Jika Anda pernah membaca secara langsung pidato Bung Karno yang mengawali lahirnya "Pantja Sila", pasti akan terkesima dengan buah pemikiran proklamator kebanggaan kita yang satu ini.
Uraian kalimat-kalimat beliau cerdas, dengan bahasa pidato yang akan menggelorakan jiwa dan semangat nasionalisme di dada kita masing-masing. Dijamin!
Tidak dapat disangkal bahwa Bung Karno adalah salah satu orang yang memiliki kemampuan berpidato yang ulung! Kata demi kata yang disusun begitu berisi dan bermakna, menyiratkan wawasan kebangsaannya yang luas dan mendalam.
Sebagai anak-anak bangsa ini, sudah menjadi kewajiban kita semua untuk mendalami ajaran-ajaran Bung Karno kembali. Mendalaminya bukan sekedar dengan membaca halaman demi halaman terhadap berbagai buku hasil "buah penanya" selama masa sebelum maupun pasca kemerdekaan.Â
Namun mendalaminya dalam permenungan yang hikmat, sekaligus untuk menyelami "romantika perjalanan" yang sudah dilalui sebuah kapal besar yang kini dikenal dengan nama masyur "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ini."
Zwaarwichtig dan Weltanschauung
Ketika berbicara tentang kemerdekaan suatu bangsa, Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang bertajuk "Lahirnya Pantja Sila", dalam beberapa kesempatan menyampaikan pernyataannya tentang "Indonesia merdeka" kepada seluruh peserta pertemuan yang diselenggarakan oleh Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI).
Kala itu Bung Karno pernah berujar demikian, "Djikalau umpamanja Balatentara Dai Nippon sekarang menjerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: 'mangke rumiyin', tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?"
Para hadiri secara kompak berseru dan menjawab: "Tidak! Tidak!" Ungkapan yang menyiratkan bahwa kerinduan untuk mengalami atmosfir "Indonesia merdeka", menjadi kerinduan semua anak bangsa yang tidak dapat ditunda lagi untuk waktu yang terlampau lama.
Dalam pemaparannya, Bung Karno dengan lugas mengkritik sebagian tokoh pada masa itu yang terlalu "zwaarwichtig" (gentar) karena mempermasalahan segala persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu secara njelimet (mendetail sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya) untuk tujuan kemerdekaan Indonesia.
Di salah satu bagian lain pidatonya Bung Karno berucap, "Djanganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menjelesaikan lebih dulu 1001 soal jang bukan-bukan! Sekali lagi saja bertanja: mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?" Semua hadirin secara serempak berkata: "Mau!"
Untuk menjelaskan lebih lanjut gagasannya, Bung Karno mengulas isi dan makna kemerdekaan yang sudah dialami oleh beberapa negara di dunia, diantaranya: Jerman, Arab Saudi, Iran, Tiongkok, Jepang, Amerika, Inggris, Rusia, hingga Mesir.
Para pendiri masing-masing negara di atas mempunyai pandangan masing-masing tentang kemerdekaan bagi tanah air yang diperjuangkannya. Mereka adalah Lenin, Ibn Saud, Hitler, Sun Yat Sen, dan Gandhi.
Dengan sangat runut Bung Karno menjelaskan berbagai bentuk negara yang ada di dunia, sekaligus beragam aliran dan paham politik yang dianutnya. Semua pemaparan tersebut hendak mengajak hadirin  untuk memaknai secara benar mengapa Weltanschauung (dasar negara) itu sangat mendesak dan amat diperlukan sebelum Indonesia merdeka.
Menurut pendapat Bung Karno, syarat kemerdekaan Indonesia bisa diraih bila kita memiliki bumi, rakyat, mempunyai pemerintahan, dan diakui oleh salah satu negara yang yang telah "lebih dahulu" merdeka. Orang-orang di Indonesia tidak perlu mempermasalahkan, apakah semua rakyat Indonesia sudah bisa membaca atau tidak, apakah perekonomian sudah maju atau belum, apakah rakyatnya sudah pintar atau belum.
Saat menyampaikan pidatonya, Bung Karno dan para peserta pertemuan sidang telah berada di hari ketiga. Dengan rinci Bung Karno membawa ingatan semua hadirin untuk kembali menyelami pokok-pokok pemikiran yang sudah disampaikan sebelumnya oleh para tokoh yang hadir.
Misalnya tentang perkataan Dr. Soekiman dan Ki Bagoes Hadikoesoemo yang mengajak semua peserta agar mencari persetujuan bersama tentang "dasar negara" Indonesia. Dalam konsep Indonesia yang dikemukakan Bung Karno, beliau menekankan bahwa kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan "semua untuk semua" dan bukan kemerdekaan untuk seseorang, kelompok, atau golongan tertentu saja.
Sebagai bahan kajian bersama, Bung Karno kembali mengumandangkan makna "merdeka" seperti yang pernah beliau tuliskan dalam risalah bertahun 1933 dengan judul "Mentjapai Indonesia Merdeka". Bung Karno menyebutkan, "Bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu djembatan, satu djembatan emas. Saja katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnja djembatan itulah kita sempurnakan kita punja masjarakat."
Bung Karno berkeyakinan, bilamana sebelum merdeka kita "terlampau" banyak mengemukakan pelbagai alasan di dalamnya, maka belum tentu dua puluh tahun lagi Indonesia akan merdeka. Bahkan Bung Karno dengan lantang berucap, jika untuk keperluan Indonesia merdeka harus didahului dengan segala persiapan yang serba njelimet, maka kita semua tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai di lubang kubur!
Menyusuri Makna Sila-sila Pantja Sila
Dalam pidatonya yang panjang tersebut, Bung Karno pun mengupas secara gamblang makna dari masing-masing sila yang diusulkannya kepada semua peserta sidang. Sila pertama Pantja Sila berbunyi "Kebangsaan Indonesia".
Berkenaan dengan makna kebangsaan atau tanah air, Bung Karno secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang bulat. Sebagai tanah air, Indonesia bukan hanya Jawa saja, bukan Sumatera saja, bukan Kalimantan Saja, bukan Sulawesi saja, bukan Ambon saja, atau Maluku saja. Bung Karno berujar, "Segenap kepulauan jang ditundjuk oleh Allah S.W.T mendjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!"
Untuk lebih mendekatkan pemahaman para peserta sidang, Bung Karno memberikan contoh-contoh nyata yang sesuai dengan konsep nationale staat (negara kesatuan) yang digagasnya.
Menurut Bung Karno, di tanah air kita pernah ada dua kerajaan yang bisa disebut telah menjalankan konsep tersebut karena wilayah kekuasaannya yang begitu luas dan meliputi hampir seluruh kepulauan Nusantara di masa sekarang ini; bahkan wilayahnya juga meliputi Semenjung Malaka dan daerah sekitarnya. Dua kerajaan dimaksud adalah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
Sedangkan sila kedua yang diusulkan Bung Karno adalah "Internasionalisme atau peri kemanusiaan". Dalam penjelasannya mengenai sila ini, Bung Karno mengungkapkan tentang internasionalisme yang tidak dapat hidup subur jikalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Pun sebaliknya, nasionalisme tidak dapat hidup subur, bilamana tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.
Dengan kata lain, sila ini hendak mengajak kita untuk "bergandengan tangan" satu sama lain. Jika Indonesia adalah sebuah negara merdeka, maka hendaknya pula Indonesia menjalin kerjasama dengan negara-negara lainnya di seantero dunia.
Sila ketiga adalah, "Mufakat, - atau demokrasi". Tentang sila ketiga ini, Bung Karno mengatakan bahwa permusyawaratan perwakilan adalah syarat yang mutlak bagi kuatnya negara Indonesia. Segala hal yang dipandang belum memuaskan, dapat dibicarakan dalam permusyawaratan.Â
Di sinilah peran rakyat yang nantinya dapat mengirimkan wakil-wakilnya di Badan Perwakilan Rakyat; dimana keberadaannya akan sangat dinantikan untuk membangun Indonesia merdeka.
Kemudian sila keempat berbunyi, "Kesejahteraan sosial". Melalui sila ini Bung Karno mempunyai visi bahwa setelah Indonesia merdeka, tidak ada lagi kemiskinan di negeri ini. Dengan kata lain, Bung Karno mempunyai impian indah di suatu hari nanti semua rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera, memiliki cukup makanan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, dan merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi.
Dan sila terakhir, "Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa" adalah sila yang meliputi keempat sila lainnya. Melalui sila ini, Bung Karno mengajak semua rakyat Indonesia agar menjadi insan yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Berkaitan dengan sila kelima tersebut, Bung Karno menekankan bahwa kehidupan beragama di Indonesia seyogianya dijalankan dalam suasana hormat menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan yang ada. Dengan keberadaan sila kelima ini, segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya dalam keharmonisan yang tercipta.
Demikianlah kelima sila yang diusulkan Bung Karno dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada masa itu. Kelima sila tersebut kemudian diberi nama Pantja Sila. Pantja bermakna lima, dan sila berarti azas atau dasar. "Di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi." Ucap Bung Karno disambut tepuk tangan riuh semua hadirin.
Kepada semua peserta pertemuan Bung Karno juga mengingatkan agar setelah Indonesia merdeka kita tidak menjadi terlena begitu saja. "Di dalam Indonesia Merdeka itu perdjoangan kita harus berdjalan terus, hanja lain sifatnja dengan perdjoangan sekarang, lain tjoraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa jang bersatu-padu, berdjoang terus menjelenggarakan apa jang kita tjita-tjitakan di dalan Pantja Sila."
Memang susunan sila-sila Pancasila yang kita kenal saat ini agak berbeda dengan susunan yang dicetuskan Bung Karno dalam pidatonya kala itu. Namun jika kita perbandingkan satu sama lain, maka dasar-dasar makna yang terkandung pada sila-sila Pancasila saat ini, sangat dijiwai oleh isi pidato Bung Karno di masa lalu.
Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2020!
Saya Indonesia, saya Pancasila!Â
Catatan :
Ejaan pada kutipan pidato Bung Karno tetap dipertahankan penulisannya sesuai dengan ejaan aslinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H