Masa keemasan minyak bumi di Indonesia telah lewat. Jika diibaratkan seorang pesepakbola, umurnya sudah mencapai kepala tiga, sudah bersiap-siap untuk gantung sepatu. Hanya saja, jika bulir-bulir keringat dapat membuat sang pesepakbola bertambah pengalaman dan dapat menjadikannya layak menjadi seorang pelatih, maka minyak bumi tidak. Sekali dia habis, habislah sudah. Pemain baru harus segera ditemukan untuk menggantikan posisinya.
Sekira tiga tahun lalu, tepatnya di tahun 2012, hasil survei yang dirilis PricewaterhouseCoopers (PwC) membuat pemerintah mengernyitkan dahi. Para investor di sektor migas berniat menurunkan belanja investasinya hingga lima tahun ke depan. Yang mengkhawatirkan, sejumlah pelaku usaha bahkan mengaku tidak akan membelanjakan uangnya di Indonesia.
Kenyataan ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi tahun 2008. Meskipun tahun itu Indonesia secara resmi hengkang dari OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) yang artinya bukan lagi menjadi negara pengekspor minyak mentah, namun 90 persen pelaku usaha di sektor minyak masih yakin akan menaikkan belanja modalnya secara signifikan. Survei tahun 2012 yang dilakukan terhadap 36 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia ini mengindikasikan suramnya masa depan investasi migas di tanah air.
Namun secercah harapan akan terus ada. Para responden survei percaya bahwa permintaan minyak dan gas akan terus tumbuh, baik secara global maupun nasional. Mereka berpendapat bahwa masih ada cadangan minyak dan gas yang signifikan untuk ditemukan di Indonesia, khususnya di Indonesia Timur. Artinya, potensi investasi sebenarnya masih cukup menjanjikan. Survei ini dilakukan saat suplai minyak belum membanjiri pasar. Bayangan bahwa harga minyak akan terjun bebas hingga di bawah US$ 50 per barel agaknya belum terlintas saat itu.
Kilas Balik Sejarah Keemasan Minyak Bumi di Indonesia
Seperti yang telah disinggung di awal, Indonesia sempat merasakan manisnya mahligai kejayaan migas. Tahun 1970 – 1990 sering disebut sebagai era bonanza minyak, di mana sektor migas menjadi kontributor utama pemasukan negara hingga mencapai 70 persen. Kini setorannya menyusut drastis hingga tinggal 20 persen saja. Fungsinya kemudian berubah menjadi sekedar “penopang pertumbuhan ekonomi nasional”.
Sejak masa pendudukan Hinda Belanda, minyak bumi sudah dilirik sebagai investasi yang menggiurkan. Sayangnya gejolak politik membuat pelaku usaha gamang mencoba peruntungan. Barulah saat situasi politik cukup stabil, upaya eksplorasi gencar dilakukan. Hasilnya, sejak tahun 1967 hingga 1977, sedikitnya telah dilakukan pengeboran 568 sumur dan ditemukan cadangan minyak sekitar 213 juta barel ditambah cadangan gas bumi sebanyak 766 miliar kaki kubik. Temuan ini tersebar di Indonesia bagian barat, mulai dari pantai utara dan timur Balikpapan, lepas pantai sisi tenggara Pulau Sumatera, dan Laut Jawa.
Kekayaan migas ini kemudian membuat Indonesia mendapat hak untuk bergabung dalam kelompok arisan negara pengekspor minyak bumi atau OPEC sejak tahun 1961. Selama 30 tahun, yaitu dari tahun 1970 sampai tahun 2000, Indonesia mengalami produksi minyak tinggi. Bahkan pada tahun 1972-1983, Indonesia menikmati masa “Oil Boom” akibat lonjakan harga minyak dunia. Harga minyak mentah dunia naik dua kali lipat dari US$ 14 pada 1978 menjadi US$ 35 per barel pada 1981 akibat Revolusi Iran dan Perang Iran-Irak.
Lonjakan harga tersebut menandai berakhirnya masa minyak murah dan membuat Indonesia ketiban rezeki berlimpah. Jika pada tahun 1969-1974 sektor migas hanya berkontribusi sebesar Rp 773,8 miliar atau sekitar 21,6 persen dari total pendapatan negara, maka di tahun 1974-1979 angkanya melonjak drastis. Kontribusi migas menyumbang kekayaan negara hingga Rp 7,9 triliun atau naik 926,9 persen dari periode sebelumnya. Peningkatan ini terus terjadi pada periode-periode berikutnya, seiring kenaikan harga minyak mentah dunia.
Pada periode 1989-1994, penerimaan sektor migas sebenarnya masih mengalami peningkatan menjadi Rp 74 triliun. Hanya saja, kontribusinya terhadap penerimaan negara tinggal 34 persen. Pencapaian ini jauh lebih kecil jika dibandingkan sektor non migas yang mencapai Rp 147,2 triliun. Periode ini sekaligus menandai usainya dominasi emas hitam terhadap pemasukan negara, sekaligus berakhirnya era bonanza minyak bumi di Indonesia.
Mandegnya eksplorasi membuat dominasi minyak bumi semakin merosot. Melewati tahun 2000, industri hulu minyak bumi menghadapi masa suram. Bahkan sejak tahun 2005, Indonesia berubah dari eksportir menjadi negara pengimpor minyak dari negara lain seperti Arab Saudi, Nigeria, Azerbaijan, Brunei, Rusia, hingga Malaysia. Selang tiga tahun kemudian, Indonesia pun keluar dari OPEC.
Kini cadangan minyak bumi yang tersisa tinggal 4 miliar barel, sedangkan sumur-sumur produksi kian uzur dan tak lagi produktif. Investor mulai beralih ke gas bumi yang sumbernya masih cukup berlimpah. Oleh sebab itu, investasi di bidang eksplorasi guna menemukan ladang-ladang baru harus mulai gencar dilakukan. Pencarian bergerak dari kawasan barat menuju timur Indonesia.