10d. Menjamin hak masyarakat atas informasi dan akses terhadap data pemerintah.
Akan menjadi standar global minimum, termasuk tujuan “nol / zero”
10e. Mengurangi suap dan korupsi dan memastikan pejabat dapat diminta pertanggungjawabannya.
Target memerlukan kerja teknis lebih lanjut untuk menemukan indikatir-indikator yang sesuai
Untuk Indonesia sendiri, target-target yang ada ini masih “standar minimal” dan bersifat dasar yang lebih pantas menjadi target untuk Indonesia pada tahun 1998 – 2000 yang lalu. Untuk negara-negara miskin, negara-negara yang berada dibawah rezim militer dan otoritarian, dan negara- negara yang baru saja lepas dari perang atau konflik berkepanjangan, mungkin target-target diatas sangat pas untuk dapat dicapai apalagi tenggat waktu yang ditawarkan adalah 15 tahun dari tahun 2015 – 2030. Pada tahun 2015 nanti, Indonesia sudah menginjak tahun ke 17 sejak reformasi 1998 dan tentu Indonesia menghadapi tantangan-tantangan varian barudalam implementasi good governance.
Kalau dilihat dari aturan formalnya, maka Indonesia sudah dapat dikatakan tidak akan kesulitan mencapai goal ke-10 ini, bahkan beberapa targetnya sudah tercapai. Untuk target 10a misalnya, akta kelahiran dan kartu tanda penduduk sudah diberikan secara gratis oleh negara sesuai dengan Permendagri No. 28 Tahun 2005, walaupun pada implementasinya terdapat kebocoran disana-sini karena permintaan oknum PNS kelurahan yang tidak bertanggungjawab. Meskipun dalam prakteknya kita masih bisa melihat ketidakadilan yang muncul dari negara terhadap kelompok minoritas seperti masyarakat miskin kota (sebagai contoh di gray area Jakarta) mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk dan ditolak pemerintah daerah karena mereka menempati tanah-tanah illegal, warga Syiah di Sampang, Madura juga tidak diberikan pelayanan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP, dan Surat Tanah. Oleh karena itu, indicator pencapaian yang harus disematkan pada target ini tidak sekedar aturan formal berupa UU, Peraturan Menteri, atau Perda, tetapi lebih melihat implementasi di lapangan.
Untuk target 10b, saat ini Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan apabila dibandingkan dengan era Orde Baru. Pada tahun 2012 saja, jumlah Ormas yang terdaftar di Kemendagri saja sudah mencapai 65.577 yang menunjukkan geliat masyarakat untuk berorganisasi. Namun sayang, justru saat ini pemerintah malah sedang sibuk menggodok RUU Ormas yang lebih tepat dimaknai sebagai alat untuk melakukan kontrol terhadap Ormas ketimbang menempatkan Ormas sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan. Munculnya RUU Ormas dan rencana disyahkannya RUU Ormas pada bulan Juli 2013 akan menjadi pukulan mundur bagi kekebasan masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945, Pasal 28E ayat (3) dengan bunyinya bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Sementara target 10c terkait dengan partisipasi publik dalam proses politik dan keterlibatan warga di semua tingkatan. Lagi-lagi, secara yuridis formal, Indonesia sudah sangat maju dalam upaya pewujudan partisipasi publik. Indonesia adalah Negara demokrasi terbesar didunia karena melaksanakan pemilu secara langsung untuk legislative dan eksekutif di semua tingkatan. “Tiada hari tanpa pemilu” adalah slogan yang paling pas untuk menggambarkan hal ini. Indonesia juga punya Musrenbang yang diklaim mengakomodir suara grass root dalam menyusun rencana kerja pemerintah baik ditingkat daerah maupun pusat. Namun, coba kita kembali cek, bagaimana kualitas partisipasi publik kita dalam pemilu? Ketika pemilu kita semakin mahal karena pilihan sistem proporsional terbuka sehingga menjadi calon anggota legislative hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang berkecukupan secara finansial. Partisipasi haruslah dimaknai tidak hanya secara pasif yakni ikut memilih, tetapi juga secara aktif yakni menjadi orang yang dipilih. Sehingga sistem politik yang murah dan terjangkau masyarakat sudah seharusnya masuk menjadi target sendiri atau indikator penjelas pada target ini. Salah satunya bisa diusulkan adanya pemilu serentak karena selain memperkokoh sistem presidensial yang efektif, mensolidkan koalisi partai dari pusat sampai daerah, tidak membuat masyarakat jenuh dengan pemilu, meminimalisir konflik, pemilu serentak (yang dilakukan di beberapa propinsi) juga telah terbukti menghemat anggaran negara.
Musrenbang yang dimaknai sebagai proses pelibatan warga disemua tingkatan juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Janganlah Musrenbang hanya dihadiri oleh elit-elit baru didesa seperti tokoh masyarakat, dan kepala dusun, tetapi juga melibatkan berbagai kelompok kepentingan seperti petani, nelayan, perempuan, pedagang pasar, pemuda, dsb. Level partisipasi warga juga perlu ditingkatkan tidak hanya sebagai pihak yang ikut memberikan usulan semata, tetapi mereka juga harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusannya. Musrenbang saat ini hanya menjadi formalitas dan klaim bahwa warga sudah memberikan usulannya, padahal keputusan tetap ada di SKPD dan kepala daerah.
Target 10d sangat erat kaitannya dengan keterbukaan informasi public dan inisiatif pemerintah yang terbuka (Open Government). Indonesia boleh berbangga bahwa saat ini Indonesia bersama-sama dengan Inggris memimpin inisiatif kemitraan global untuk pemerintahan yang terbuka (Open Government Partnership) yang beranggotakan 58 negara. Indonesia juga sudah mempunyai banyak perangkat hukum seperti: UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik, Permendagri 35/2010 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi di Kemendagri dan Pemda, PP 61/2010 tentang Pelaksanaan UU 14/2008, dan Perpres 26/2010 tentang Transparansi Pendapatan di Industri Ekstraktif.
Dalam tataran implementasi, beragam perangkat hukum tersebut seakan tidak berdaya ketika berhadapan dengan institusi Negara. Sebagai contoh ketika Komisi Informasi Pusat (KIP) memutus sengketa informasi yang diajukan ICW agar Mabes Polri membuka informasi kepada publik tentang petinggi polri yang mempunyai rekening gendut, ternyata putusan KIP ini diabaikan oleh Mabes Polri. APBD atau rencana belanja K/L yang seharusnya menjadi informasi publik juga masih dianggap rahasia negara oleh kebanyakan K/L dan juga pemerintah daerah. Indonesia sudah punya beragam perangkat hukum dan institusi untuk menjalankan ini, namun kepatuhan insititusi terhadap aturan dan juga penegakan hukum perlu masih menjadi perhatian serius.
Target 10e yang mempunyai target mengurangi suap dan korupsi dan memastikan setiap pejabat dapat diminta pertanggungjawabannya ini juga secara yuridis formal Indonesia juga sudah mempunyai perangkat hukumnya. Untuk korupsi sendiri, ada 8 (delapan) Undang-undang terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi didukung dengan beberapa Peraturan Pemerintah. Lebih dari 60% kasus Korupsi di Indonesia (yang ditangani KPK) berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, sehingga upaya penganggulangannya juga harus dilaksanakan di sistem integritas pada pengadaan barang dan jasa tersebut. Banyak kasus korupsi besar juga selalu terkait dengan Partai Politik, sehingga reformasi pembiayaan partai politik juga perlu menjadi agenda untuk mengurangi korupsi.
Mahkamah Konstitusi pada bulan September 2012 juga telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Undang-Undang No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). UU tersebut sebelumnya mengatur bahwa pemeriksaan terhadap Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus dengan ijin tertulis dari presiden. Dengan dikabulkannya gugatan tersebut maka saat ini setiap pejabat dapat dimintai pertanggungjawabannya di pengadilan tanpa harus mendapatkan ijin dari Presiden. MK berpendapat bahwa pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi.
KELEMBAGAAN YANG EFEKTIF: BELUM TERTUANG TARGETNYA SECARA JELAS
Bagaimana mewujudkan kelambagaan yang efektif? Ternyata usulan HLPEP untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 belum menggambarkan secara lebih terperinci target yang ingin dicapai berbeda dengan goal yang lainnya. Pada goal ke-10 ini target-target yang ada lebih banyak merinci tujuan untuk memberbaiki tata kelola secara umum, namun untuk menciptakan kelembagaan yang efektif nampaknya memang harus dirinci lebih jauh lagi oleh masing-masing negara karena kondisi kelembagaan yang berbeda-beda.
Kalau kita lihat Indonesia, saat ini kita memiliki 7 Kesekretariatan Lembaga negara, 34 Kementrian, 4 Lembaga Setingkat Menteri, 28 lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK), 88 Lembaga Non Struktural, dan 2 Lembaga Penyiaran Publik. Sebenarnya, jumlah lembaga negara yang sampai ratusan diatas sudah melalui beberapa kali penataan. Pada tahun 2009 sudah dihapus 13 Lembaga Non Struktural dari 92 lembaga yang ada saat itu, namun Lembaga-lembaga yang dihapus tersebut hanyalah Lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan keppres dan perpres, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU perlu dilakukan telaahan dan evaluasi lebih lanjut.
Kajian terhadap keberadaan LNS, sebenarnya telah berlangsung sejak beberapa tahun silam. Sejumlah perguruan tinggi dimintakan bantuannya oleh Sekretariat Negara untuk melakukan kajian dan hasilnya adalah perlu ada rasionalisasi atas keberadaan LNS. Perlu diketahui LNS adalah lembaga yang sengaja dibentuk dengan tugas utama melaksanakan fungsi-fungsi sektoral dari lembaga pemerintahan yang sudah ada. Pembentukannya mulai marak pasca reformasi silam, ada yang dibentuk melalui UU, PP dan Perpres. Sekadar contoh, lembaga yang termasuk kategori LNS adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Kelautan Indonesia, Dewan Ketahanan Pangan, Dewan Gula Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional, Badan Kebijakan Fiskal dan Badan Supervisi Bank Indonesia.
Penataan Lembaga negara yang rasional dan efektif dengan menghapus atau menggabungkan beberapa Lembaga menjadi satu adalah salah satu cara yang bisa ditempuh guna efektifitas dan efisiensi tata kelola pemerintahan.
Reformasi Birokrasi yang saat ini sedang berlangsung juga hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai penambahan remunerasi bagi Kementrian/Lembaga tertentu tetapi lebih dimaknai sebagai upaya peningkatan mutu baik dari segi proses maupun hasilnya. Sehingga menerjemahkan Reformasi Birokrasi menjadi sekedar penambahan take home pay gaji adalah kesalahan berpikir secara sistemik yang perlu segera dihentikan.
MUTU GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA: NILAI RATA-RATA PROPINSI CUMA 5,67
Salah satu instrument untuk melihat mutu kondisi governance di Indonesia adalah dengan Indonesia Governance Index (IGI). IGI percaya bahwa Tata-kelola pemerintahan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja tapi ditentukan oleh 4 arena: pemerintah, birokrasi, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. IGI menilai 6 prinsip good governance yakni: partisipasi, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektifitas. Kemudian dari prinsip di masing-masing fungsi arena diturunkan menjadi 89 indikator pengukuran. IGI memberikan skor dari 1 sampai 10, dan berikut adalah hasilnya:
Tabel 1. Hasil Agregat Propinsi - Indonesia Governance Index (IGI) 2012
Partisipasi
Keadilan
Akuntabilitas
Transparansi
Efisiensi
Efektivitas