Mohon tunggu...
putro agus harnowo
putro agus harnowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan Swasta, sementara berdomisili di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Senjakala Hulu Migas di Indonesia, Menanti Jawara dari Negeri Sendiri

16 Maret 2015   23:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:33 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penguasa berganti, namun peran migas bagi negara masih dinilai strategis. Di masa awal Orde Baru berkuasa,tepatnya pada 20 Agustus 1968, Permina dan Pertamin digabungkan menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina). Ibnu Sutowo ditunjuk menjadi direktur utama Pertaminakarena dinilai sukses memimpin Permina.

Saat itu kewenangan Pertamina amat besar. Tak hanya berperan sebagai regulator, Pertamina juga bertindak sebagai operator pengelolaan ladang-ladang migas.Apalagi dengan disahkannya UU Migas no. 8 tahun 1971, Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan negara yang mengatur dan mengelola industri migas dari hulu hingga hilir. Periode tahun1970-an juga merupakan masa kemasan Pertamina akibat lonjakan harga minyak mentah dunia. Pertamina digadang menjadi sumber utama pengisi pundi-pundi uang negara.

Ironisnya, di tengah kejayaan minyak dunia tersebut, Pertamina justru nyaris bangkrut terlilit hutang sebesar US$ 10,5 miliar. Sebanyak US$ 1,5 miliar di antaranya merupakan utang jangka pendek. Dengan kurs US$1 saat itu adalah Rp 400, jumlah ini terhitung luar biasa besar untuk negara berkembang seperti Indonesia. Krisis ini membuat perekonomian Indonesia di ambang kehancuran. Ibnu Sutowo lantas dicopot dari jabatannya sebagai Dirut dan Presiden Soeharto membentuk tim penyelamat Pertamina.

Saking paniknya, polemik seputar sepak terjang Ibnu Sutowo ini ramai diberitakan media kala itu. Presiden Soeharto bahkan sampai menuliskan satu bab tersendiri mengenai bencana di Pertamina dalam buku otobiografinya, “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana. Besarnya utang Pertamina disebabkan unit bisnis Pertamina di luar minyak yang malah menjerat perusahaan. Apalagi Ibnu Sutowo tak pernah membicarakan sebagian besar kegiatannya dengan pemerintah.

Menteri Pertambangan dan Minyak Bumi tahun 1873-1974, M. Sadli, dalam wawancara dengan Tempointeraktif pada tanggal 28 September 1996 mengatakan, kedekatan Dirut Pertamina dengan Presiden membuat perusahaan sulit dikontrol. Kenyataannya, Ibnu Sutowo tak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana. Kasusnya hanya dinyatakan sebagai 'salah manajemen' atau salah urus.

Kritik lain yang dialamatkan kepada Pertamina adalah kecenderungannya untuk menyerahkan wilayah kerjanya kepada perusahaan asing atau dikenal dengan pola Technical Assistant Contract (TAC) ketimbang mengelola sendiri. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2012 menunjukkan bahwa 74 persen blok migas yang sudah berproduksi digarap oleh asing.

Perusahaan asing ini umumnya memperoleh kontrak pada era UU No.8 tahun 1971 yang memberikan kewenangan ganda kepada Pertamina. Kewenangan sebagai regulator diyakini membuat Pertamina menjadi malas mencari sumber minyak baru dan memilih menyerahkan penggarapan wilayah kerja kepada mitra asing. Hingga tahun 2001, terdapat penandatanganan kontrak di 117 wilayah kerja. Sebanyak 101 di antaranya dilakukan dengan perusahaan multinasional.

Kebangkrutan Pertamina di tengah tingginya harga minyak dunia dan ditemukan banyak sumur baru jelas menjadi tanda tanya. Namun tenggelamnya kasus Ibnu Sutowo juga tak luput dari rasa penasaran publik. Dalam hasil studi tentang Pertamina yang disponssori James A. Baker III Institute for Public Policy dan Japan Petroleum Energy Center, Rice University, disebutkan bahwa setelah tahun 1980, anak-anak Presiden Soeharto dan kroninya terlibat aktif dalam berbagai bisnis Pertamina.

Indikasi penyimpangan ini juga ditemukan dalam hasil audit lembaga auditor internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) tahun 1999. Laporan ini menyebutkan bahwa Pertamina kehilangan miliaran dolar AS dari tahun 1996 sampai 1998 akibat inefisiensi dan korupsi. Disebutkan bahwa pejabat-pejabat Pertamina mendapat US$ 128 juta dari kontrak-kontrak yang dilakukan dengan keluarga Cendana sepanjang 1996—1998. Kerugian paling banyak diperoleh dari proses impor ekspor minyak mentah yang dilakukan perusahaan kroni Soeharto.

Bahkan Jakarta Post terbitan 12 Oktober 1999 menulis, inefisiensi Pertamina terjadi salah satunya akibat kontrak-kontrak tak wajar yang dibuat Pertamina dengan perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Cendana dan kroninya. Laporan tersebut menyulut kegeraman publik dan desakan untuk melakukan reformasi di tubuh Pertamina. Maka tak lama setelah pemerintahan Soeharto lengser, muncul desakan kuat agar sistem pengelolaan Pertamina diperbaiki.

Undang-undang Migas nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi lahir dari keprihatinan tersebut. Salah satu poin penting di dalamnya adalah memangkas kewenangan ganda Pertamina, yaitu sebagai regulator sekaligus operator. Untuk pengaturan dan pengawasan di sektor hulu, peran Pertamina diganti oleh lembaga bentukan pemerintah bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sedangkan untuk sektor hilir, dibentuk Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun