Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

'Loop' - Misteri Kehidupan Jena Artha Lestari

29 April 2024   02:33 Diperbarui: 29 April 2024   02:49 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PROLOG

Kecelakaan Misterius

Di tengah kesunyian malam yang pekat, hanya suara hujan deras yang menggema, berdenting keras melawan atap dan aspal jalan, memecah kesunyian yang nyaris sempurna. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalanan yang samar, menciptakan ilusi kilat perak yang berkelip dalam genangan-genangan air. Angin berhembus kencang, membawa dingin yang menusuk tulang. Di tengah pemandangan yang suram ini, sebuah mobil terlihat melaju dengan kecepatan tinggi, wiper kacanya berjuang keras melawan guyuran air yang tak henti.

Dalam mobil tersebut, Jena Atha Lestari menggenggam setir dengan kedua tangannya yang gemetar. Napasnya cepat dan dangkal, matanya melebar penuh ketakutan namun ditentukan, memantapkan diri melawan badai yang mengamuk. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, sebuah hari yang seharusnya penuh perayaan, namun nasib memilih jalan yang berbeda. Mobilnya menyusuri lekukan jalan yang licin, lampu depannya menyinari jalanan yang sepi namun tidak mampu menerangi bayang-bayang yang bergerak cepat di tepi pandangannya.

Sebelum malam itu, Jena menghabiskan hari ulang tahunnya dengan cara yang cukup sederhana dan menyenangkan. Pagi itu diawali dengan secangkir kopi dan sarapan lezat yang disiapkan suaminya sebelum ia berangkat, sebuah ritual kecil yang selalu dia nikmati. Dia menghabiskan beberapa jam di galeri seni lokal, menyerap inspirasi dari karya-karya baru dan mengobrol santai dengan beberapa teman seniman.

Namun, saat pulang, pikirannya melayang ke percakapan yang belum terselesaikan dengan adiknya, kepelukan yang belum diberikan kepada ibunya, dan terutama, keinginan yang belum terucapkan kepada seseorang yang spesial dalam hidupnya, yaitu suaminya. Flashback dari momen-momen ini berkelebat di benaknya.

Flashback kehidupan Jena mulai berkelebat di benaknya saat ia mengemudi melalui hujan yang semakin deras. Dia teringat saat pertama kali bertemu dengan suaminya, Damar, di sebuah kafe kecil di sudut kota, di mana percakapan ringan tentang buku dan musik berubah menjadi jam-jam diskusi yang tak terlupakan. Senyuman Damar saat itu, yang penuh kehangatan dan kecerdasan, seketika membuka sebuah babak baru dalam hidupnya.

Kemudian, kenangan tentang perjalanan mereka ke Bali, di mana mereka menyaksikan matahari terbenam di pantai Uluwatu, tangan mereka tergenggam erat, janji-janji yang dibisikkan bersamaan dengan desir ombak. Itu adalah saat-saat ketika Jena merasa paling hidup, paling terhubung dengan alam dan dengan orang yang dicintainya.

Namun, tidak semua kenangan yang berkelebat adalah indah. Jena juga teringat perdebatan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, saat Damar dan dia tidak setuju tentang keputusan penting dalam hidup mereka. Kata-kata keras yang terucap, mata yang berkaca-kaca, dan pintu yang terbanting masih terasa nyata. Itu adalah momen yang belum terselesaikan, kata-kata maaf yang belum sempat diucapkan, dan rekonsiliasi yang tertunda.

"Haruskah aku mengatakan lebih banyak? Haruskah aku mencoba lebih keras?" tanyanya dalam hati, merasa berat dengan beban penyesalan.

Ketakutan terbesar, kematian yang sia-sia, merayapi pikirannya, seperti bayang-bayang yang menari di tepi visinya.

"Aku tidak takut mati, tapi aku takut meninggal tanpa meninggalkan jejak, tanpa membuktikan bahwa aku pernah hidup dengan sepenuhnya."

Tiba-tiba, dari kegelapan, sosok besar melintas begitu cepat di depan mobil. Jena mencoba menghindar dengan refleks, namun terlambat. Bunyi benturan keras terdengar, disusul oleh suara kaca yang pecah dan logam yang penyok. Dunia berputar di sekelilingnya, dan seketika itu, segalanya menjadi hitam.

Saat kesadaran mulai kembali, suara hujan masih terdengar, tetapi ada suara lain sekarang---suara gemericik lembut yang aneh dan tidak terduga. Jena terbaring di sisi jalan, air hujan membasahi wajahnya, bercampur dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Dia mencoba menggerakkan tangan, tapi rasa sakit yang tajam menerpa seluruh tubuhnya, menahannya tetap diam. Di atasnya, langit malam yang gelap berubah menjadi kanvas abu-abu yang suram, dan sesaat, cahaya kilat menyilaukan membelah langit, menyinari wajahnya yang pucat.

Dalam momen refleksi yang dalam, Jena memikirkan kata-kata Epicurus, sebuah kalimat yang ia suka yang seringkali membawa kekuatan di saat-saat sulit:

"Kematian tidak ada hubungannya dengan kita, karena selama kita ada, kematian bukanlah; dan ketika kematian ada, kita bukan lagi."

Di sana, terbaring di pinggir jalan, Jena berjuang dengan realitas yang baru---nyawa yang tergantung di benang tipis, di hari di mana dia seharusnya merayakan kehidupan. Ironi situasi itu tidak hilang padanya; ketakutan terdalamnya tentang hari ulang tahunnya yang tragis kini menjadi kenyataan yang pahit.

Namun dalam kebingungan dan rasa sakit, sebuah pertanyaan terus muncul di benaknya: siapa, atau apa, yang telah melintas di depan mobilnya pada malam yang nasibnya berubah selamanya? Misteri tentang kejadian itu dan sosok misterius yang seolah-olah memicu kecelakaan tersebut hanya menambah lapisan teka-teki pada malam yang sudah gelap dan penuh tekanan. Di saat-saat terakhir kesadarannya yang nyeri, Jena tidak tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan yang jauh lebih besar dan lebih aneh dari apa pun yang bisa ia bayangkan.

Antara Hidup dan Mati

Di ruang gawat darurat, cahaya terang dan bising mesin yang tak pernah berhenti menciptakan aura kecemasan yang kentara. Monitor di samping tempat tidur Jena menampilkan grafik dan angka yang berkedip-kedip, menandakan detak jantung yang tidak stabil dan tekanan darah yang rendah, setiap piep adalah pengingat bahwa keadaan masih genting. Selang infus tergantung, mengalirkan darah dan obat ke dalam pembuluh darahnya yang lelah, sementara ventilator mengeluarkan suara mendesah, mengambil alih tugas bernapas yang seharusnya mudah.

Di sana, dalam semacam kekosongan yang terasa penuh dan kosong secara bersamaan, Jena mengalami apa yang hanya bisa dijelaskan sebagai perjalanan melalui kesadarannya sendiri. Cahaya redup, tidak lebih terang dari cahaya lilin, menerangi jalannya, dan bayangan dari kehidupan yang telah dia jalani bergulir di depannya seperti lukisan pada kanvas yang tak berujung.

Momen-momen yang pernah membuatnya tertawa, menangis, dan bermimpi, semua muncul kembali dengan intensitas yang membingungkan. Dia melihat dirinya sebagai seorang anak kecil, berlari di ladang belakang rumah neneknya, bebas dan penuh keajaiban; sebagai remaja yang merasa takut dan bersemangat di hari pertama sekolah menengah; sebagai seorang wanita dewasa, mengucap janji pada hari pernikahannya, penuh harapan dan cinta.

Setiap ingatan membawa suara, aroma, dan sentuhan---begitu nyata sehingga Jena hampir bisa meraihnya. Namun, seiring dengan kenangan manis, ada juga ingatan yang pahit dan penyesalan yang dia pendam lama. Konflik yang tidak pernah diselesaikan, kata-kata yang terlalu kasar, keputusan yang terburu-buru---semua ini muncul kembali, mengajaknya untuk menghadapi dan mungkin, dalam cara ini, membuat damai dengan mereka.

Di antara aliran kenangan ini, sebuah sosok muncul, samar dan sulit untuk dipahami. Sosok ini, yang tampak bijak dan damai, mengajukan pertanyaan yang memecah keheningan, "Jena, apa yang benar-benar kamu cari dalam hidup ini? Apakah kamu telah menemukan apa yang membuat jiwamu tenang?"

Suara itu, meski lembut, membawa berat seribu ombak, memaksa Jena untuk berhenti dan merenung. Dalam ketenangan eksistensial ini, dia merenungkan pertanyaan tersebut, menggali dalam-dalam ke dalam esensi dirinya yang paling murni. "Aku mencari makna, kebahagiaan, cinta... mungkin semua ini sekaligus," jawab Jena dalam hati, suaranya terdengar asing bahkan bagi telinganya sendiri.

"Tapi apakah kamu telah hidup dengan sepenuhnya? Apakah kamu telah mencintai dengan segenap hatimu?" tanya sosok itu lagi, kali ini dengan nada yang menggugah kesadaran yang lebih dalam.

Sebagai jawaban, Jena hanya bisa menghela napas, sebuah pengakuan bahwa, meski telah berusaha, mungkin masih ada jalan yang belum dia tempuh, kata-kata yang belum dia ucapkan, dan cinta yang belum sepenuhnya dia berikan.

Di saat refleksi ini, Jena merasa dirinya ditarik kembali, perlahan, ke realitas fisik yang dia tinggalkan. Suara bip monitor menjadi lebih jelas, suara dokter dan perawat mulai mengisi kesadarannya lagi.

Dokter dan perawat sibuk bergerak, menyesuaikan alat, memeriksa bacaan, dan bertukar informasi dengan bahasa kode yang hanya mereka yang paham. "Kita perlu stabilkan ritme jantungnya, bawa defibrilator ke sini," terdengar suara dokter senior memberi komando, ketika salah satu monitor memancarkan sinyal peringatan.

Di sudut ruangan, keluarga dan beberapa teman dekat Jena berkumpul, wajah mereka pucat dan mata mereka sayu, tetapi dihiasi harapan yang tak kunjung padam. Ibunya, dengan tangan yang gemetar, menggenggam rosario, bibirnya bergerak-gerak membisikkan doa yang terdengar hampir tidak mungkin. "Tuhan, lindungi anakku," gumamnya berkali-kali.

Anak laki-lakinya, Ardi, berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangan ayahnya. Sesekali ia menatap layar monitor, mencoba memahami arti dari angka-angka yang berkedip itu, seolah-olah dengan mengerti, ia bisa membantu mengubah keadaan. "Mama kuat, Pa. Mama pasti bisa melewati ini," ujarnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sekaligus ayahnya.

Sementara itu, suami Jena, Damar, berdiri tak jauh dari tempat tidur, wajahnya tersiksa oleh kecemasan yang mendalam. Setiap bip dari monitor seolah adalah dentuman gendang yang bergema di dadanya, meningkatkan denyut jantungnya yang sudah cepat. Tangannya yang berkeringat menggenggam tangan Jena, berharap sentuhan itu bisa mentransfer kekuatan ke tubuhnya yang lemah.

"Tolong bertahan, sayang," bisiknya dengan suara yang hampir patah, matanya tak pernah lepas dari wajah Jena. "Kita masih punya banyak rencana, banyak mimpi. Kamu tidak boleh pergi sekarang. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu."

Teman baik Jena, Maya, yang duduk di pojok, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, berbisik, "Kamu harus bangun, Jena. Kamu janji akan ada di pameran seniku minggu depan."

Dalam kesunyian yang hanya Jena alami, dia terperosok dalam kekosongan yang tidak memiliki gravitasi, waktu, atau batas. Di kejauhan, sebuah cahaya lembut muncul, memanggilnya untuk mendekat. Suara-suara dari kehidupannya yang lalu bergema di telinganya---tawa, tangis, kata-kata kasar, deklarasi cinta---semuanya berputar di sekelilingnya seperti serpihan daun yang ditiup angin.

Di dalam pengalaman antara nyawa dan kematian ini, Jena bertemu kembali dengan sosok yang tampak akrab namun tak dapat ia kenali. Sosok itu, bercahaya dengan intensitas yang menenangkan, berbicara dengan suara yang meresap ke tulangnya,

"Apa yang kamu cari, Jena? Apa makna yang kamu kejar?"

Pertanyaan itu menggema, tidak hanya di telinganya tapi juga di jantungnya. Dalam kebingungan antara dua dunia, Jena mencoba merangkai jawaban, tetapi kata-kata terasa terlalu berat untuk diucapkan. Di saat itulah, realitas kembali menyeretnya---suara bip dari monitor yang menjadi lebih cepat, suara dokter yang memberi instruksi mendesak, dan rasa dingin dari stetoskop yang menyentuh kulitnya.

Kembali di ruang gawat darurat, pertarungan antara hidup dan mati berlanjut, dengan Jena di pusat semua perhatian dan doa. Keluarga dan teman-temannya berpegangan tangan, lingkaran doa terbentuk di sekitar tempat tidurnya. Setiap desah napas yang terdengar dari ventilator, setiap bip panjang dari monitor, menambah ketegangan yang sudah terasa berat.

Dalam momen-momen yang mendebarkan ini, pikiran Jena melayang ke dalam suatu keadaan yang tidak terdefinisi---sebuah antara yang tak pasti. Di sana, dalam kekosongan yang mengelilinginya, ia mendengar kata-kata kuno dari filsuf Socrates yang dulu berkata,

"Sejauh manusia tidak tahu apa itu hidup, tidak seorang pun tahu apa itu kematian." Kata-kata itu bergema dalam pikirannya, memberikan perspektif mendalam tentang dilema yang sedang ia hadapi.

Mungkin, seperti yang diajarkan Socrates, kehidupan dan kematian bukanlah dua keberadaan yang terpisah tetapi dua sisi dari satu koin yang sama. Mungkin apa yang kita takutkan sebagai akhir hanyalah transisi ke bentuk eksistensi lain. Dengan pemikiran ini, Jena merasa secercah kedamaian di tengah badai kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Jantungnya, yang dipantau oleh mesin-mesin yang berbunyi tak henti-henti, berdebar tidak hanya dalam rasa takut tetapi juga dalam penerimaan akan apa pun yang mungkin terjadi berikutnya.

Di ruang yang dipenuhi suara mesin dan bip monitor, Jena, terbaring di antara kabut kesadaran dan kegelapan, merenungkan kata-kata yang pernah dibaca dari seorang sufi klasik, Rumi: "Jangan takut ketika jiwa kamu menyeberang dari dunia yang terlihat; karena kamu pasti berada di alam yang abadi, kamu hanya mengenakan pakaian yang tidak abadi."

Di ambang antara hidup dan mati, Jena merasakan kebenaran kata-kata tersebut meresap ke dalam jiwanya. "Apa mungkin, bahwa apa yang kita lihat sebagai kematian, hanyalah sebuah pembebasan dari ikatan duniawi ini?" pikirnya, mencoba menenangkan hati yang diliputi kecemasan.

Dia membayangkan dirinya mengambang, lepas dari semua rasa sakit fisik dan kekhawatiran yang pernah membebani pikirannya. "Mungkin ini bukanlah akhir, melainkan hanya transisi ke keberadaan yang lebih murni---sebuah perjalanan pulang yang telah lama ditakdirkan," batinnya, mengingat ajaran sufi lainnya yang menyatakan bahwa kematian bukanlah kehancuran tapi kembalinya jiwa ke asalnya yang suci.

Seiring detak jantungnya yang berjuang untuk berirama, Jena mengingat kutipan lain dari Rumi: "Kamu bukan setetes di lautan. Kamu adalah lautan dalam setetes." Dialog batin ini memberi Jena kekuatan untuk merangkul ketidakpastian yang menghadang. Dia menyadari bahwa, dalam skema yang lebih luas dari eksistensi, kehidupan dan kematian hanyalah peristiwa yang terus bergulir dalam siklus abadi alam semesta.

Kesadaran Jena mulai terangkat dari bayang-bayang kekhawatiran. Rasa takut akan kematian perlahan memudar, digantikan oleh kepercayaan bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, itu adalah bagian dari perjalanan jiwa yang tak terhindarkan. "Mungkin aku tidak perlu mencari makna hidup dalam momen-momen yang terbatas, tetapi harus merenungkan keluasan hidup yang diberikan kepada setiap jiwa," gumamnya dalam hati, merasa damai menerima takdir apa pun yang menantinya.

Dengan dialog batin ini, Jena menemukan ketenangan di tengah badai kehidupan dan kematian, menggali lebih dalam ke dalam kesadaran bahwa hidup dan mati bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi dua fase yang sama dari keberadaan yang tak terpisahkan.

Dalam diam yang tiba-tiba menyelimuti ruangan, saat detak jantungnya berjuang menemukan irama yang stabil, ada sebuah kesadaran yang timbul. Jika ini adalah akhir, maka biarlah menjadi akhir yang penuh kesadaran. Jika ini adalah awal baru, maka biarlah menjadi awal yang dipenuhi dengan keberanian untuk menghadapi takdirnya.

Babak baru akan segera dimulai, namun bagi Jena, ini adalah akhir---atau setidaknya, begitu terasa bagi mereka yang menyaksikannya. Namun bagi Jena, ini hanyalah transisi lain, meski ia sendiri belum menyadarinya. Suara-suara mesin yang semakin keras, desakan tim medis, dan doa-doa yang diucapkan dalam bisikan hampir terlupakan saat ruangan itu terisi dengan cahaya yang tiba-tiba, dan untuk sesaat, semuanya menjadi tenang.

Jena menghembuskan nafas terakhirnya ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun