatif.
Peran kaum perempuan dalam pemilu 2024 tidak ubahnya sebagai penyumbang suara selain kalangan milenial, artinya kaum perempuan hanya dijadikan sebagai "objek politik" para politisi dan partai politik.Â
Sudah saatnya kaum perempuan Indonesia menjadi pemeran utama atau subyek penentu dalam perpolitikan di Indonesia ke depan. Hal yang lebih memprihatinkan juga bahwa kaum perempuan dalam menyalurkan pilihan politiknya pada pemulu 2024 kemarin lebih suka untuk memilih calon pemimpin dari kalangan lak-laki, artinya bahwa para pemilih perempuan belum "pede" (percaya diri) untuk memberikan kepercayaan kepada calon pemimpin dari kalangan perempuan sendiri.Â
Hal Ini juga dibuktikan ketika kuota 30 persen untuk kandidat perempuan di legislatif, ternyata hanya mencapai 10 persen dikarenakan perempuan lebih suka memilih laki-laki dari pada kandidat perempuan.Â
Secara qodrati dan dari perspektif sosio kultural masyarakat Indonesia bahwa secara politik kaum perempuan masih belum mampu keluar dari "tirani kultural" tersebut dan tetap saja lebih happy dipimpin dan dikuasai oleh kaum laki -- laki. Di bidang ekonomi kondisinya lebih tragis lagi, dimana kaum perempuan hanya dijadikan "alat produksi" yang hanya mengeksplor kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar -- besarnya.
Secara historis sosiologis masyarakat Indonesia pada umumnya menganut sistem patrilineal. Menurut Lilik Mulyadi, patrilineal adalah sistem kekerabatan yang bertumpu pada garis keturunan laki-laki (bapak) (Kompas.com, 2022).Â
Dalam kondisi seperti itu, kaum perempuan sepertinya belum mampu untuk melawan kodrat sejarah tersebut dan hal ini juga berlaku pada aspek politik yang selama ini masih menggunakan "hukum politik" kaum laki-laki.Â
Dalam hukum politik tersebut dinyatakan bahwa kaum laki-laki memiliki egoisme dan arogansi politik yang sangat kuat untuk selalu memimpin dan menguasai semua sumber daya politik yang ada, sedangkan kaum perempuan hanya menjadi pengikut (follower) bukan leader.
Terdapat pergeseran yang cukup signifikan dalam praktik perpolitikan di Indonesia dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir khususnya di era reformasi, di mana perpolitikan kita saat ini diwarnai oleh sikap dan perjuangan yang sangat kuat dari kaum perempuan pada ranah politik.Â
Dalam beberapa referensi, terdapat beberapa perjuangan hak politik perempuan dalam gerakan feminisme ini.
Pertama, gerakan feminisme memperjuangkan politik anti diskriminatif yaitu bagaimana kaum perempuan memiliki kedudukan yang setara di segala aspek kehidupan menyangkut aspek ekonomi, aspek hukum, aspek politik, sosial budaya dan berbagai aspek lainnya.
Dalam beberapa praktik politik, politisi atau pejabat publik dari kalangan perempuan secara kultural lebih sopan dan memiliki rasa malu yang lebih tinggi untuk melakukan penyalahgunaan jabatan politik termasuk di dalamnya untuk melakukan praktik KKN dibandingkan dengan politisi dan pejabat publik dari kaum laki-laki.Â
Contoh kasus, ketika terdapat pejabat publik atau anggota legislatif dari kaum perempuan yang terjerat kasus korupsi dan menjadi tahanan KPK, mereka merasa sangat malu ketika dipublis di media.Â
Dalam perspektif etika politik, hal tersebut tentunya sangat baik agar para politisi memiliki rasa malu yang sangat tinggi sehingga dalam menjalankan jabatan publiknya tersebut tidak sembrono dan "ugal-ugalan".
Kedua, gerakan feminisme memperjuangkan keterwakilan kaum perempuan. Dalam bidang politik perjuangan ini, dilegitimasi dengan turunnya aturan keterwakilan 30 persen di lembaga legislatif. Meskipun dalam praktiknya, hal tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh partai politik ataupun dari kalangan kaum perempuan itu sendiri.Â
Perdebatan yang sering muncul ke permukaan bahwa kaum perempuan masih dianggap belum mampu berperan secara optimal dalam bidang politik. Artinya kaum perempuan perlu meng-upgrade dirinya menjadi pemimpin dan politisi yang tangguh dan berkualitas.
Dalam beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bidang politik bukan merupakan bidang yang menjadi daya tarik bagi kaum perempuan. Bidang politik diidentikan dengan bidang pekerjaan yang dianggap "kotor", penuh intrik, penuh konflik, bahkan dalam kondisi tertentu harus menggunakan kekerasan fisik.Â
Hal ini secara kodrati dianggap tidak sesuai dengan kodrat perempuan yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Bidang pekerjaan yang seringkali dimasuki kaum perempuan lebih banyak di bidang pendidikan, public relation, marketing, entertain dan bidang -- bidang yang menghibur lainnya.Â
Mengubah mindset dan paradigma seperti ini membutuhkan waktu yang lama serta dibutuhkan keberanian dan nyali yang sangat besar dari kaum perempuan untuk terjun dan menguasai dunia politik praktis yang sangat buat ibarat hutan belantara.
Ketiga, gerakan feminisme juga memperjuangkan keterwakilan aspirasi dan kepentingan perempuan. Kaum perempuan Indonesia saat ini merupakan kaum yang cukup "tersiksa dan terlantar" dikarenakan banyak aspirasi dan kepentingannya belum terealisir.Â
Bagi kaum perempuan karier yang berperan ganda belum mendapatkan jaminan kesejahteraan dan ketenangan dalam bekerja, terutama ketika kaum perempuan terbentur dengan problematika alamiahnya seperti dalam kondisi haid, hamil, menyusui yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari negara.Â
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, kaum perempuan mengerjakan pekerjaan kaum laki-laki seperti bertani, menyangkul di sawah, melaut dan ada juga yang menjadi kuli panggul, supir truk dan beberapa pekerjaan berat lainnya.Â
Belum lagi kita sering mendengar kaum perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW di luar negeri yang mengalami penyiksaan yang sangat kejam dan belum mampu mendapatkan perlindungan yang memadai dari negara.Â
Hal itulah yang justru menjadi "sisi gelap" kaum perempuan yang belum terpecahkan sampai saat ini dan perlu mendapatkan perlindungan politik dalam bentuk kebijakan yang melindungi kaum perempuan.
Pada akhirnya gerakan feminisme politik kaum perempuan Indonesia perlu mendapatkan tempat yang layak dalam perpolitikan di Indonesia saat ini. Pemilu 2024 harusnya menjadi momentum kebangkitan kaum perempuan Indonesia.Â
Gerakan ini harus dimulai dengan masing-masing kaum perempuan harus meng-uprade dirinya untuk benar-benar bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Selanjutnya perlu penguatan dalam bentuk konsolidasi berbagai kelompok, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik yang benar-benar memperjuangkan kepentingan kaum perempuan.Â
Peran yang besar dari negara untuk melindungi dalam bentuk kebijakan-kebijakan politik yang mengarusutamakan gender dan mampu melindungi aspirasi dan kepentingan kaum perempuan Indonesia pada umumnya.
Penulis adalah Dosen FISIP Untirta, Pemerhati Masalah Sosial & Pemerintahan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI