6,16
5,83
6,18
5,80
5,54
4,74
Dari skor tersebut dapat dilihat bahwa mutu governance di Indonesia masih jauh dari harapan, prinsip fairness/keadilan mendapat skor terendah terutama disebabkan karena kebijakan anggaran yang tidak berpihak kepada masyarakat, partisipasi di birokrasi juga mendapatkan skor yang buruk (hanya 3,96), selain di fairness/keadilan, pemerintah juga menyumbang point terendah di prinsip akuntabilitas dan transparansi. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi Indonesia, terutama bagi propinsi-propinsi dan kabupaten/kota untuk memperbaiki kualitas governance mereka.
Berdasarkan uji validitas yang dilakukan terhadap alat-alat ukur besar lainnya, seperti Human Development Index (HDI), Tingkat Kemiskinan, serta indikator-indikator ekonomi seperti pendapatan per kapita. Hasilnya membuktikan bahwa daerah yang memiliki kinerja tata kelola pemerintahan yang lebih baik cenderung memiliki HDI lebih tinggi dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Ini menjelaskan pentingnya membangun kinerja tata kelola pemerintahan karena berbanding lurus dengan kualitas hidup manusia ditempat tersebut.
TANTANGAN LAIN DALAM IMPLEMENTASI GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
Selain tantangan pada tahap implementasi terhadap target-target pada goal 10 diatas, Indonesia secara spesifik juga menghadapi tantangan-tantangan yang mungkin tidak dihadapi oleh negara-negara lain. Hal ini sangat dimungkinkan karena aspek kesejarahan, sistem politik, dan sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mengenali problem good governance di masing-masing negara akan sangat membantu pencapaian dan penjabaran dari Goal 10 ini. Ini adalah beberapa problem dan tantangan implementasi good governance di Indonesia:
1.Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Substansial
Ketika para pendiri republik ini memilih Demokrasi Pancasila sebagai konsensus nasional mereka sadar bahwa hanya sistem demokrasi yang saat ini bisa digunakan sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat. Sehingga sudah seharusnya setiap proses demokrasi prosedural akan menghasilkan kesejahteraan sebagai demokrasi yang substansial. Namun saat ini kita terjebak pada pemenuhan demokrasi prosedural sementara demokrasi substansial tidak terpenuhi bahkan terabaikan. Kita bisa saksikan bahwa terselanggarakannya pemilu secara langsung ternyata tidak serta merta menghasilkan wakil rakyat yang mampu memenuhi harapan masyarakat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang populis.
Di beberapa daerah, bahkan terjadi trade-off antara pemenuhan terhadap demokrasi atau perdamaian. Dua hal yang seharusnya menjadi prasayarat bagi kesejahteraan rakyat tapi harus dikorbankan salah satunya. Sebagai contoh adalah Aceh, dimana pemilu legislative dan eksekutif di Aceh syarat dengan terror dan intimidasi dari kelompok tertentu bahwa jika partai atau calon mereka tidak menang maka Aceh akan kembali bergejolak.
2.Partai Politik Gagal sebagai Pilar Demokrasi
Partai politik sebagai pilar demokrasi ternyata tidak mampu menjalankan fungsi pendidikan demokrasi dengan baik. Dalam hajatan pemilu, partai politik bahkan telah mengubah makna demokrasi menjadi sangat transaksional melalui money politics. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak juga telah berkontribusi membuat pemilu semakin mahal sehingga segala macam cara dilakukan partai politik untuk dapat mengumpulkan sumber finansial untuk pembiayaan partai, kampanye, dan pemilu.
Saat ini output dari Pemilu yang disebut sebagai proxy dari Demokrasi ternyata didominasi oleh elite-elite baru yang tidak representatif. Ujung-ujungnya, suara masyarakat tidak terwakili dalam kebijakan baik di eksekutif maupun legislative. Hal ini menunjukkan adanya missing-link antara demokrasi sebagai sebuah sistem, partai politik dan pemilu sebagai alatnya, dan kesejahteraan masyarakat sebagai impactnya.
3.Masyarakat yang Pasif
Good governance bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggungjawab birokrasi, masyarakat sipil, dan juga swasta. Pemerintah yang tidak terbuka dan akuntabel memang menjadi masalah bagi terwujudnya good governance, namun hal ini diperparah dengan sikap masyarakat yang pasif dan tidak mau turut berpartisipasi aktif. Sebagai contoh kecil, masyarakat enggan untuk mengecek apakah nama mereka sudah masuk dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) atau belum, padahal daftar sudah ditempel disemua kelurahan. Untuk hal tersebut, maka pendidikan untuk warga negara agar mampu “bergerak” dan tidak sekedar “tahu” sangat dibutuhkan.
4.Jaminan atas Partisipasi
Kalau kita cek, maka akan terdata ribuan kelurahan yang Musrenbangnya hanya formalitas saja, mereka hanya berkumpul ala kadarnya untuk kemudian mengusulkan usulan yang tahun lalu diusulkan tetapi belum ada satupun yang diprogramkan.
Masyarakat mulai jenuh dan apatis (tidak percaya lagi) dengan Musrenbang dan alat demokrasi lainnya karena partisipasi mereka tidak dihargai dengan layak. Aspirasi mereka hanya didengar tetapi tidak memapu mengubah kebijakan atau program. Oleh karena itu, setiap aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat haruslah dapat dipertanggungjawabkan oleh pengambil kebijakan sehingga kehadiran masyarakat memang untuk dapat mempengaruhi kebijakan dan program yang akan dilaksanakan, bukan sekedar formalitas partisipasi saja.
5.Partisipasi Publik pada Level Penganggaran
Saat ini kran partisipasi memang telah dibuka oleh pemerintah, namun levelnya baru sebatas pada perencanaan pembangunan saja namun sama sekali masyarakat belum dilibatkan dalam proses pengganggaran. APBD dan APBN yang disyahkan sebagai produk Peraturan daerah atau Undang-Undang ternyata mempunyai “hak istimewa” untuk hanya dibahas oleh Legislatif dan Eksekutif tanpa melalui rapat dengar pendapat sebagaimana layaknya Perda atau UU.
Kalau Indonesia serius ingin melakukan pembaruan pada perencanaan pembangunan, maka pada level penganggaran juga perlu dibuka kran partisipasi publiknya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengundang RDPU dan membuka informasi mengenai rencana anggaran seluas-luasnya untuk publik sehingga publik bisa ikut mengawasi dan memberikan masukan.
6.Pemekaran Daerah dan Munculnya Daerah Bangkrut
Semenjak otonomi diberlakukan melalui Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, semua kemewenangan pengelolaan pemerintahan dearah untuk pelayanan terhadap masyarakat diserahkan secara penuh kepada bupati dan walikota. UU ini juga memberikan peluang dilakukannya pemekaran daerah. Namun sayang, pemekaran daerah yang dilakukan di Indonesia saat ini sudah tidak lagi bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebaliknya hanya menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif dan tidak bisa melakukan fungsinya sebagai pelayan publik.
Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan bahwa ada 124 daerah yang terancam bangkrut karena lebih dari 60 persen anggarannya habis tersedot untuk membiayai gaji pagawai dan tunjangan pejabat. Salah satu daerah yakni Pemkab Tasikmalaya bahkan pada tahun 2011 tidak sanggup menutupi pembangunan infrastruktur dan membayar utang. Data Kemendagri, total pendapatan Kabupaten Tasikmalaya di APBD 2011 adalah Rp. 1,039 triliun. Namun, uang tersebut habis untuk belanja tidak langsung termasuk gaji pegawai Rp. 970,388 miliar dan hanya Rp. 210,980 miliar yang dipakai untuk membiayai pembangunan.
Evaluasi mutlak dilakukan sehingga daerah-daerah yang terancam bangkrut lebih baik digabung kembali dengan daerah induk dan memperketat kembali usulan pemekaran daerah karena moratorium yang dilakukan pemerintah ternyata tidak serta merta menghalangi munculnya daerah-daerah pemekaran baru, buktinya pada akhir tahun 2012 kemarin, DPR mengesahkan 7 daerah pemekaran baru dan untuk tahun 2013 ini DPR sudah siap dengan 19 RUU baru untuk mengakomodir usulan pembentukan daerah-daerah baru.
REKOMENDASI
Berdasarkan catatan-catatan diatas, maka beberapa usulan penyempurnaan goal 10 Agenda Pembangunan Pasca-2015 adalah sebagai berikut:
1.Good Governance (yang didalamnya mencakup kehidupan demokrasi yang baik) perlu dipertahankan menjadi goal tersendiri dalam Agenda Pembangunan Pasca-2015, karena good governance terbukti mendorong kualitas hidup manusia yang lebih baik.
2.Target dan indikator agar tidak terjebak pada aturan yuridis formal, namun lebih pada penegakan secara konsisten dari aturan yang sudah ada.
3.Tujuan untuk kelembagaan yang efektif belum dielaborasi lebih lanjut dalam target didalam goal 10, oleh karena itu menyusun target untuk menata kelembagaan ditingkat nasional dan daerah yang efektif dan efisien harus dilakukan.
4.Good governance yang dimaknai dalam Agenda Pembangunan Pasca-2015 ini masih sebatas tanggungjawab pemerintah saja, padahal good governance menjadi tanggungjawab birokrasi, masyarakat sipil, dan juga swasta.
5.Reformasi kepemiluan dan partai politik perlu menjadi target dalam goal 10 ini untuk memastikan bahwa partai politik dan pemilu sebagai alat demokrasi benar-benar mampu mewujudkan demokrasi yang substansial yakni kesejahteraan masyarakat.
6.Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditingkatkan levelnya tidak hanya sebatas ikut serta memberikan masukan, tetapi sampai pada level pengambilan keputusan. Tidak pula terbatas pada level perencanaan tetapi sampai pada penganggaran dan evaluasi.
7.Evaluasi daerah-daerah pemerkaran perlu dilakukan agar pemekaran wilayah sesuai dengan tujuan awalnya yakni mensejahterakan masyarakat setempat.
**ends**
Penulis adalah Senior Program Officer di Partnership for Governance Reform (Kemitraan), Fasilitator kelompok Democracy and Good Governance pada Konsultasi Nasional Agenda Pembangunan Pasca-2015 di Jakarta, dan peserta pada pertemuan dengan HLPEP di Monrovia dan Bali.
Dikutip dari sambutan pembukaan Presiden SBY dalam Stakeholder Consultation Day on Post-2015 Development Agenda yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 25 Maret 2013.