Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[55 Tahun Harian Kompas] Ide Achmad Yani, Diinisiasi Frans Seda dan IJ Kasimo, Nama "Pemberian" Bung Karno, Dibesarkan PK Ojong dan Jakob Oetama

25 Juni 2020   00:24 Diperbarui: 25 Juni 2020   14:24 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banner HUT ke-55 Harian Kompas (Sumber foto diolah dari: kabar@kompas.id)

Usia 55 tahun untuk seorang manusia merupakan usia yang matang, karena dia sudah melewati usia setengah abad atau usia emas. Demikian pula dengan usia 55 tahun yang akan dirayakan oleh Harian Kompas pada 28 Juni 2020 mendatang.

Tinggal menghitung hari saja, usia 55 tahun itu akan dijelang oleh harian surat kabar terbesar di Indonesia ini. Keberadaannya telah menjadi "saksi sejarah" dari waktu ke waktu sejak 1965 silam. Dan bangsa Indonesia tentu tidak akan pernah melupakan tahun 1965, karena pasti akan diidentikkan dengan peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada 30 September 1965.

Tentu bukan sebuah kebetulan, ketika sejarah kelahiran Harian Kompas terjadi di tahun yang sama. Belum genap 100 hari eksistensi koran ini, peristiwa kelabu itu pun hadir dan menyayat perasaan jutaan orang yang tinggal di Indonesia. Pasca kejadian itu, operasi penumpasan PKI pun berlangsung secara bertubi-tubi di seluruh pelosok Indonesia.

Adalah Jakob Oetama yang menjadi inisiator kehadiran Kompas di Tanah Air. Pribadinya yang sederhana, tertuang melalui eksistensinya sebagai seorang pendidik, wartawan, sekaligus pengusaha.

Dua tahun sebelumnya, beliau bersama Petrus Kanisius Ojong membidani kelahiran majalah Intisari yang terbit perdana pada HUT RI ke-18. Usia 18 tahun adalah usia remaja bagi seorang manusia. Dan majalah legendaris "Intisari" - yang masih terbit hingga di zaman digital ini, lahir pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melewati usia sweet seventeen-nya. Usia yang biasanya akan dirayakan secara istimewa penuh makna.

Pemikiran kedua tokoh jusnalistik kebanggaan Indonesia ini meramu majalah Intisari dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dipadukan secara seimbang dengan saripati ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Sebuah ide brilian pada zamannya, bahkan kebrilianan ide tersebut mampu melintasi tahun demi tahun.

Lahir dari "Ide" Achmad Yani, "Nama" Pemberian Bung Karno

Sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, maka di Indonesia muncul tiga arus kekuatan politik besar. Pertama, Dekrit Presiden melahirkan konsolidasi kekuasaan dan politik berpusat di pundak Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Kedua, kehadiran PKI yang melakukan PDKT terus-menerus terhadap Bung Karno, dimana partai beraliran komunis ini secara masif menyebarkan pemikirannya kepada masyarakat luas. Ketiga, adanya ABRI (sekarang TNI dan Polri) yang berusaha meredam kepentingan politik PKI.

Menurut Frans Seda seperti dirilis kompas.com, ide mengenai perlunya diterbitkan koran non-partai muncul atas permintaan Letjen Achmad Yani yang kala itu menjabat sebagai Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat. Selanjutnya Frans Seda bertemu dengan Ketua Umum Partai Katolik yang dijabat oleh Ignatius Joseph Kasimo untuk "mewujudkan" ide tersebut.

Maka demikianlah, P.K. Ojong dan Jakob Oetama pun kemudian didapuk dalam proses merealisasikan gagasan mulia tersebut. Awalnya keduanya sempat menolak ide itu, dengan kata lain, keduanya pernah menolak permintaan untuk menerbitkan Harian Kompas. Alasannya sederhana saja, lingkungan politik, ekonomi, dan infrastruktur yang tersedia memang tidak menunjangnya.

Akan tetapi keduanya kemudian menyanggupi penerbitan Harian Kompas, asalkan ke depannya koran tersebut dapat berdiri di atas semua golongan, bersifat umum, dan dapat menjadi payung bagi kemajemukan Indonesia yang dikenal istimewa di mata dunia. Catatan lain yang disampaikan adalah, koran ini tidak akan dijadikan sebagai "corong partai". Titik!

Setelah gayung bersambut, didirikanlah Yayasan Bentara Rakyat. Nama "Bentara" dipilih karena terinspirasi oleh sebuah majalah lokal yang populer di Flores dengan nama majalah Bentara. Setelah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan, koran ini pun segera saja memulai perjalanannya.

Frans Seda yang pada masa itu menjadi anggota kabinet dalam suatu perjumpaan dengan Bung Karno sempat mendiskusikan "calon nama" bagi koran yang kini menjadi media terbesar di Indonesia. Usul nama yang disampaikan Frans Seda adalah "Bentara Rakyat". Namun Bung Karno merasa lebih afdol jika koran yang akan terbit itu diberi nama "Kompas" yang bermakna petunjuk arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan menjelajahi hutan rimba.

Menjadi yang Terbesar, Namun Tetap Eksis dengan "Ide Awal"

Siapa yang tidak mengenal Harian Kompas? Apalagi sekarang nama Kompas tidak melulu diidentikkan dengan koran atau surat kabar yang terbit setiap hari. Karena jaringan media terbesar di Tanah Air ini kini telah merambah dunia pertelevisian dan dunia digital.

Meski telah berhasil menjadi yang terbesar di Tanah Air, Kompas tetap setia pada ide awalnnya: "Berdiri di atas semua golongan, bersifat umum, dan dapat menjadi payung bagi kemajemukan Indonesia".

Jika dulunya Harian Kompas baru sampai ke tangan pembaca di beberapa wilayah di Indonesia pada sore hari, namun dengan dukungan teknologi canggih dan hadirnya jaringan percetakan Gramedia di mana-mana, maka "kisah lama nan usang" itu pun tinggal kenangan.

Apalagi dengan hadirnya platform digital, Harian Kompas pun menjadi salah satu yang terdepan untuk hadir di dalamnya bagi semua pembaca setianya. Digitalisasi Kompas menjadikan koran ini mudah diakses oleh siapa saja dan di mana saja, tanpa harus menunggu kehadiran versi cetaknya.

Belum lagi siaran Kompas TV yang kini telah menjangkau ruang siar dari Sabang sampai Merauke yang kian memanjakan warga masyarakat yang ingin mengetahui berita terkini sekaligus informasi bermanfaat lainnya hasil "liputan khas" wartawan Kompas di lapangan.

Karena sudah malang melintang di dunia jurnalistik Tanah Air selama setengah abad lebih, maka kepiawaian Kompas beserta "jajaran dan jaringannya" tak perlu diragukan lagi. Berita-berita dan beragam informasi yang disajikan menjadi salah satu pilihan bagi pembaca karena dinilai valid dan kredibel.

Oleh banyak kalangan, Harian Kompas menjadi salah satu pilihan yang amat dinanti dan digemari. Sejak format awalnya berbentuk koran atau surat kabar, banyak pihak meyakini bahwa melalui Harian Kompas kita bisa belajar banyak hal.

Kompas ibarat "guru", tempat kita menimba ilmu. Dan misi itu sungguh-sungguh dijalankan oleh Harian Kompas selama mengarungi lautan informasi di wilayah NKRI. Tentu misi ini tidak bisa dilepaskan dari peran serta Jakob Oetama yang dulunya pernah berprofesi sebagai seorang "guru" atau pendidik.

Tahun 1952 dan 1953, Jakob menjalani panggilannya sebagai seorang guru di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat. Beliau juga pernah mengajar di Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung Jakarta (1953-1954). Dari situ, Jakob kemudian mengabdikan diri di SMP van Lith di Gunung Sahari, Jakarta pada 1954-1956.

Perjalanan hidup kemudian menghantarkan Jakob untuk menekuni bidang sejarah melalui bangku kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta. Minat ini kemudian membawanya untuk semakin mendalami studi humaniora dan menjadikan minatnya tertambat pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada dan lulus pada 1961.

Ruang lingkup "sejarah" inilah yang kemudian menumbuhkan minat Jakob dalam bidang jurnalistik. Panggilan ini kemudian dipertemukan dengan "perjodohan karir" yang menjadikannya berduet dengan P.K. Ojong dan membidani kelahiran majalah Intisari, Harian Kompas, hingga Kompas Gramedia Grup.

Tema HUT ke-55: "Kawan dalam Perubahan"

Jika kita dengan jeli memperhatikan tagline yang diusul oleh Harian Kompas edisi digital di alamat https://nasional.kompas.com, maka kita akan melihat untaian kalimat berbunyi "Jernih melihat dunia", dengan warna tulisan merah menyala. Sedangkan tulisan kompas.com berwarna merah putih.

Nampaknya hal ini lagi-lagi tidak terlepas dari niat awal yang diusung manakala Harian Kompas akan lahir. Sedangkan edisi cetaknya yang juga tampil online di Kompas.id masih mengusung tagline "Amanat hati nurani rakyat".

Edisi perdana Harian Kompas kala itu terbit 4 halaman dan memuat 20 berita, dengan jumlah oplag sebanyak 4.828 eksemplar. Saat itu harga langganan koran ini 500 perak per bulannya. Sempat mengalami pembredelan pada 20 Januari 1978 tidak menjadikan media ini terpuruk. Pada 6 Februari 1978 Kompas terbit kembali menyapa pembaca setianya.

Pada 1986, Litbang Kompas mulai melakukan aktivitas jajak pendapat melalui telepon. Tidak hanya sampai di situ saja, beberapa penghargaan pun secara terus-menerus dipercayakan berada di atas pundak Harian Kompas. Penghargaan yang memang pantas dianugerahkan sebagai bentuk penghargaan atas kualitas media ini dari hari ke hari.

Sejak Juli 2008, Kompas menghadirkan format e-paper yang dapat diakses lewat jejaring internet. Setahun kemudian, Kompas melesat dengan teknologi QR-code yang memungkinkan menghadirkan konten media melalui ponsel.

Setelah melakukan Quick Count pada  pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2007, Litbang Kompas mulai merambah hitung cepat secara nasional dalam Pilpres 2014. Selain itu, untuk mengikuti perkembangan zaman yang terus berggerak maju, Harian Kompas pun mewujudkan kehadirannya dalam bentuk aplikasi yang bisa diunduh melalui Google Playstore untuk smartphone berbasis Android dan iOS.

Kiprah dan perjuangan Kompas sejak pertama kehadirannya hingga saat ini dan nanti tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Pun ungkapan tema yang diusung pada HUT ke-55 Kompas "Kawan dalam Perubahan" tentu tak berlebihan adanya. Apalagi di era media sosial saat ini, Kompas pun ikut ambil bagian dalam hiruk pikuknya anak zaman generasi milenial sekaligus menjadi bagian dari "gaya hidup" kekinian.

Perjuangan secara berkesinambungan dari dahulu, sekarang, hingga nanti, sungguh telah mampu menyiratkan tema tersebut. Dan sebagai pamungkas kata, kehadiran Kompasiana.com yang menjadi anggota "keluarga besar" Kompas Gramedia Grup ini pun kiranya dapat seiring sejalan dengan Harian Kompas yang menjadi "suluh" awalnya. Semoga!

"Selamat merayakan HUT ke-55 untuk Harian Kompas".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun