Tiba-tiba, dari kegelapan, sosok besar melintas begitu cepat di depan mobil. Jena mencoba menghindar dengan refleks, namun terlambat. Bunyi benturan keras terdengar, disusul oleh suara kaca yang pecah dan logam yang penyok. Dunia berputar di sekelilingnya, dan seketika itu, segalanya menjadi hitam.
Saat kesadaran mulai kembali, suara hujan masih terdengar, tetapi ada suara lain sekarang---suara gemericik lembut yang aneh dan tidak terduga. Jena terbaring di sisi jalan, air hujan membasahi wajahnya, bercampur dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Dia mencoba menggerakkan tangan, tapi rasa sakit yang tajam menerpa seluruh tubuhnya, menahannya tetap diam. Di atasnya, langit malam yang gelap berubah menjadi kanvas abu-abu yang suram, dan sesaat, cahaya kilat menyilaukan membelah langit, menyinari wajahnya yang pucat.
Dalam momen refleksi yang dalam, Jena memikirkan kata-kata Epicurus, sebuah kalimat yang ia suka yang seringkali membawa kekuatan di saat-saat sulit:
"Kematian tidak ada hubungannya dengan kita, karena selama kita ada, kematian bukanlah; dan ketika kematian ada, kita bukan lagi."
Di sana, terbaring di pinggir jalan, Jena berjuang dengan realitas yang baru---nyawa yang tergantung di benang tipis, di hari di mana dia seharusnya merayakan kehidupan. Ironi situasi itu tidak hilang padanya; ketakutan terdalamnya tentang hari ulang tahunnya yang tragis kini menjadi kenyataan yang pahit.
Namun dalam kebingungan dan rasa sakit, sebuah pertanyaan terus muncul di benaknya: siapa, atau apa, yang telah melintas di depan mobilnya pada malam yang nasibnya berubah selamanya? Misteri tentang kejadian itu dan sosok misterius yang seolah-olah memicu kecelakaan tersebut hanya menambah lapisan teka-teki pada malam yang sudah gelap dan penuh tekanan. Di saat-saat terakhir kesadarannya yang nyeri, Jena tidak tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan yang jauh lebih besar dan lebih aneh dari apa pun yang bisa ia bayangkan.
Antara Hidup dan Mati
Di ruang gawat darurat, cahaya terang dan bising mesin yang tak pernah berhenti menciptakan aura kecemasan yang kentara. Monitor di samping tempat tidur Jena menampilkan grafik dan angka yang berkedip-kedip, menandakan detak jantung yang tidak stabil dan tekanan darah yang rendah, setiap piep adalah pengingat bahwa keadaan masih genting. Selang infus tergantung, mengalirkan darah dan obat ke dalam pembuluh darahnya yang lelah, sementara ventilator mengeluarkan suara mendesah, mengambil alih tugas bernapas yang seharusnya mudah.
Di sana, dalam semacam kekosongan yang terasa penuh dan kosong secara bersamaan, Jena mengalami apa yang hanya bisa dijelaskan sebagai perjalanan melalui kesadarannya sendiri. Cahaya redup, tidak lebih terang dari cahaya lilin, menerangi jalannya, dan bayangan dari kehidupan yang telah dia jalani bergulir di depannya seperti lukisan pada kanvas yang tak berujung.
Momen-momen yang pernah membuatnya tertawa, menangis, dan bermimpi, semua muncul kembali dengan intensitas yang membingungkan. Dia melihat dirinya sebagai seorang anak kecil, berlari di ladang belakang rumah neneknya, bebas dan penuh keajaiban; sebagai remaja yang merasa takut dan bersemangat di hari pertama sekolah menengah; sebagai seorang wanita dewasa, mengucap janji pada hari pernikahannya, penuh harapan dan cinta.
Setiap ingatan membawa suara, aroma, dan sentuhan---begitu nyata sehingga Jena hampir bisa meraihnya. Namun, seiring dengan kenangan manis, ada juga ingatan yang pahit dan penyesalan yang dia pendam lama. Konflik yang tidak pernah diselesaikan, kata-kata yang terlalu kasar, keputusan yang terburu-buru---semua ini muncul kembali, mengajaknya untuk menghadapi dan mungkin, dalam cara ini, membuat damai dengan mereka.
Di antara aliran kenangan ini, sebuah sosok muncul, samar dan sulit untuk dipahami. Sosok ini, yang tampak bijak dan damai, mengajukan pertanyaan yang memecah keheningan, "Jena, apa yang benar-benar kamu cari dalam hidup ini? Apakah kamu telah menemukan apa yang membuat jiwamu tenang?"