Desa Karangsuko, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur terletak di dataran tinggi, dengan ketinggian rata-rata 374 meter dari permukaan laut. Di desa dengan kontur tanah berbukit-bukit ini gampang ditemukan hamparan kebun, tegalan, dan sejumlah petak sawah.
Namun, dengan kondisi topografi tersebut sebagian warga sulit mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebelum tahun 2005, beberapa warga pernah beberapa kali mencoba untuk menggali tanah guna mendapatkan sumber air, tetapi air tak kunjung keluar hingga kedalaman sekitar 20 meter.
Terpaksa, sebagian warga memilih untuk wara-wiri turun ke daerah yang lebih rendah guna mendapatkan sumber air bersih. “Dulu kami mengambil air di mata air Sumber Maron untuk keperluan sehari-hari di belakang rumah yang jaraknya sekitar 300 meter,” kata Wakidi, tetua Desa Karangsuko yang kini berusia 85 tahun.
Mata air Sumber Maron, sambung Mukhlis, sedari dulu menjadi sumber kehidupan bagi warga yang tinggal di sekitarnya. “Dulu, warga pernah menggunakan pompa dongki untuk mengangkat air dari sumber untuk disalurkan ke rumah penduduk,” kata tokoh masyarakat yang mengelola pesantren di Desa Karangsuko.
Pompa dongki adalah teknologi memompa air ke tempat yang lebih tinggi dengan memanfaatkan energi air itu sendiri. Namun, pemanfaatan teknologi sederhana ini masih belum mampu mengalirkan mata air Sumber Maron secara merata ke warga.
Pada sisi lain, sebagian warga yang rumahnya berdekatan dengan sawah memilih memanfaatkan air dari saluran irigasi. Mereka melakukan aktivitas mandi hingga buang air besar di saluran irigasi.
“Imbas dari pemanfaatan air irigasi untuk keperluan sehari-hari itu menyebabkan kasus penyakit kulit dan diare yang dialami warga cukup tinggi,” ujar Sayid Muhammad, tokoh masyarakat setempat ditemui di kediamannya di Desa Karangsuko, pekan lalu.
Selain itu, pemanfaatan air pada saluran irigasi kerap menyebabkan cekcok antar warga saat musim kemarau. “Saluran irigasi yang seharusnya untuk mengairi sawah dibagi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Akibatnya, pada saat musim kemarau kerap terjadi perkelahian antar warga karena berebut air,” kata Sayid.
Partisipasi Warga
Rupanya, permasalahan warga Desa Karangsuko tersebut terendus program Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan bagi Masyarakat berpenghasilan rendah (Water and Sanitation for Low Income Communities/WSLIC-2) pada tahun 2005.
Program pemerintah yang didukung Bank Dunia, dan AusAids itu memberikan tawaran hibah penyediaan air bersih dengan syarat ada lembaga masyarakat yang dapat mengelolanya. “Tawaran dana hibah sebesar 200 juta rupiah,” tutur Sayid.