Mohon tunggu...
putro agus harnowo
putro agus harnowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan Swasta, sementara berdomisili di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Senjakala Hulu Migas di Indonesia, Menanti Jawara dari Negeri Sendiri

16 Maret 2015   23:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:33 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan Kontrak-Kontrak Migas yang Membingungkan

Sejarah migas di tanah air tak lepas dari perubahan rezim yang berkuasa, termasuk rezim penguasa sebelum Indonesia merdeka. Pada masa Hindia Belanda, pengelolaan industri hulu migas sangat dipengaruhi oleh ideologi imperialis. Sistem yang diberlakukan adalah sistem konsesi, yaitu minyak dan gas yang ditemukan pada sebidang tanah menjadi hak milik sang pemilik tanah. Negara hanya mendapat royalti atas presentase produksi yang dihasilkan.

Dengan kontrak konsesi, kekayaan migas di Indonesia menjadi milik 18 perusahaan asing asal Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Negara sama sekali tidak memiliki kedaulatan atas kekayaan alam, termasuk kekuasaan untuk mengatur manajemen operasi kegiatan. Namun ketidakberdayaan ini usai saat Presiden Soekarno mengambil langkah penting menasionalisasi asset-aset migas. Sesuai amanat UUD 1945, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Melalui Undang-undang Nomor 44 tahun 1960, pengelolaan migas ditata kembali. Intinya, usaha migas hanya boleh diselenggarakan oleh negara, dan kontrak konsesi diubah menjadi kontrak karya. Kontrak karya menyebutkan Indonesia akan mendapatkan 60 persen keuntungan dari produksi minyak. Sedangkan posisi operator tetap dipegang oleh perusahaan asing kala itu, yaitu Stanvac, Shell, dan Caltex. Perusahaan asing yang telah mengelola migas di Indonesia dipaksa berunding kembali untuk memperbarui kontrak.

Mereka hanya boleh menjadi penggarap dan harus menandatangani kontrak karya dengan salah satu perusahaan negara kala itu, yaitu Permina, Pertamin, atau Permigan. Ketiga perusahaan negara tersebut merupakan perusahaan hasil nasionalisasi dan dibentuk melalui amanat Undang-undang yang sama. PN Pertamin (Perusahaan Tambang Minyak) sebelumnya bernama Permindo (Perusahaan Minyak Indonesia)yang awalnya merupakan patungan antara Shell dan pemerintah Hindia Belanda. Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Nasional) berasal dari PT Minyak Rakyat Indonesia (MRI) yang dikelola secara mandiri oleh para mantan pekerja perusahaan sebelum kemerdekaan. Sedangkan PN Permina merupakan perubahan dari PT Permina.Agar ketiganya dapat bekerjasama dengan baik, dibentuk Badan Pimpinan Umum yang dijabat oleh mantan Presiden Direktur PT Permina, Ibnu Sutowo.

Stanvac kemudian bekerjasama dengan Permina, Shell dengan Permigan, dan Caltex dengan Pertamin. Namun kontrak ini tidak berumur panjang. Stanvac dan Shell menghentikan operasi dan menjual semua aset kepada perusahaan negara akibat gonjang-ganjing mengganyang Malaysia di tahun 1964.Hanya Caltex yang bertahan.

Keberhasilan mengubah kontrak konsesi menjadi kontrak karya belum membuat Ibnu Sutowo puas. Pada tahun 1966, Sutowo memperkenalkan sistem kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Skema ini pertama kali berlaku saat Permina menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO), sekaligus tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Penerapan PSC dilatarbelakangi oleh keinginan agar negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas.

Analogi PSC sering diibaratkan dengan model usaha petani penggarap sawah yang banyak dipraktikkandi nusantara. Pemerintah berperan sebagai pemilik sawah yang memberikan hak pengelolaan lahan kepada petani penggarap. Dalam bisnis hulu migas, petani penggarap adalah perusahaan migas, baik nasional maupun asing. Penggarap menyediakan semua modal dan alat yang nantinya akan diganti oleh pemilik sawah. Namun semua biaya yang dikeluarkan petani penggarap harus disetujui pemilik sawah terlebih dahulu. Penggantian ini dalam dunia migas dikenal dengan istilah cost recovery.

Cost recovery hanya bisa dilakukan jika sawah berhasil panen atau dengan kata lain, ditemukan cadangan yang komersial untuk dikembangkan. Jika gagal, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor. Dalam kontrak ini, kendali manajemen dipegang oleh negara. Kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan dan hak atas minyak dan gas bumi tetap menjadi milik negara. Selain itu, kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatihnya. Kontraktor juga wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari hasil produksi mereka.

Sistem kontrak bagi hasil dinilai amat menguntungkan negara. Dengan pola ini, negara bisa memanfaatkan sumber daya migas dengan mudah karena modal dan teknologi sudah disediakan oleh investor. Negara juga tidak menanggung risiko kegagalan eksplorasi karena tidak diganti dalam skema cost recovery. Bagi sebagian besar perusahaan migas asing, kontrak ini awalnya dinilai tidak masuk akal. Namun setelah ada perusahaan yang mendapat sukses dengan pola tersebut, perusahaan-perusahaan asing lainnya pun menyusul.

Agaknya keuntungan yang dihasilkan dari emas hitam di Indonesia masih menggiurkan bagi investor, melebihi risiko kegagalan eksplorasi. Pada akhir tahun 1971, sebanyak 31 perusahaan minyak telah menandatangani 41 kontrak bagi hasil dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di seluruh nusantara. Yang membanggakan, konsep bagi hasil ini kini banyak dipakai di berbagai negara di Asia dan Afrika.

Kewenangan Ganda yang Membawa Petaka dan Lahirnya SKK Migas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun