Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memo dari Kertas Bekas, Menekan Screen Time dan Meningkatkan Produktivitas

6 Februari 2024   23:05 Diperbarui: 6 Februari 2024   23:21 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi screen time (Sumber gambar: wikipedia.org).

Menurut penelitian  Data.ai  yang dikutip Goodstats Indonesia, pada tahun 2023 jumlah screen time di negara kita itu tertinggi di dunia. Angkanya mencapai rata-rata 5,7 jam per hari, artinya selama waktu itu setiap warga Indonesia menggunakan papan layar elektronik seviap hari. Warga Arab Saudi, Singapura, dan Brazil yang berada di peringkat dua menghabiskan rata-rata waktu 5,3 jam setiap harinya.

Screen time adalah waktu yang dihabiskan untuk mengkonsumsi segala bentuk layanan yang disajikan lewat layar elektronik seperti handphone, laptop, tablet, atau televisi (Kompas.com, 20/11/2022).

Screen time yang panjang merugikan. Semakin lama seseorang menatap layar gawai --tanpa urgensi yang bermanfaat--, maka semakin lama pula ia terputus dari dunia nyata. Hal ini menjadi masalah karena mengurangi produktivitas kerja/belajar, mengganggu harmoni kehidupan sosial, hingga menggerogoti kesehatan fisik dan mental.

Selain dampak negatif bagi individu, tingginya angka screen time juga otomatis meningkatkan konsumsi energi listrik yang sebagian besar berasal dari energi fosil, batubara. Tidak hanya untuk suplai daya gawai saja, penggunaan energi listrik juga jadi bertambah untuk penerangan dan kebutuhan tambahan lain seperti konsumsi camilan, pulsa, kuota, transportasi.  

Pada dasarnya setiap aktivitas manusia memerlukan energi langsung dan tidak langsung. Kegiatan yang kurang produktif berarti akan membebani kebutuhan energi.

Cara mengurangi screen time

Ada 5 cara untuk mereduksi ketergantungan pada gadget menurut Harvard Business Review.

Inti dari kiat-kiat dari Harvard tersebut adalah mengurangi kontak dengan gadget itu sendiri secara fisik. Kelima cara tersebut adalah:

  • pertama, jangan terpaku pada komunikasi media sosial seperti chatting;
  • kedua, membatasi waktu pertemuan secara daring;
  • ketiga, lebih mengutamakan aspek physical ketimbang digital;
  • keempat, lebih banyak bergerak; dan,
  • kelima, membuat jeda waktu bebas gadget.

Salah satu cara pada kategori pengutamaan aspek fisik dalam menekan screen time adalah pemanfaatan kertas bekas atau coret-coretan dalam mengorganisasi kegiatan harian. Hal ini selain menjaga lingkungan dari limbah domestik, juga dapat memutus kecanduan alat digital yang semakin mewabah.

Menurut pengalaman dan pengamatan penulis, ketergantungan pada gawai untuk berkomunikasi dan bekerja/belajar akan membuka pintu pada paparan media yang lebih banyak noise-nya daripada voice. Pembuat konten semakin kreatif dan kanal web atau medsos membuat algoritma yang menjerat pengunjung.

Waktu selama sepuluh menit hingga setengah jam mungkin sudah cukup untuk mengurus keperluan penting dengan perangkat seluler. Akan tetapi berjam-jam setelah itu kita hanyut di medsos atau situs berita yang mana hal tersebut sebenarnya (lebih banyak) bukan urusan kita.

Sebagai penangkalnya, secarik kertas bekas cukup untuk memuat agenda penting harian, alih-alih pakai aplikasi yang tertanam pada gawai. Selain itu, di dalamnya kita juga bisa menulis ide atau gagasan yang terbetik dalam pikiran ketimbang menuliskannya dalam notes digital. 

Ide yang lewat di media atau melintas dalam pikiran (Dokpri).
Ide yang lewat di media atau melintas dalam pikiran (Dokpri).

Sebagai contoh, cuitan Alissa Wahid di X (twitter) mengenai  sandpile theory dalam perubahan sosial cukup menarik minat penulis, apakah teori ini maksudnya. Atau, apa beda ICC dan ICJ yang berkaitan dengan gugatan Indonesia dan Afrika Selatan ke pengadilan internasional di Belanda dalam masalah pendudukan di Palestina.

Dalam coret-coretan juga kita bisa tuliskan gap tertentu yang mendadak muncul dalam domain kompetensi kita; yang lantas perlu ditindaklanjuti dengan cara membaca rujukan buku fisik ketimbang mendaras ebook, googling atau web searching. 

Ada baiknya kita tetap menyediakan buku-buku fisik referensi utama di dalam lemari agar bisa diakses secara offline.

Membuat memo dari kertas bekas 

Metode penggunaan memo  ini memang terkesan jadul, tetapi harap diingat bahwa ini bukanlah satu-satunya jalan. Semangatnya yang utama adalah mendaur ulang limbah sembari mengurangi waktu menggulir layar gawai sebanyak mungkin. Bukan menolak sama sekali, pendekatan ini kita kombinasikan juga dengan kemudahan teknologi. Hal ini tentunya menimbang aspek efektivitas dan efisiensi.

Dahulu penulis memperoleh warisan life hack ini dari dosen pembimbing kuliah. Setelah dipikirkan ulang rasanya cocok sekali untuk membebaskan diri dari godaan distraksi digital yang sekarang semakin masif.

Coret-coretan dalam memo kertas bekas (Dokpri). sumber gambar
Coret-coretan dalam memo kertas bekas (Dokpri). sumber gambar

Caranya juga sangat simpel. 

Selembar kuarto bekas atau kertas ukuran folio yang masih bersih bagian belakangnya dipotong menjadi 8-10 bagian agar bisa masuk dalam saku. Setelah itu kertas diklip agar tidak berhamburan dan jangan lupa bawa serta pensil atau pulpen. Alat tulis favorit bagi penulis yaitu pensil 5B hingga 8B yang cukup jelas goresan warna hitamnya.

Setelah carikan-carikan kertas itu ditulisi, lalu disortir dan dikelompokkan dengan menulis tagar sesuai tema; apakah berhubungan dengan ide atau agenda; atau berkaitan dengan disiplin ilmu tertentu. Selanjutnya, barulah kita mengambil keputusan mana yang akan digunakan dalam agenda berikutnya dan mana yang akan dibuang. Begitu seterusnya dengan coret-coretan berikutnya.

Keunggulan

Dibanding menggunakan smartphone atau tablet dengan pen khususnya, memo kertas bekas pasti lebih murah bahkan gratis. Dengan mendaur ulang limbah di rumah atau kantor, kita juga berarti ikut mengurangi konsumsi kayu yang berasal dari hutan.

Mencoret-coret dengan alat tulis apapun rasanya lebih fleksibel dalam menjembatani konten dalam perangkat gawai dengan isi dalam otak kita, atau dengan pembicaraan/diskusi. Gawai memang bisa merekam suara atau gambar, tapi dalam keseharian banyak hal penting yang hanya elok kita ingat saja dan lalu ditulis untuk membantu menguatkannya.

Coretan lalu-lintas informasi dalam pikiran (Dokpri).
Coretan lalu-lintas informasi dalam pikiran (Dokpri).

Lewat teks tertulis kita juga tidak memerlukan printer untuk mencetak. Sebaliknya, apa yang tertulis bisa kita digitalisasi dengan cara dipindai atau difoto.

Demikianlah seputar manfaat kertas bekas yang masih bisa kita gunakan untuk membantu mengelola kegiatan sehari-hari. Semoga dengan pemanfaatan limbah dan pengurangan angka screen time ini bisa bersinergi dengan produktivitas dan di sisi lain mengurangi penggunaan energi berlebih yang sia-sia di Indonesia.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun