Sebagai penangkalnya, secarik kertas bekas cukup untuk memuat agenda penting harian, alih-alih pakai aplikasi yang tertanam pada gawai. Selain itu, di dalamnya kita juga bisa menulis ide atau gagasan yang terbetik dalam pikiran ketimbang menuliskannya dalam notes digital.Â
Sebagai contoh, cuitan Alissa Wahid di X (twitter) mengenai  sandpile theory dalam perubahan sosial cukup menarik minat penulis, apakah teori ini maksudnya. Atau, apa beda ICC dan ICJ yang berkaitan dengan gugatan Indonesia dan Afrika Selatan ke pengadilan internasional di Belanda dalam masalah pendudukan di Palestina.
Dalam coret-coretan juga kita bisa tuliskan gap tertentu yang mendadak muncul dalam domain kompetensi kita; yang lantas perlu ditindaklanjuti dengan cara membaca rujukan buku fisik ketimbang mendaras ebook, googling atau web searching.Â
Ada baiknya kita tetap menyediakan buku-buku fisik referensi utama di dalam lemari agar bisa diakses secara offline.
Membuat memo dari kertas bekasÂ
Metode penggunaan memo  ini memang terkesan jadul, tetapi harap diingat bahwa ini bukanlah satu-satunya jalan. Semangatnya yang utama adalah mendaur ulang limbah sembari mengurangi waktu menggulir layar gawai sebanyak mungkin. Bukan menolak sama sekali, pendekatan ini kita kombinasikan juga dengan kemudahan teknologi. Hal ini tentunya menimbang aspek efektivitas dan efisiensi.
Dahulu penulis memperoleh warisan life hack ini dari dosen pembimbing kuliah. Setelah dipikirkan ulang rasanya cocok sekali untuk membebaskan diri dari godaan distraksi digital yang sekarang semakin masif.
Caranya juga sangat simpel.Â
Selembar kuarto bekas atau kertas ukuran folio yang masih bersih bagian belakangnya dipotong menjadi 8-10 bagian agar bisa masuk dalam saku. Setelah itu kertas diklip agar tidak berhamburan dan jangan lupa bawa serta pensil atau pulpen. Alat tulis favorit bagi penulis yaitu pensil 5B hingga 8B yang cukup jelas goresan warna hitamnya.