Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[55 Tahun Harian Kompas] Ide Achmad Yani, Diinisiasi Frans Seda dan IJ Kasimo, Nama "Pemberian" Bung Karno, Dibesarkan PK Ojong dan Jakob Oetama

25 Juni 2020   00:24 Diperbarui: 25 Juni 2020   14:24 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompas ibarat "guru", tempat kita menimba ilmu. Dan misi itu sungguh-sungguh dijalankan oleh Harian Kompas selama mengarungi lautan informasi di wilayah NKRI. Tentu misi ini tidak bisa dilepaskan dari peran serta Jakob Oetama yang dulunya pernah berprofesi sebagai seorang "guru" atau pendidik.

Tahun 1952 dan 1953, Jakob menjalani panggilannya sebagai seorang guru di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat. Beliau juga pernah mengajar di Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung Jakarta (1953-1954). Dari situ, Jakob kemudian mengabdikan diri di SMP van Lith di Gunung Sahari, Jakarta pada 1954-1956.

Perjalanan hidup kemudian menghantarkan Jakob untuk menekuni bidang sejarah melalui bangku kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta. Minat ini kemudian membawanya untuk semakin mendalami studi humaniora dan menjadikan minatnya tertambat pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada dan lulus pada 1961.

Ruang lingkup "sejarah" inilah yang kemudian menumbuhkan minat Jakob dalam bidang jurnalistik. Panggilan ini kemudian dipertemukan dengan "perjodohan karir" yang menjadikannya berduet dengan P.K. Ojong dan membidani kelahiran majalah Intisari, Harian Kompas, hingga Kompas Gramedia Grup.

Tema HUT ke-55: "Kawan dalam Perubahan"

Jika kita dengan jeli memperhatikan tagline yang diusul oleh Harian Kompas edisi digital di alamat https://nasional.kompas.com, maka kita akan melihat untaian kalimat berbunyi "Jernih melihat dunia", dengan warna tulisan merah menyala. Sedangkan tulisan kompas.com berwarna merah putih.

Nampaknya hal ini lagi-lagi tidak terlepas dari niat awal yang diusung manakala Harian Kompas akan lahir. Sedangkan edisi cetaknya yang juga tampil online di Kompas.id masih mengusung tagline "Amanat hati nurani rakyat".

Edisi perdana Harian Kompas kala itu terbit 4 halaman dan memuat 20 berita, dengan jumlah oplag sebanyak 4.828 eksemplar. Saat itu harga langganan koran ini 500 perak per bulannya. Sempat mengalami pembredelan pada 20 Januari 1978 tidak menjadikan media ini terpuruk. Pada 6 Februari 1978 Kompas terbit kembali menyapa pembaca setianya.

Pada 1986, Litbang Kompas mulai melakukan aktivitas jajak pendapat melalui telepon. Tidak hanya sampai di situ saja, beberapa penghargaan pun secara terus-menerus dipercayakan berada di atas pundak Harian Kompas. Penghargaan yang memang pantas dianugerahkan sebagai bentuk penghargaan atas kualitas media ini dari hari ke hari.

Sejak Juli 2008, Kompas menghadirkan format e-paper yang dapat diakses lewat jejaring internet. Setahun kemudian, Kompas melesat dengan teknologi QR-code yang memungkinkan menghadirkan konten media melalui ponsel.

Setelah melakukan Quick Count pada  pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2007, Litbang Kompas mulai merambah hitung cepat secara nasional dalam Pilpres 2014. Selain itu, untuk mengikuti perkembangan zaman yang terus berggerak maju, Harian Kompas pun mewujudkan kehadirannya dalam bentuk aplikasi yang bisa diunduh melalui Google Playstore untuk smartphone berbasis Android dan iOS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun