Mohon tunggu...
Agus Sugianto
Agus Sugianto Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca/jangan lakukan pada orang lain aoa-apa,yang tidak ingin orang lain lakukan padamu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara

1 September 2022   11:57 Diperbarui: 1 September 2022   12:00 3444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REFLEKSI FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL  KI HADJAR DEWANTARA

Oleh : Agus Sugianto, S.Pd

Peserta Calon Guru Penggerak Angkatan 5 Kabupaten Sumenep

Berbicara tentang Pendidikan di Indonesia,tentu tidak akan lepas dari figur Bapak pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara.Beliaulah sebagai peletak dasar pendidikan nasional yang dulunya sangat sekretarian dirubah menjadi pendidikan yang membumi bagi semua anak negeri tanpa kecuali. Ada beberapa filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang sampai saat ini masih sangat relevan dengan perkembangan jaman,yaitu Filosofi menuntun; filosofi padi dan petani; kodrat zaman dan alam; sistem among; asas tri-kon dan trilogi pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia adalah seorang Pendiri Lembaga Pendidikan Taman Siswa yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya sekolah pada jaman Penjajahan dan pergerakan dulu. Ki Hadjar Dewantara membedakan antara pendidikan dan pengajaran. Menurut beliau,Pendidikan bertujuan untuk membentuk anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Ibarat bibit dan buah. Pendidik adalah petani yang akan merawat bibit, namun petani tidak mungkin mengubah bibit mangga menjadi berbuah anggur. Itulah kodrat alam atau dasar yang harus diperhatikan dalam Pendidikan dan itu diluar kecakapan dan kehendak kaum pendidik. Sedang Pengajaran adalah memberi ilmu atau pengetahuan agar bermanfaat bagi kehidupan lahir dan batin (Dewantara I, 2004).

Memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara sendiri ini merupakan tugas yang teramat berat tapi sangat mulia.Dimana sebagai guru ketika berada di depan,kita  harus bisa memberikan teladan (Ing Ngarso Sung Tulodo).Ketika berada ditengah,kita harus bisa membangun sebuah tekad dan kemauan termasuk memberikan inspirasi dan semangat (Ing Madyo Mangun Karso).Dan ketika berada di belakang kita diharuskan bisa memberikan dorongan serta motivasi kepada para anak didik kita dalam mengembangkan bakat dan kemampuan potensial yang telah Tuhan titipkan pada diri anak didik kita (Tut Wuri Handayani).

Pemikiran dan konsep filosofis pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantoro jika dihubungkan dengan relevansi pendidikan saat ini,sangatlah tepat.Dimana pada jaman sekarang anak didik tidak hanya membutuhkan teori atau kata-kata kosong,namun anak didik saat ini membutuhkan contoh konkrit atau perwujudan nilai-nilai sikap dari seorang guru yang akan diteladaninya.Apalah artinya ribuan kata teori,tapi pada kenyataannya tidak diaplikasikan sendiri oleh seorang pendidik.Tapi ketika pendidik sudah mempraktekkan sebuah nilai sikap atau teladan yang baik.Tanpa diuraikan menggunakan kata demi kata,pasti murid tersebut akan mengikutinya.

Jika dihubungkan antara konsep keteladanan atau Ing Ngarso Sung Tulodo Ki Hadjar Dewantara dengan lingkungan sekolah penulis secara khusus,sangat erat sekali.Ketika di depan anak didik, penulis menyuruh untuk menjaga lingkungan kebersihan sekolah,tapi penulis sendiri malah membuang sampah sembarangan.Ketika penulis menyuruh anak didik untuk berpakaian dan berpenampilan rapi,sementara penulis sendiri baju dan rambut awut-awutan.Maka apa yang penulis perintahkan pada anak didik,sebagian besar akan terabaikan.Tapi ketika penulis memberikan teladan menyapu kelas,membuang sampah pada tempatnya dan berpenampilan rapi dan sopan.Maka perintah penulis tersebut akan dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh anak didik.Jadi intinya anak didik butuh contoh konkrit,bukan sebatas retorika ataupun kata-kata.

Tiga dasar filosofi pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara tersebut sebisa mungkin akan penulis terapkan dalam praktek atau KBM,walaupun sampai saat ini belum bisa penulis terapkan secara maksimal.Misalnya ketika didalam kelas terdapat anak yang memiliki keterbelakangan mental.Maka terkadang bahkan sering penulis memperlakukan anak tersebut sama dengan anak-anak lainnya.Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip dari filosofi Ki Hadjar Dewantara,yang mengharuskan kita bisa dan mampu untuk menggali dan mengarahkan tiap potensi yang dimiliki oleh seorang anak.Belum lagi kemerdekaan belajar bagi diri penulis dalam melaksanakan pembelajaran.Ini belum sepenuhnya penulis bebas dan merdeka dalam melakukannya.Karena masih ada faktor-faktor lain yang menjadi kendala, baik faktor internal maupun eksternal penulis.

Konsep Murid sebelum mengenal Pemikiran Filosofis Ki Hadjar Dewantara

Menurut penulis murid adalah semua anak yang sudah memasuki usia sekolah,datang ke sekolah untuk dididik,sehingga bisa membaca,menulis dan menghitung serta memahami beberapa pengetahuan lainnya.Penulis menganggap bahwa semua murid adalah lembaran kertas kosong yang bisa diisi oleh siapa saja sesuai selera pengisinya,sehingga ketika mengajar penulis cenderung untuk memperlakukan keberadaan anak sama antara yang satu dengan yang lain.

Selain itu penulis beranggapan bahwa porsi keluarga lebih dominan atau lebih kuat dalam mewarnai kehidupan anak,karena keberadaan anak dalam lingkungan keluarga lebih besar porsinya daripada di sekolah.Dengan anggapan tersebut,penulis merasa skeptis untuk bisa merubah karakter atau kebiasaaan yang kurang baik yang dibawa anak dari rumah.Sehingga outputnya,ketika di kelas penulis akan membagi murid  menjadi dua,yaitu : anak baik dan anak nakal.Pada kelompok anak baik,penulis akan memperlakukannya dengan sangat baik,sedangkan pada kelompok yang kedua penulis sangat apatis.Tak ada hari tanpa hukuman atau sanksi pada kelompok murid yang nakal.Karena hanya dengan sanksi,penulis beranggapan bisa memberikan efek jera pada diri anak,sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan nakalnya.Sedangkan untuk bisa merubah menjadi pribadi yang baik,sangatlah tidak mungkin.

Karena penulis beranggapan bahwa porsi keluarga di rumah lebih dominan.Sehingga ketika seorang murid saat berada di sekolah ia baik,maka ia akan terus menjadi baik.Demikian juga sebaliknya.Ketika seorang murid berada di sekolah nakal,maka selamanya ia akan nakal dan tidak akan bisa berubah menjadi baik.

Konsep Pembelajaran sebelum mengenal Pemikiran Filosofis Ki Hadjar Dewantara

Konsep pembelajaran yang dilakukan penulis sebelum mengenal Pemikiran Ki Hadjar Dewantara adalah berpusat pada guru,memaksa dan sanksi.Guru adalah subjek dalam pembelajaran dan murid adalah objeknya.Guru adalah sosok yang serba tahu dan tak boleh dibantah titahnya.Jadi jika ada pendapat yang berbeda dari murid,maka bisa dipastikan pendapat simurid salah dan pendapat guru benar.Ini akan menutup ruang berpikir kritis dari murid,menutup rasa keberanian dan percaya diri dalam mengungkapkan pendapatnya.

Hal kedua adalah selama pembelajaran,yang terjadi bukanlah proses belajar mengajar yang menyenangkan,tetapi lebih pada sebuah pemaksaan konsep dan materi.Mengapa ini bisa terjadi?.Ini tak lebih karena guru dibatasi oleh instrumen pembelajaran yang begitu mengikat dan harus dilaksanakan.Ketuntasan materi dan ketuntasan minimal (KKM) menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran.Keberadaan materi pembelajaran yang dibatasi oleh sekian hari harus selesai,tanpa memperhatikan perbedaan tipe anak,serta faktor lainnya yang menjadi penyebab perbedaan anak dalam menyerap pembelajaran.Sehingga ruang kelas yang seharusnya menjadi ruang untuk menggali setiap potensi anak,malah menjadi sebuah  ruangan kaku yang hanya bisa menjejali anak dengan konsep dan materi yang tak perlu dibantah olehnya.Guru hanya memikirkan segala proses pelaporan administrasi yang harus sesuai dan selesai tepat waktu.Tertibnya administrasi pembelajaran menjadi tolak ukur keberhasilan seorang guru.Sehingga guru lebih asyik berkutat untuk menyelesaikan segala persoalan administrasi,daripada harus berkutat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang menimpa muridnya dalam hal pembelajaran.

Hal yang ketiga adalah konsep sanksi.Dulu saya beranggap bahwa dengan pemberian sanksi/hukuman,semua permasalahan yang menyangkut murid akan selesai.Sanksi yang penulis terapkan bermacam-macam,mulai sanksi menulis pada lembaran kertas,sanksi berdiri di depan kelas atau bentuk sanksi fisik maupun mental lainnya.Tapi ternyata beragam sanksi yang penulis terapkan pada siswa,bukannya malah menyelesaikan masalah.Tapi bahkan sebaliknya.Tak jarang murid yang nakal semakin bertambah nakal.Ia hanya menunjukkan rasa takut ketika berhadapan dengan gurunya,ia diam dan santun ketika guru ada di kelas.Tapi ketika kelas kosong.Ia akan berulah dan berubah kembali seperti sedia kala.Belum lagi ketika sanksi fisik yang diterapkan.Tak jarang memantik para wali murid tidak terima atas perlakuan para gurunya,bahkan ada yang menempuh jalur hukum.Keberadaan fakta ini,menyadarkan penulis bahwa pemberian sanksi berupa apapun,tidak akan menyelesaikan akar permasalahan yang dihadapi.

Pemikiran Filosofis Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan telah merubah pemikiran penulis

Filosofi menuntun; filosofi padi dan petani; kodrat zaman dan alam; sistem among; asas tri-kon dan trilogi pendidikan.Inilah beberapa fiolosofi dari Ki Hadjar Dewantara yang akhirnya menyadarkan penulis,bahwa stigma dan anggapannya selama ini tentang mendidik dan mengajar murid salah besar.

Maksud Menuntun dalam filosofi Ki Hadjar Dewantara,bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak,agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia,maupun anggota masyarakat.Dalam proses menuntun ini,seorang guru tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap anak,dan hendaknya proses menuntun harus dimulai dari diri pendidik sendiri.

Filosofi padi dan Petani. Ki Hadjar Dewantara melakukan pengandaian bahwa pendidik diibaratkan sebagai petani,dan anak didik adalah benih.Setiap benih sudah memiliki kodratnya masing-masing.Apakah ia sebagai jagung,padi,anggur,rumput ataupun benalu.Demikian juga anak didik.Ia juga sudah memiliki kodratnya yang telah Tuhan titipkan padanya.Ia sudah Tuhan titipkan bakat dan potensi yang beraneka warna,dimana tiap pribadi tidaklah sama.Selain memiliki bakat potensi yang tidak sama,Tuhan juga menitipkan rasa yang sama tiap pribadi,yaitu rasa cinta,marah,benci,sayang,haru,gembira dsb.Seorang petani tidak bisa memperlakukan padi,jagung,anggur dan gandum dengan perlakuan yang sama.Tapi seorang petani akan memperlakukan sesuai dengan kodrat alami tanaman tersebut.Demikian juga halnya dengan seorang pendidik.Ia tidak akan memperlakukan hal yang sama,pada semua anak didiknya.Karena tiap anak didik memiliki perbedaan kodrati yang bukan ranah pendidik untuk menyamakannya.Yang bisa dilakukan seorang petani atau pendidik,hanyalah berupaya menjaga dan merawat benih/murid dengan sepenuh hatinya.Menjaga dari gulma atau tanamaman pengganggu lainnya yang bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya.Paling tidak walaupun benih tersebut kurang baik,tapi ketika seorang petani dengan ketulusan hatinya merawat dan menjaganya.Maka benih tersebut akan lebih baik jika dibandingkan dengan tumpukan benih lainnya yang kurang baik.

Kodrat alam dan jaman.Tiap orang ada jamannya,dan tiap jaman ada orangnya.Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan isi dan irama.Artinya bahwa setiap anak sudah membawa sifat atau karakternya masing-masing, jadi sebagai guru kita tidak bisa menghapus sifat dasar tadi, yang bisa dilakukan oleh seorang guru adalah menunjukan dan membimbing mereka agar muncul sifat-sifat baiknya sehingga menutupi/mengaburkan sifat-sifat jeleknya.

kodrat zaman bisa diartikan bahwa kita sebagai guru harus membekali keterampilan kepada siswa sesuai zamannya agar mereka bisa hidup, berkarya dan menyesuaikan diri. Dalam konteks pembelajaran sekarang,kita harus bekali siswa dengan kecakapan Abad 21. Budi pekerti juga harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan pengajaran yang kita lakukan sebagai guru. Guru harus senantiasa memberikan teladan yang baik bagi siswa-siswanya dalam mengembangkan budi pekerti. Kita juga bisa melakukan kegiatan-kegiatan pembiasaan di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti/akhlak mulia kepada anak.

Dalam pembelajaran di kelas hendaknya kita juga harus memperhatikan kodrati anak yang masih suka bermain. Lihatlah ketika anak-anak sedang bermain pasti yang mereka rasakan adalah 'kegembiraan' dan itu membuat suatu kesan yang membekas di hati dan pikirannya. Hendaknya guru juga memasukan unsur permainan dalam pembelajaran agar siswa senang dan tidak mudah bosan. Apalagi menggunakan permainan-permainan tradisional yang ada, selain menyampaikan pembelajaran melalui permainan , kita juga mendidik dan mengajak anak untuk melestarikan kebudayaan.

(https://ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/kesimpulan-dan-refleksi-pemikiran-pemikiran-ki-hajar-dewantara/)

  • Sistem among.Dalam pidato Asas-asas 1922 yang dilontarkan langsung oleh Ki Hajar Dewantara disebutkan bahwa pemakaian metode among dibuat untuk menghindari segala bentuk paksaan dari pendidik ke murid-murid.
  • "Pemakaian metode among, suatu metode yang tidak menghendaki "paksaan-paksaan", melainkan memberi "tuntutan" bagi hidup anak-anak agar dapat berkembang dengan subur dan selamat, baik lahir maupun batinnya," ujar Bapak Taman Siswa ini, yang juga menguraikan empat poin-poi lainnya yang dikenal dengan Asas-asas 1922, termasuk perlu adanya demokratisasi dalam pengajaran agar tidak hanya lapisan atas saja yang terpelajar.
  • Seperti diketahui, jauh sebelum Taman Siswa berdiri,telah berdiri juga beberapa lembaga pendidikan,dimana pada lembaga tersebut hanya untuk mendidik para calon pegawai (Sekolah Kabupaten-1854),kemudian disusul sekolah Boemi Poetra,dimana orientasinya mendidik mereka yang diperbantukan pada usaha perdagangan pemerintahan Belanda.Barulah pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri Taman Siswa yang menghapus orientasi dan tatanan pendidikan sebelumnya. Oleh sebab itu, melalui sistem pengajaran Among ini Ki Hajar Dewantara ingin melawan paradigma pendidikan kolonialisme yang mengutamakan intelektual, materialistis dan individualis. Sebaliknya, di Taman Siswa paradigma menekankan pada pendekatan Kodrat Alam dan Jaman Anak, yakni pendidikan tidak boleh menjauhkan anak dari alam dan keluarganya.

(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mengenal-sistem-among-dalam-konsep-belajar-taman-siswa/)

Azas Trikon.Pertama: Pendidikan harus bersifat Kontinyu artinya pengembangan pendidikan harus dilakukan secara berkesinambungan,terus-menerus dan dengan tata perencanaan yang baik.Pengembangan pendidikan harus dilakukan secara tahap demi tahap,dimana tahap selanjutnya memperbaiki tahap sebelumnya.Kedua: Pendidikan harus bersifat Konvergen artinya pengembangan pendidikan bisa dari segala arah dan dari berbagai sumber baik di dalam negeri maupun dari luar negeri.Jadi pengembangan pendidikan bersifat terbuka.Jadi dengan peralatan yang canggih seperti saat ini,kita bisa mempelajari pengembangan pendidikan dari negara manapun,kemudian yang sesuai dengan citra kepribadian serta kearifan budaya lokal bisa kita ambil,dan yang tidak sesuai bisa kita abaikan.jadi kita bisa memadukan budaya bangsa sendiri dengan kebudayaan asing yang dapat mendorong kita menuju pada generasi yang lebih maju.Ketiga: Pendidikan harus bersifat Konsentris artinya pengembangan pendidikan yang dilakukan harus tetap berdasarkan pada kepribadian bangsa kita sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menuntun tumbuh kembang anak secara maksimal sesuai dengan karakter kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu meskipun Ki Hadjar menganjurkan kita untuk mempelajari kemajuan bangsa lain,tetapi semua itu ditempatkan secara konsentris dimana karakter budaya kita sebagai pusatnya.

Yang terakhir adalah Azas trilogi pendidikan yang sudah tidak asing lagi yaitu : Ing ngarso sung tulodo artinya seorang pendidik hendaklah ia menjadi suri teladan bagi para peserta didiknya.Ing madyo mangun karso artinya seorang pendidik hendaklah ia bisa menjadi motivator dalam membangun inspirasi bagi para peserta didiknya.seorang pendidik bisa menjadi teman bagi para peserta didiknya dalam mewujudkan cita-cita besarnya.Tut wuri handayani artinya seorang pendidik hendaknya bisa mendorong para peserta didiknya untuk bisa mengembangkan bakat dan potensi yang dimlikinya.

Dari beberapa pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan akhirnya merubah pola pikir penulis sebagai pendidik, diantaranya :

Murid bukanlah suatu kertas kosong yang bisa diisi oleh siapa saja.Tapi murid telah punya potensi kodrati alami masing-masing yang berbeda satu sama lain.Murid telah membawa guratan-guratan samar pada kertas kosong tersebut.Tugas penulis sebagai pendidik adalah menuntun (memfasilitasi/membantu) murid untuk menebalkan guratan-guratan samar tersebut,agar murid dapat memperbaiki lakunya/pekertinya untuk menjadi manusia seutuhnya.Adapun cara yang bisa penulis lakukan untuk menebalkan atau memperbaiki laku anak adalah dengan kekuatan konteks diri anak sendiri serta menebalkan dengan konteks sosio-kultural/budaya sekitarnya.Banyak kata-kata bijak,peribahasa bijak,dongeng daerah serta permainan tradisional dari budaya daerah kita sendiri,yang bisa kita angkat untuk menjadi sentral ketika pengaruh budaya luar berdatangan.

Filosofi menuntun selalu disertai dengan sikap memaksa peserta didik.Tapi sekarang saat menuntun,penulis sudah tidak melakukan pemaksaan kepada peserta didik.Penulis mencoba memerdekakan semua peserta didik dalam mengoptimalkan bakat dan potensi dirinya dalam berekspresi,berinovasi,bereksplorasi serta berkolaborasi dengan teman-temannya.

Penulis berpikir bahwa di dalam kelas ia menjadi subyek pembelajaran dan peserta didik menjadi obyek atau pembelajaran yang berpusat pada guru.Tapi sekarang pemikiran tersebut telah penulis tinggalkan.Pelan tapi pasti,penulis mereposisi diri untuk menjadi motivator dan fasilitator di dalam kelas selama proses pembelajaran.Penulis bisa saja beralih fungsi menjadi seorang ayah,seorang guru bahkan diwaktu tertentu penulis menjadi seorang teman bagi peserta didik,dengan kata lain di kelas sekarang penulis menerapkan pembelajaran berpusat pada murid.

Sanksi atau hukuman baik fisik maupun mental sering penulis lakukan.Tapi untuk saat ini sudah tidak lagi.Karena sanksi/hukuman tidak menyelesaikan masalah ataupun memberikan efek jera,bahkan terkadang malah sebaliknya.

Sebisa mungkin apa yang penulis perintah untuk dilakukan oleh peserta didik,terlebih dahulu penulis melakukannya dalam langkah konkrit atau nyata dalam kehidupan sehari-hari.Karena penulis sadar bahwa peserta didik butuh keteladanan bukan sebatas kalimat suruhan atau teori belaka.

Penulis dulu menghamba pada segala bentuk administrasi pembelajaran yang menuntut ketuntasan materi dan ketuntasan minimal.Tapi sekarang penulis berusaha untuk

menyeimbangkan antara keduanya.Karena kedua faktor tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain.

Sangat apatis terhadap keragaman kultur budaya serta permainan tradisonal dulu,tapi sekarang penulis bersinergi dengan guru Mapel menghidupkan kembali permainan tradisional yang sarat dengan filosofi kebersamaan,semangat,kekompakan,ketangkasan serta kecerdasan emosional.Menghidupkan kembali nasehat bijak,peribahasa bijak yang berasal dari petuah para tetua di kampung.Sehingga kultur sosial budaya masyarakat di daerah para peserta didik menjadi pijakan dalam menyaring budaya-budaya luar.

Hal yang akan diterapkan penulis agar kelas mencerminkan filosofi Ki Hadjar Dewantara

Menyusun  serta membuat beberapa kesepakatan kelas dengan peserta didik.Hal ini diharapkan dapat mendidik peserta didik untuk bertanggung jawab atas kesepakatan kelas yang telah dibuat.

Mengaplikasikan filosofi trilogi ing ngarso sung tulodo (suri teladan) dalam langkah nyata sehari-hari baik selama di sekolah maupun di luar sekolah.Sehungga hal ini akan menjadi pemantik bagi peserta didik untuk meniru dan mempraktekkannya juga.

Menghamba pada murid atau pendidikan yang berpihak atau berpusat pada murid.Dengan kata lain mencoba membebaskan diri penulis dari segala ikatan,dengan niat yang suci serta tulus mendekati murid tapi tidak untuk mengambil sesuatu hak anak,tapi mencintai murid semurni-murninya sehingga mencintai dan menyayangi murid seperti mencintai anak sendiri.Menghamba pada murid bukan lantas mengiyakan semua kemauan murid,tapi menghamba pada murid disertai dengan sebuah batasan yang tegas yaitu memberikan kebebasan yang terttuntun pada murid.

Melakukan pembelajaran yang menyenangkan dengan diselingi permainan yang menarik,sehingga anak tidak merasa bosan karena monoton.

Daftar Pustaka:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun