BP Migas mempunyai tugas melakukan pengawasan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi, memberikan pertimbangan kepada menteri dalam penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama. BP Migas juga bertanggungjawab dalam melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama, mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapat persetujuan, memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran, hingga menunjuk penjual migas milik negara.
Namun sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan pembatalan pasal-pasal dalam UU Migas. Salah satu pasal yang dibatalkan merupakan payung hukum keberadaan BP Migas. Alasannya, lembaga ini bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinilai inkonstitusional. Keberadaannya dinilai sangat berpotensi menimbulkan inefisiensi dan diduga membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kata lain, BP Migas dibubarkan dan untuk sementara wewenangnya diserahkan kepada Kementerian ESDM.
Keputusan ini jelas membuat investor cemas dengan kepastian hukum di Indonesia. Sebab BP Migas telah menandatangani 353 kontrak dengan potensi kerugian sekitar US$ 70 miliar. Sehari setelah keputusan MK diketok palu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun segera mengambil langkah, berjanji menerbitkan peraturan presiden untuk memberikan kepastian hukum dan arah kebijakan yang jelas di sektor migas.
Setahun kemudian, pada tanggal 13 januari 2013, keluarlah Peraturan Presiden nomor 9 tahun 2013 yang menjadi landasan pembentukan lembaga baru. Jika fungsi BP Migas untuk sementara digantikan oleh Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SK Migas), maka demi memberi kepastian hukum, namanya kemudian ditetapkan menjadi Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Lembaga ini diharapkan menjadi institusi permanen ketika UU Migas yang baru direvisi oleh pemerintah bersama DPR pada akhir tahun 2015 ini.
Migas di Indonesia : Prospek Investasi Berisiko Tinggi
Dengan cadangan minyak terbukti saat ini yang hanya mencapai 4 miliar barel, minyak bumi Indonesia diperkirakan akan habis dalam waktu 10 tahun dengan asumsi produksi rata-rata 800.000 barel per hari. Cadangan ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-28 negara-negara penghasil minyak. Angka ini terpaut sangat jauh di bawah Venezuela dengan cadangan 298,3 miliar barel dan Arab Saudi dengan cadangan 265,9 miliar barel.
Meskipun demikian, peluang menikmati legitnya emas hitam di Indonesia sebenarnya bisa dibilang masih cukup menjanjikan. Di tengah menurunnya cadangan terbukti minyak, potensi sumber daya migas nusantara sebenarnya masih berlimpah. Indonesia disinyalir masih memiliki potensi cadangan baru mencapai 43,7 miliar barel. Namun angka ini harus dibuktikan dengan eksplorasi dan penemuan sumur-sumur minyak baru.
Kegiatan eksplorasi memang sangat bergantung pada iklim investasi. Terlepas dari potensi keuntungan yang mungkin didapatkan, risiko berinvestasi dalam kegiatan eksplorasisangat besar. Dalam kurun waktu 2010- 2011 saja, investor hulu migas di Indonesia terpaksa menanggung kerugian senilai US$ 1,24 miliar atau Rp 11,16 triliun lantaran kegiatan pengeboran sumur minyak tak menghasilkan apa-apa alias dry hole.
BP Migas mencatat, sepanjang tahun 2010 terdapat dry hole di 30 sumur dengan kehilangan investasi mencapai US$ 776 juta. Sedangkan di tahun 2011, jumlah sumur dry hole mencapai 12 sumur dengan total kehilangan investasi mencapai US$ 461 juta. Salah satu contohnya adalah Murphy Oil yang kehilangan US$ 215 juta atau sekitar Rp 2 triliun dalam waktu 6 bulan karena sumur hasil eksplorasi di Blok Semai 2 Papua ternyata kering.
Apalagi ditambah dengan turunnya harga minyak mentah dunia sejak akhir 2014 lalu, investor harus berpikir dua kali sebelum membelanjakan uangnya. Dalam wawancara kepada media pada 9 Maret 2015, Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Naryanto Wagimin, mengungkapkanbahwa tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sudah menyatakan niatnya untuk hengkang dari Indonesia.
Ketiga kontraktor tersebut adalah Marathon Oil Corporation dan Murphy Semai Oil Co. Ltd. asal Amerika Serikat, serta Talisman Energy Inc. asal Kanada. Sama seperti Murphy, Marathon Oil gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas bumi di Blok Pasang Kayu, Sulawesi Selatan. Bagi keduanya, kegagalan dalam menemukan cadangan minyak cukup memukul kondisi keuangan perusahaan. Sedangkan Talisman Energy Inc. beralasan hengkang karena sahamnya dijual ke perusahaan asal Spanyol, Repsol SA.
Dalam industri migas, potensi keuntungan yang begitu besar memang sebanding dengan risiko yang dihadapi. Indonesia memiliki minyak sebesar 87,2 miliar barel dan gas sebesar 594,4 triliun standar cubic feet (TSCF) yang tersebar di 60 cekungan sedimen. Sebanyak 38 cekungan sudah dieksplorasi dan 22 sisanya masih menunggu untuk dijamah. Kebanyakan di antaranya berada di laut dalam kawasan timur Indonesia. Hasil eksplorasi selama 10 tahun juga menemukan sumur dengan cadangan migas lebih banyak daripada sumur kering.