“Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, harga-harga barang masih relatif stabil, stok barang di pasaran masih terjaga, bahkan ada kemudahan dan keringanan cicilan untuk orang yang sedang punya kredit di bank”, lanjut Bejo.
“Coba bayangkan Met, bukannya tidak mungkin terjadi jika pemerintah bersama Bank Indonesia dan OJK salah dalam mengelola kebijakan moneter di saat pandemi covid ini, justru terjadi hal-hal yang lebih parah”, sambung Bejo.
“Maksudmu ‘piye’ Jo?”, tanya Slamet.
“Lha iya, kalau ini salah penanganan, maka jangan bayangkan harga beras sekilo masih Rp10,000, bisa-bisa tembus sampai harga Rp20,000, bahkan tidak menutup kemungkinan malah tidak ada stok beras sama sekali”.
“Nah kondisi kita sekarang ini, harga beras ya masih Rp10,000, stok sembako di warung-warung juga masih ada”.
“Efeknya ngeri Met, kalau krisis ekonomi terjadi, maka potensi untuk munculnya krisis sosial pun meningkat, bisa bunuh-bunuhan, bakar-bakaran, kekacauan, atau kerusuhan. Jika krisis sosial sampai terjadi, maka krisis politik sudah otomatis akan berpotensi terjadi pula. Amit-amit deh, jangan sampai terjadi begitu”
“Aku yakin bahwa kamu dan banyak orang lainnya seringkali tidak menyadari. Contoh-contoh positif yang aku katakan tadi bisa terwujud sebagai bukti bahwa kebijakan makroprudensial dari Bank Indonesia di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan berjalan cukup baik”, tutup Bejo.
“Waduh bahasamu ketinggian Jo!”
“Aku ini cuman tukang ojek Jo!”
“Makroprudensial… Stabilitas... Sistem Keuangan…”
“hubungannya sama aku itu apa?”
“Bejooo… Bejooo!”, timpal Slamet.
“Met, kita sebagai salah satu aktor utama dari perekonomian setidaknya perlu mengetahui sedikit banyak tentang peran dari Bank Indonesia sebagai penjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan baik perbankan maupun sistem pembayaran. Tapi menurutku yang paling penting itu adalah bagaimana kita sendiri harus cerdas berperilaku di dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini”, balas Bejo.