Mohon tunggu...
Agung Yoga Asmoro
Agung Yoga Asmoro Mohon Tunggu... Dosen - Conquer yourself rather than the world

Aku tidak peduli diberi kesusahan atau kesenangan, karena aku tidak tahu mana yang lebih baik dari keduanya, agar aku dapat lebih bertakwa kepada Allah

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Makroprudensial Warung Kopi

29 Juni 2020   04:38 Diperbarui: 29 Juni 2020   04:48 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. Figo Kurniawan

“Ajuuuur, duitku enteeeek!”. (Hancur, duitku habis – Bahasa Jawa)

Itu ungkapan yang dilontarkan Slamet saat secara tidak sengaja bertemu Bejo di depan warung kopi ujung gang yang tutup karena pandemi covid-19.

“Loh, bentar dulu Met, kamu ini tidak ada ujung pangkal, awal akhir, kok tiba-tiba ngomong begitu?”, timpal Bejo.

“Sudah sini, parkirkan dulu motormu, duduk di situ, coba ceritakan apa permasalahannya”, ujar Bejo kepada Slamet sambil menunjuk bangku panjang di depan warung yang tutup itu.

Slamet pun lalu duduk dan mulai menceritakan segala keluh kesahnya sehubungan dengan pandemi yang kini sudah memasuki bulan ke-5. Betapa sulitnya dia mencukupi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari, biaya sekolah anak yang tidak ada potongan sementara beban biaya pulsa justru bertambah, istrinya yang mendadak jadi doyan berbelanja online,  dan bagaimana dia sudah merelakan gelang emas pemberian orangtuanya dulu untuk digadaikan di pegadaian samping pasar.

Sehari-harinya Slamet adalah seorang pengendara ojek online. Biasanya pada siang hari dia sudah mangkal di dekat rumah makan cepat saji untuk menunggu orderan. Hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal karena agak kurang enak badan dan pula cuaca saat itu memang amat panas.

Selama sesi curhat Slamet tadi, Bejo hanya manggut-manggut, dan sesekali menanggapi ringan untuk menunjukkan empati dan kepedulian sebagai sesama kawan lama.

Bejo sendiri adalah seorang pemandu wisata freelance. Biasanya dia bekerjasama dan bermitra dengan beberapa biro perjalanan wisata di kota Surabaya, mengantar turis keliling ke obyek-obyek wisata di Jawa Timur.

Namun, sudah semenjak 5 bulan ini dia tidak ada order. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, saat ini dia berjualan masker hasil karya istrinya, untuk kemudian dia jual dengan mangkal di depan warung kopi yang sedang tutup ini.

“Kamu itu harus bersyukur Met”, ujar Bejo kepada Slamet yang sepertinya sudah kehabisan kata-kata.

“Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, harga-harga barang masih relatif stabil, stok barang di pasaran masih terjaga, bahkan ada kemudahan dan keringanan cicilan untuk orang yang sedang punya kredit di bank”, lanjut Bejo.

“Coba bayangkan Met, bukannya tidak mungkin terjadi jika pemerintah bersama Bank Indonesia dan OJK salah dalam mengelola kebijakan moneter di saat pandemi covid ini, justru terjadi hal-hal yang lebih parah”, sambung Bejo.

“Maksudmu ‘piye’ Jo?”, tanya Slamet.

“Lha iya, kalau ini salah penanganan, maka jangan bayangkan harga beras sekilo masih Rp10,000, bisa-bisa tembus sampai harga Rp20,000, bahkan tidak menutup kemungkinan malah tidak ada stok beras sama sekali”.

“Nah kondisi kita sekarang ini, harga beras ya masih Rp10,000, stok sembako di warung-warung juga masih ada”.

“Efeknya ngeri Met, kalau krisis ekonomi terjadi, maka potensi untuk munculnya krisis sosial pun meningkat, bisa bunuh-bunuhan, bakar-bakaran, kekacauan, atau kerusuhan. Jika krisis sosial sampai terjadi, maka krisis politik sudah otomatis akan berpotensi terjadi pula. Amit-amit deh, jangan sampai terjadi begitu”

“Aku yakin bahwa kamu dan banyak orang lainnya seringkali tidak menyadari. Contoh-contoh positif yang aku katakan tadi bisa terwujud sebagai bukti bahwa kebijakan makroprudensial dari Bank Indonesia di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan berjalan cukup baik”, tutup Bejo.

“Waduh bahasamu ketinggian Jo!”
“Aku ini cuman tukang ojek Jo!”

“Makroprudensial… Stabilitas... Sistem Keuangan…”
“hubungannya sama aku itu apa?”

“Bejooo… Bejooo!”, timpal Slamet.

“Met, kita sebagai salah satu aktor utama dari perekonomian setidaknya perlu mengetahui sedikit banyak tentang peran dari Bank Indonesia sebagai penjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan baik perbankan maupun sistem pembayaran. Tapi menurutku yang paling penting itu adalah bagaimana kita sendiri harus cerdas berperilaku di dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini”, balas Bejo.

“Iya… iya… tapi aku tetap tidak paham dengan berbagai istilahmu itu”.

“Percuma saja, orang seperti aku ini dan aku yakin jutaan orang lainnya di Indonesia ini tidak akan mengerti dengan istilah dan kata seperti makroprudensial, stabilitas, sistem keuangan, atau yang semacam itu”, Slamet mencoba berdalih memberikan penjelasan logis dengan mengingatkan Bejo akan realita masyarakat Indonesia.

“Gini lho Met, tidak usah dibuat rumit. Sini satu-satu aku coba terangkan”, Bejo terlihat ingin benar-benar membantu Slamet paham akan istilah-istilah yang dia kemukakan tadi.

“Makro itu besar, prudensial itu bijaksana. Jadi makroprudensial itu kebijaksanaan yang cakupannya luas. Paham to? Nah, Bank Indonesia itu kebijakannya ya harus bijaksana dan luas. Artinya jangan sampai tidak memikirkan kondisi rakyat kecil seperti kita ini. Jika dalam situasi ‘seret’ begini misalnya, mereka tidak pandang bulu, anggap tetap saja tidak ada toleransi terhadap para penghutang seperti kita-kita ini”.

“Itu ya tidak bijaksana namanya”.

“Nyatanya, sekarang ini cicilan kartu kreditku diberikan kompensasi untuk boleh membayar dengan jumlah 5% dari jumlah total hutang. Kalau dulu sebelum kondisi ini kan minimal 10%. Selain itu, bahkan kini batas maksimum suku bunga yang sebelumnya 2,5 persen per bulan menjadi 2 persen per bulan. Nah ini juga salah satu contoh bukti kerja Bank Indonesia yang bisa dirasakan sama orang-orang seperti kita. Ini jelas-jelas amat membantuku lho!”, Bejo menutup penjelasannya sambil menyeruput kopi hitam dari cangkirnya.

“Lho Jo, emang sejak kapan Bank Indonesia itu menerbitkan kartu kredit?”, tanya Slamet dengan lugunya.

“Gini lho Met, kebijakan ini adalah kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia lah yang “memaksa” Bank-Bank penerbit kartu kredit untuk mematuhi ketentuan kebijakan ini. Kan memang ini salah satu peran Bank Indonesia sebagai pengatur dan pengawas perbankan di Indonesia”.

“Pendekatan yang digunakan dalam penerapan kebijakan makroprudensial ini bersifat top down sehingga mencakup seluruh elemen sistem keuangan, termasuk urusan kartu kredit ini”.

“Paham sekarang ‘kowe’ Met?”, tanya Bejo sambil memverifikasi apakah Slamet sudah memahami penjelasannya dan masih menyimak perkataannya.

Lha selanjutnya, kalo arti stabilitas ya gampang to. Stabil itu tidak goyang. Seperti kamu nyetir motor, ya harus stabil. Kalau tidak stabil pasti motormu ‘nyungsep’ dan akhirnya terluka”.

“Sistem keuangan ya sama saja, harus stabil. Kalau tidak, pasti akan jatuh. Jika sampai jatuh, maka terjadi seperti yang tadi sudah aku omongin ke kamu, krisis sosial, krisis politik, sampai-sampai bisa saja terjadi krisis negara”.

“Sekarang jelas kan Met, bahwa memang kita harus bersyukur. Dalam kondisi sekarang ini Bank Indonesia  terbukti mampu bekerja dengan cerdas. Ini karena pilar utama mereka adalah menetapkan dan menjalankan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia”.

“Tapi ya itu tadi Met, semua itu bisa berjalan dengan optimal jika tercipta kolaborasi yang apik dari semua pihak, baik itu pemerintah, pelaku pasar, pihak otoritas hingga kita sendiri, ya kamu, dan aku sendiri termasuk di dalamnya.”

“Maka dari itu, kita ini harus cerdas berperilaku. Kamu harus tahu Met, berapa rata-rata penghasilanmu per bulannya. Dengan kamu mengetahui rata-rata penghasilanmu, maka kamu bisa mengatur jumlah pengeluaranmu. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Tidak ‘lebay’ kalau belanja”.

“Selain itu, kamu juga sudah harus mulai mengurangi, atau jika perlu menghindari beli barang-barang konsumtif yang sebenarnya tidak terlalu kamu butuhkan. Hanya karena kamu menuruti suasana hatimu saja. Kalau bahasa kerennya sih, jangan jadi “impulsif buyer”. Coba kamu kasih tahu juga istrimu tentang hal ini”, lanjut Bejo.

“Nah, tips lain mungkin yang bisa aku bagikan ke kamu, coba kamu mulai cari cara untuk mendapatkan sumber penghasilan tambahan. Aku perhatikan masakan istrimu itu enak. Kenapa tidak coba kamu tawarkan ke keluarga Pak Minto atau Pak Sabur. Setahuku mereka berdua suami-istri semua bekerja, dan anak-anaknya selalu beli makan via ojek online saat siang hari. Kamu coba tawarkan saja jasa katering makan siang ke mereka. Aku yakin mereka pasti akan menyambut baik usulanmu”, Bejo melanjutkan pendapatnya tentang bagaimana harus cerdas berperilaku di saat situasi seperti sekarang ini.

“Lalu apa lagi Jo?”, tanya Slamet dengan mimik serius.

“Yang terakhir, mungkin aku bisa kasih saran untuk mulai belajar berinvestasi Met.”

“Sini lihat hapeku, lha ini ada aplikasi investasi, aku sudah mulai coba-coba belajar berinvestasi melalui platform digital di hape ini. Lumayan lho Met, sebulan aku bisa dapat keuntungan sampai belasan persen. Kalau total setahun, berarti sudah dua kali lipat dari jumlah nilai yang aku investasikan”, tutup Bejo.

Slamet terlihat sumringah dan menyetujui semua saran yang disampaikan oleh Bejo.

"Jo, terima kasih banget lho. Aku sekarang jadi lebih paham tentang peran Bank Indonesia dan peran kita sendiri sebagai salah satu aktor utama di dalam turut serta menjaga stabilitas sistem keuangan negara kita", ujar Slamet kepada Bejo.

"Berarti, jelek-jelek begini, aku ini bisa dianggap sebagai pahlawan bagi Indonesia yo Jo?!", lanjut Slamet.

"Kalau begitu, aku besok pinjem duitmu ya Jo. Buat bayar cicilan sepeda motorku!", tutup Slamet sambil menyalakan sepeda motornya dan mulai ngeloyor meninggalkan Bejo sendirian.

Jiaaampuuut...!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun